Bulan seketika menggelengkan kepala. Dia menahan segala rasa sakit di tubuhnya dan mencoba berdiri. Dia bahkan juga berusaha mengulas sebuah senyum agar orang-orang yang tengah mengelilinginya tidak curiga. Apalagi dia bisa mendengar lamat-lamat suara Timur yang tengah memanggilnya.
"Nggak kok, Mbak," ujarnya. "Saya memang suka makan akhir-akhir ini makanya gemuk." Dia lagi-lagi terkekeh sambil menarik-narik ujung bagian depan pakaiannya, lalu merapatkan jaket yang tengah dia pakai. "Itu adeknya nggak apa-apa?" tanyanya kemudian.
"Ah, syukur. Saya kira mbaknya lagi hamil tadi," ujar si perempuan yang tadi bertanya. Dia kemudian menggelengkan kepala setelah mengecek tubuh anaknya yang aman dari luka sekecil apa pun. "Anak saya nggak apa-apa. Makasih, ya, Mbak sudah menolong dia."
Bulan tersenyum untuk menyembunyikan ringisannya. Sungguh saat ini perutnya sedikit kram dan kaku, tapi tak bisa memperlihatkannya agar orang lain tidak curiga.
"Lan!" panggil Timur dengan wajah panik. Dia mendekati Bulan yang sudah berdiri sambil mengibas-ngibaskan debu dari pakaiannya. "Kamu nggak apa-apa? Apa yang terjadi?" tanyanya beruntun.
"Aku nggak apa-apa," jawab Bulan. "Tadi adeknya nyaris tertabrak mobil." Dia menunjuk mobil yang berhenti di pinggir jalan. Si pengemudinya sudah berada di sebelah ibu si anak dan meminta maaf karena dia mengemudikan mobilnya terlalu kencang. Ibu itu juga balik meminta maaf karena tidak memperhatikan anaknya yang malah menyeberang jalanan seorang diri.
"Lebih baik kita pulang," ajak Timur sambil mengaitkan lengannya ke lengan Bulan.
"Iya, aku pulang aja," jawab Bulan.
"Ayo aku antar," ujar Timur lagi.
"Aku bisa pulang sendiri."
"Ck! Biar kuantar," decak Timur gemas. Dia tidak tega melihat kondisi Bulan saat ini. "Tahu tidak kalau mukamu sekarang kelihatan pucat. Kamu pasti juga syok. Makanya nggak usah alasan nggak mau aku antar pulang," omelnya sambil menarik lengan Bulan.
Bulan akhirnya terpaksa menurut. Dia hanya menganggukkan kepala ketika ibu si anak yang dia selamatnya mengucapkan banyak terima kasih secara berulang-ulang. Sementara itu dia mengikuti tarikan di lengannya untuk kembali menyeberangi jalan menuju kantor dinas sosial.
"Lan! Astaga! Itu kamu yang tadi jatuh?" teriak Yasmin yang tengah berlari sambil membawa rantang di tangan kanannya.
"Iya," jawab Bulan pelan sewaktu Yasmin sudah sampai di depannya. Wajah sang sahabat tampak begitu terkejut campur khawatir seperti ekspresi Timur sebelumnya.
"Ada yang luka? Kamu nggak apa-apa?" tanya Yasmin sambil mencoba memeriksa tubuh Bulan.
Seketika Bulan memundurkan tubuhnya. Dia melepaskan kaitan lengan Timur di lengannya dan mengeratkan bagian depat jaket yang dia pakai. "Nggak ada yang luka. Aman. Aku tadi cuma bantu anak yang hampir tertabrak mobil. Kami berdua tidak ada yang terluka." Dia tidak mau Yasmin menyentuhnya, apalagi sampai sahabatnya itu bisa merasakan perubahan di perutnya.
Beruntung Yasmin kemudian menghela napas panjang dengan lega. Dia kemudian menoleh ke arah Timur yang tengah mengeluarkan kunci mobil dari saku celana.
"Kamu mau antar Bulan pulang?" tanyanya.
"Iya," jawab Timur. "Lihat saja wajahnya pucat begitu," imbuhnya sambil menunjuk Bulan dengan dagunya.
"Kamu benar. Ya, udah kita makan bersama kapan-kapan aja kalau mamaku masak banyak lagi," ujar Yasmin. Dia lantas kembali menoleh ke arah Timur. "Hati-hati bawa mobilnya."
Timur mengangguk. Dia kemudian melangkah menuju parkiran untuk mengeluarkan mobil. Setelah itu dia membawa mobilnya ke tempat Bulan berdiri bersama Yasmin.
"Anak-anak bagaimana, Yas?" tanya Bulan ketika mobil Timur sudah ada di sebelahnya.
"Nggak usah dipikirin. Anak-anak biar aku yang handle. Kamu pulan gaja dulu sama Timur. Lagian kegiatan kita hari ini sudah selesai."
"Maaf, ya," ujar Bulan.
"Hush! Maaf apaa. Buruan masuk mobil sana. Jangan lupa minta air minum sama Timur. Itu mukamu soalnya masih kelihatan pucat. Kamu pasti tadi syok juga kan, ya?" Yasmin menghela napas berat.
Bulan terpaksa lagi menyuguhnya senyum untuk menenangkan sahabatnya. Dia kemudian masuk ke dalam mobil Timur dan memasang sabuk pengaman. Keram dan kaku di perutnya sebetulnya perlahan menghilang walau masih terasa. Namun, dia bersyukur tidak merasakan cairan apa pun kaluar dari kemaluannya. Dia sungguh takut kalau dia tiba-tiba mengalami perdarahan, lalu keguguran akibat kejadian tadi.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Timur sambil melirik Bulan.
"I am good, Mur," jawab Bulan.
"Mukamu masih pucat," ujar Timur. Dia kemudian menunjuk kantong di belakang kursi Bulan. "Di belakang kayaknya ada air putih. Kamu bisa minum itu dulu biar lebih tenang," ujarnya yang kemudian kembali fokus pada jalanan. Sebab, pada akhir pekan seperti ini jalanan jadi sangat ramai. Dia perlu berhati-hati agar apa yang terjadi pada anak kecil yang Bulan tolong tadi tidak terulang pada orang lain.
"Aku hanya syok aja," jawab Bulan. Dia kemudian mengulurkan tangannya ke belakang untuk mengambil botol minuman. Setelah dapat, dia buka tutup dan meneguk isinya.
"Kita ke klinik aja bagaimana?" tanya Timur. "Mungkin kamu butuh pemeriksaan ringan seperti cek tekanan darah, mungkin."
Bulan terkekeh pelan. Dia meletakkan botol minuman di drink holder. "Nggak perlu. Aku baik-baik saja," dustanya. Nyatanya, dia juga takut kalau terjadi apa-apa pada janin yang ada dalam kandugannya. Karena bagaimanapun, dia tadi terjatuh dengan cukup keras, apalagi dengan posisi perut tertindih anak yang dia selamatkan.
"Beneran?" tanya Timur mencoba meyakinkan Bulan.
"Iya," jawab Bulan.
Keduanya kemudian terdiam sampai akhirnya mobil Timur sampai di depan pagar rumah Bulan. Dia hendak ikut turun, tapi Bulan menghentikan aksinya.
"Kamu nggak usah ikut turun," ujarnya. "Ini udah siang. Kamu pasti juga capek habis ngajar anak-anak, terus malah nganter aku pulang. Mending kamu pulang juga biar bisa istirahat."
"Aku mau turun buat nyapa Ibu sebentar," sahut Timur sambil mengernyit.
Bulan menggelengkan kepala. "Ibu kayaknya Tidur, Mur. Ini udah jam tidur siang. Apalagi Ibu pagi tadi kurang enak badan."
Mendengar itu Timur akhirnya menghela napas dan menyalakan mesin mobil lagi. "Kalau ngerasa nggak enak badan atau ada yang sakit, jangan ragu buat telepon aku," ujarnya. "Nanti aku antar kamu ke rumah sakit buat periksa."
"Iya, terima kasih," sahut Bulan sambil mengulas senyum. Dia kemudian melambaikan tangan kala mobil Timur bergerak menjauh.
Setelah mobil lelaki itu hilang dari pandangan, seketika dia mengeluarkan ringisan yang tadi dia tahan. Dia berjalan perlahan menuju rumah. Rasa sakitnya memang berkurang, tapi dia tetap saja punya ketakutan tentang keadaan janin yang sedang dikandungnya.
"Lan?" suara Seruni terdengar seiring dengan suara pintu rumah yang terbuka. Perempuan paruh baya itu mengernyit sambil berjalan mendekati putri tunggalnya itu. "Kamu kenapa? Kok pulang-pulang malah pucat begitu mukanya?" tanyanya.
"Aku habis jatuh karena nolongin anak yang hampir tertabrak, Bu," jawab Bulan.
"Astaga!" jerit Seruni. "Ayo kita ke klinik!" ajaknya langsung. "Kita harus periksa kandugan kamu."