Chereads / Hidden Little Secret / Chapter 6 - Memberi Tahu Timur

Chapter 6 - Memberi Tahu Timur

"Aku dua kali hamil, Lan. Aku tau."

Bulan seketika tidak bisa bicara. Dia balik menatap Embun tak percaya, sementara perempuan itu menatapnya tajam, seakan memaksanya untuk jujur.

"Kamu tau?" tanya Bulan pada akhirnya. Suaranya terdengar begitu terkejut, tapi nadanya yang rendah menunjukkan betapa dia takut akan situasi ini. Terlebih, kalau ternyata di luar kamar ada Yasmin dan Timur.

Embun mengangguk. "Hanya ada kamu sama aku di sini," ujarnya seakan tahu apa yang dikhawatirkan Bulan." Dia kemudian lanjut membuka bungkus biskuit, lalu mengeluarkan satu potong.

"Kamu makan ini. Ini biskuit asin, bisa bantu kamu isi perut dan nggak bikin mual," ujar Embun. Dia menyodorkan biskuit itu pada Bulan.

Namun, Bulan tidak langsung menerima biskuit itu. Dia masih terpaku atas ucapan Embun tadi.

"Kamu tau sejak kapan, Bun? Apa sewaktu pegang perutku tadi?" Sebuah dugaan yang sangat lemah, sebab usia kandungan Bulan belum mencapai waktu di mana janin bisa diraba dari luar.

Embun menggeleng. Dia menghela napas berat. Dia mengembalikan biskuit ke dalam bungkusnya, dan meletakkannya di atas tempat tidur. Kini matanya kembali menatap fokus pada Bulan yang menanti dengan begitu banyak ekspresi khawatir di sana.

"Aku sebelumnya curiga sama sakitmu yang tidak kunjung sembuh. Tapi, ya, tidak sampai pada tahap ini." Embun menghela napas berat. "Sampai akhirnya hari Minggu kemarin aku buka tasmu untuk cari potongan kuku yang selalu kamu gantung dengan kunci rumah. Saat itulah aku menemukan testpack. Garis dua, Lan. Aku tahu apa artinya. Dan tidak mungkin testpack itu milik Ibu, bukan?"

Bulan terkesiap. Dia langsung merasa bodoh karena membiarkan benda itu berada di tasnya. Entah kenapa juga, setelah memeriksa kebenarannya, dia malah tidak ingin membuang benda itu. Selain itu, surat dari dokter juga ada di dalam tas. Dia jadi mengira-ngira apa Embun juga melihat surat itu.

"Tapi aku juga tidak serta-merta meyakini bahwa testpack itu benar punyamu. Aku kenal kamu, Lan. Kamu tidak mungkin berbuat sejauh itu. Sayangnya, aku menemukan hal lain di tas. Dan itu cukup membuktikan bahwa testpack yang aku lihat memang punyamu." Embun menarik napas, lalu melanjutkan. "Hari ini pun, semuanya serasa membuktikan apa yang sudah kuketahui. Aku mengenali tanda-tanda yang kamu alami, karena aku juga pernah dan sedang dalam situasi itu."

Bulan mengusap wajahnya risau. Benar bahwa Embun tidak mungkin diam saja setelah menemukan testpack itu. Jadi, sudah pasti surat dokter dibaca juga olehnya.

"Dan … aku bisa menduga itu anak siapa, Lan."

Belum habis rasa terkejut Bulan, kini Embun sudah membuka kartu lainnya. Sahabatnya itu menatapnya dengan sorot keyakinan yang kuat. Sampai-sampai tidak ada lagi keraguan di dadanya tentang Embun yang memang tahu mengenai siapa orang itu.

"Kamu tau?"

Embun mengangguk. "Timur, right?"

Habis sudah. Seketika wajah Bulan pias. Dia merasa seluruh darahnya luruh ke lantai, dan energinya terkuras entah ke mana. Tubuhnya oleng, hingga dia nyaris jatuh menyamping dari posisi duduk bersandarnya.

"Eh, Lan!" Embun meraih lengan Bulan, lalu membantunya duduk dengan tegak kembali. "Kamu mau berbaring aja? Masih pusing?" tanya Embun khawatir. Dia mulai memeriksa suhu tubuh Bulan dengan punggung tangannya.

"Aku nggak apa-apa, Bun," ujar Bulan sambil mengerjap-ngerjapkan mata, berusaha mengembalikan kesadarannya.

Embun menarik tangannya, lalu menghela napas panjang. "Sorry bikin kamu kaget."

"No, no. It's okay," sahut Bulan dengan suara serak. "Kamu … kamu … tau …."

"Aku tau dari mana?" tanya Embun membantu Bulan. Dia tahu kalau sang sahabat pasti sangat terkejut dengan kenyataan yang dia ketahui.

Bulan mengangguk. Tanpa sadar dia mencengkeram seprei sembari menunggu jawaban Embun.

"Interaksi kamu dan Timur aneh. Lebih tepatnya, kamu yang aneh. Kamu kelihatan menghindari dia. Kamu juga jadi canggung di dekat dia. Tadi juga begitu. Ya, meski kamu masih berusaha membuatnya tidak terlihat demikian, tapi aku sadar, Lan."

Embun kembali menghela napas berat. Ekspresi Bulan saat ini cukup membuatnya menyesal membongkar soal ketahuannya atas kondisi Bulan. Namun, dia tidak mungkin juga membiarkan Bulan terus menutup diri dan tak punya tempat bercerita. Dia yakin sahabatnya itu ingin bercerita ke seseorang, tapi menahan diri.

"Aku membuktikan dugaanku dengan obrolan kita barusan. Ekspresimu menunjukkan segalanya," lanjutnya.

Bulan yang semula menahan napas, kini mengembuskannya keras. Dia tak bisa menahan lagi tangisnya.

"Maaf, Bun. Maaf aku nggak cerita sama kamu. Maaf juga sudah membiarkan semua ini terjadi." Bulan tersedu-sedu. Badannya sampai terbungkuk merasai penyesalan yang begitu kental di dadanya.

Melihat itu, Embun langsung beranjak memeluk Bulan. Dia menepuk-nepuk punggung sang sahabat.

"It's okay, Lan. It's okay. Yang penting sekarang kamu punya aku. Ceritakan semuanya ke aku. Jangan dipendam sendiri dan membiarkannya menggerogotimu dari dalam. Kasihan 'dia'."

Bulan tahu 'dia' yang dimaksud Embun adalah janin dalam kandungannya. Lantas dia mengangguk dalam pelukan sang sahabat. "Terima kasih, Bun."

Embun mengurai pelukannya pada tubuh Bulan. Dia menatap wajah sang sahabat yang basah oleh air mata.

"Ibu tahu?" tanyanya.

"Tahu," jawab Bulan lirih. "Aku sudah menceritakannya pada Ibu."

"Beliau bilang apa?"

"Ibu memintaku untuk bicara pada Timur," jawab Bulan lemas.

Ibu memang sudah beberapa kali mendesaknya untuk jujur pada Timur. Namun, dia tidak mungkin melakukan itu pada Timur. Terlebih, dia sangat tahu bagaimana prinsip sahabatnya yang satu itu.

"Kamu nggak mau ngasih tau dia?" tanya Embun retoris. Dia sudah hafal betul sifat Bulan dan kondisi Timur.

Bulan menggelengkan kepala. "Ini salahku, Bun. Aku yang punya kontrol malam itu. Harusnya aku nggak lepas kendali."

"Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa ini bisa terjadi sama kalian? Aku memang sudah mengira kalau sayangmu pada Timur, sejak dulu berbeda. Tapi, aku tidak menyangka kalau kejadian ini bisa terjadi." Embun yang sejak tadi berusaha tenang dan memendam rasa penasarannya, kini jadi tidak sabar. Penolakan Bulan untuk jujur pada Timur malah membuatnya semakin terdorong untuk membahas akar permasalahan.

Tidak ada pilihan lain bagi Bulan selain menceritakan kejadian malam itu. Dia tidak lagi bisa menahan rahasia dari Embun, apalagi sehabatnya itu sudah tahu tentang kehamilannya.

Dan setelah cerita panjang itu, Bulan langsung mentap Embun. Dia berusaha membaca emosi sang sahabat. Embun adalah tipe orang yang mudah meledak-ledak. Di awal tadi memang dia tahu kalau Embun sudah berusaha menahan emosinya. Maka kali ini dia yakin kalau Embun tidak akan melakukan hal yang sama.

"Itu bukan salah kamu, Bulan! Bukan!" Embun akhirnya berseru kesal sesuai tebakan Bulan. "Kamu dan Timur sama-sama mabuk."

"Tapi saat itu aku cukup sadar untuk menolak, Bun," sahut Bulan. Entah kenapa dia sedikit tidak terima kalau Timur disalahkan. Sebab, pada saat kejadian itu Timur benar-benar mabuk berat.

Embun menggeleng. "Tidak bisa begini," ujarnya. Dia tiba-tiba berdiri dari posisi duduknya di tepi tempat tidur. "Ayo, Lan! Bangun!" perintahnya.

Bulan mengernyit. Dia tidak mengerti tindakan Embun saat ini.

"Bun …."

"Kita harus kasih tau Timur soal ini. Oh, no! Kamu yang harus kasih tau!"