"Kamu bakal gini terus?" tanya Embun jengkel. Dia mengusap wajahnya berkali-kali hingga terasa panas.
"Aku nggak akan bilang ke Timur, Bun. Nggak akan! Aku nggak mau egois," ujar Bulan untuk yang kesekian kalinya. Pasalnya, sejak tadi Embun tidak mau menyerah sama sekali untuk membujuknya. Maka, yang dia perlukan saat ini adalah menjadi lebih keras dari sahabatnya itu.
Embun menarik napas kuat-kuat, lalu melotot pada Bulan. "Kamu nggak egois! Harus berapa kali lagi aku bilang kalau kamu itu nggak egois, Bulan!" serunya frustrasi.
Namun Bulan tetap kukuh. Dia memang menyukai Timur. Dia sadar akan hal itu sejak sekitar dua tahun lalu. Namun, dia sendiri tidak menyangka bahwa rasa sukanya sebesar ini, bahwa rasa sukanya membuat dia bisa mengorbankan diri sendiri, dan bahwa rasa sukanya mendorong dia untuk melindungi hidup Timur dari rasa sakit.
"Kalau kamu maksa terus, Bun, aku pastikan aku pergi," ujar Bulan pada akhirnya. "Aku minta maaf. Tapi kalau benar kamu sampai memberi tahu Timur, aku pastikan kita nggak akan ketemu lagi."
Mendengar ancaman dari seorang Bulan yang dikenalnya sebagai perempuan kalem, membuat Embun terdiam. Dia menghela napas panjang, lalu mengembuskannya kasar. Bulan tidak pernah seperti ini. Maka bila dia berubah demikian, artinya ancaman itu bukan sekadar gertakan belaka.
"Baiklah," ujarnya sambil mengangguk. "Aku menyerah." Dia mengangkat kedua tangan seperti seorang penjahat yang tepergok aparat keamanan. "Aku nggak bakal paksa kamu, atau ngasih tau Timur tentang situasi ini."
Senyum muncul di wajah Bulan. Dia lantas memajukan duduknya dan memeluk Embun sambil menggumamkan terima kasih berkali-kali.
"Dasar!" Embun menepuk-nepuk punggung Bulan. Amarahnya tadi lesap begitu sang sahabat memeluknya.
"Aku pusing, Bun," bisik Bulan.
Mendengar pernyataan itu, Embun langsung memukul lengan sang sahabat.
"Kenapa nggak bilang dari tadi? Udah, baring sana! Bisa-bisanya diam aja kalau pusing. Aku kira juga udah baikan."
Bulan hanya menjawab omelan Embun dengan senyum tipis. Lantas, dia merebahkan diri untuk meredakan sakit yang menusuk-nusuk kepala.
"Aku sebentar lagi harus pulang. Jadi …." Embun memotong kalimatnya sendiri, dan beralih mengeluarkan beberapa barang dari dalam kantong plastik yang tadi dibawanya. Ada susu khusus ibu hamil dengan rasa strowbery, biskuit asin yang masih terbungkus rapi, dua batang cokelat, dan camilan lainnya.
"Nanti simpan ini di kulkas. Susunya diminum. Aku tahu kamu pasti mual hanya dengan membayangkan segelas susu saja. Tapi, pastikan untuk minum itu teratur. Rutin periksa juga. Kita bahkan bisa periksa berdua kalau kamu takut pergi sendiri."
Hati Bulan bergetar merasai perhatian Embun yang teramat besar untuknya. "Terima kasih," ujarnya. Dia sempat memejamkan mata sepersekian detik sebelum membukanya kembali.
Embun bertolak pinggang. Dia menatap Bulan sambil mencebikkan bibir.
"Ingat, ya, aku nggak membiarkan hal ini begitu saja. Kalau ada hal buruk yang terjadi sama kamu, siap-siap aja aku bakal buka mulut di depan Timur." Kalau Bulan bisa mengancam, maka dia pun bisa melakukan hal yang sama. "Kamu juga harus berbagi segala rencana kamu ke depannya sama aku."
Bulan mengangguk. Dia sudah tidak punya daya untuk mendebat. Tenaganya terkuras selama perdebatan mereka sebelumnya. Lagi pula Embun tidak lagi mendesak dirinya untuk memberitahukan kehamilannya pada Timur.
"Ibu bilang apa soal keputusan kamu?" tanyanya Embun.
"Keputusan untuk merahasiakan ini dari Timur?"
Embun mengangguk.
Bulan menunduk, melirik perutnya yang masih rata. "Sama kayak kamu. Dia bersikeras ingin memberi tahu Timur. Tapi bukan karena aku, itu karena Ibu merasa Timur punya hak untuk tahu."
"Itu dia!" Embun menjentikkan jari. Meski dia berada di sisi lain, tapi dia juga membenarkan pemikiran ibu Bulan. "Timur memang berhak tau."
Kepala Bulan kembali terangkat. Dia mengulas senyum yang membuat Embun membuang muka. Embun bisa memperkirakan perkataan sahabatnya yang tiba-tiba jadi keras kepala itu.
"Tapi keputusanku tetap sama. Aku harap kamu sama Ibu nggak akan maksa-maksa aku lagi."
***
"Ini ketemuan nggak ngajak Embun, dia pasti bakal marah," ujar Bulan sesampainya di depan Yasmin yang menunggunya. Dia menoleh sebentar ke arah Timur yang berdiri di sebelah kanan Yasmin sambil sibuk berbicara pada seseorang di ponsel.
Sementara itu Yasmin melirik jam di pergelangan tangan, lalu mendengkus. "Kamu lama amat, Lan. Berangkat dari mana? Mars? Atau naik kereta kencana yang ditarik kura-kura?" Dia mengabaikan ucapan Bulan sebelumnya mengenai Embun.
Bulan terkekeh mendengar sahutan sarkas dari Yasmin. Tidak, dirinya tidak merasa tersinggung, atau bahkan sakit hati. Karakter Yasmin memang demikian. Bahkan hal itu terkadang menarik perhatian para lelaki yang suka akan tantangan. Sayangnya Yasmin tiga kali lipat lebih suka tantangan, hingga pendekatan para lelaki itu tak pernah membuahkan hasil.
"Maaf. Tapi belum telat, kan?" Dia mengusap mulutnya dengan lengan baju.
Memang sebelum berangkat tadi, dia sempat muntah-muntah. Makanya perlu beberapa waktu untuk menunggu kondisinya sedikit membaik. Rasanya tidak lucu kalau dia lagi-lagi harus muntah di depan Yasmin, apalagi Timur.
Yasmin menggeleng. "Temanku juga belum datang." Nada suaranya kini sudah tidak setinggi tadi.
"Ha? Teman?" Kedua alis Bulan terangkat.
"Aku ajak kalian ke sini, tuh, untuk ketemu teman lamaku," jelas Yasmin.
"Kenapa?"
"Nanti aku kasih tau kalau orangnya udah di sini."
"Terus, kenapa nggak nunggu di food court aja? Kita dilihatin mbak-mbak SPG, tuh." Bulan menunjuk beberapa perempuan yang tengah mencuri pandang ke arah mereka, dengan dagunya.
Ketiganya memang berdiri di sebelah pintu masuk mall. Hal itu jelas saja membuat mereka jadi perhatian pekerja mall, sekaligus membuat tangan mereka penuh dengan berbagai macam selebaran.
"Temanku belum pernah ke mall ini. Kasihan kalau dia harus cari-cari dulu. Mending masuk bareng," sahut Yasmin sambil bersedekap. Selebaran di tangannya, sudah dia pindahkan ke Bulan. Setelahnya, dia menguap lebar hingga matanya sedikit berair.
"Temanmu bukan orang sini?" tanya Bulan. Dia sungguh tidak mengerti alasan Yasmin mengajak dirinya dan Timur dalam pertemuan ini. Sungguh hal yang mencurigakan, meski dia tak bisa menebak apa yang sedang direncakan perempuan tomboi itu.
Yasmin menggeleng. Dia melirik jam di pergelangan tangan, lalu kembali menguap. "Bentar lagi pasti muncul. Dia tuh baru pulang dari Prancis."
Bulan hendak mengajukan pertanyaan lagi, tapi tiba-tiba terdengar dehaman dari Timur. Lelaki itu rupanya sudah selesai dengan urusannya, dan kini sedang menatap Bulan dengan senyum lebar di wajah.
"Kamu belum kelihatan seratus persen sehat, tapi sudah lebih baik dibanding saat kami ke rumahmu tempo hari," komentar Timur.
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Bulan. Dia hanya membalas singkat senyum Timur, lalu secepatnya mengalihkan wajah. Sungguh, hal yang sangat dia inginkan saat ini adalah menatap lamat-lamat wajah Timur. Sayangnya, dia mungkin akan dikatai mesum oleh Yasmin jika nekat melakukan itu.
"Kalau belum baikan, Minggu besok kamu nggak perlu ikut kegiatan kita," timpal Yasmin. "Kamu harus banyak istirahat biar cepat pulih. Heran, deh, sakit kok lama amat."
"Kamu nyuruh Bulan istirahat, tapi sekarang ngajak dia ke mall," ujar Timur sambil terkekeh pelan. Lelaki itu kini merubah posisinya jadi berdiri di depan Yasmin, tapi sedikit condong ke sisi Bulan.
"Ini tuh, penting buat dia," kelit Yasmin.
Timur seketika mengernyit. "Penting? Penting kenapa?" tanyanya heran.
"Eh, itu dia!" seru Yasmin tiba-tiba. Wajah kantuknya hilang seketika, berganti dengan senyum semringah.
Pertanyaan Timur tadi hilang begitu saja di udara. Lelaki itu kini memutar badan dan mengikuti arah pandang Yasmin. Begitu juga dengan Bulan.
"Guys, kenalin ini Bima, teman kecilku," ujar Yasmin begitu seorang lelaki berpakaian rapi berdiri di depannya. "Dan, Bima, ini Rembulan, perempuan yang selalu ingin kamu temui."