Chereads / Hidden Little Secret / Chapter 29 - Sebuah Panggilan Baru

Chapter 29 - Sebuah Panggilan Baru

Setelah ucapan tajam dan tidak enak dari Kelvin, Bulan tetap berusaha ramah. Dia tetap menyapa kakak tirinya itu saat di meja makan, bahkan sesekali menawarkan jajanan meski lelaki itu tidak balas beramah tamah dengannya. Tak lama kemudian, barulah dia mendengar alasan sesungguhnya dari Misha tentang kondisi Kelvin.

Misha bercerita bahwa Kelvin di paksa ayahnya untuk terus menggambar ketika di Korea. Kelvin memang seorang pembuat komik, tapi hidupnya semakin ditekan oleh sang ayah yang merupakan pecandu alkohol dan juga beberapa obat-obatan terlarang. Makanya Kelvin yang sudah begitu stres memilih melarikan diri ke Indonesia dan meninggalkan semua pekerjaannya. Mendnegar cerita itu, Bulan akhirnya mengerti penolakan Kelvin pada pendekatan semua orang, termasuk ibunya sendiri.

Namun, hal itu malah membuat Bulan merasa tertantang untuk terus ramah pada kakak tirinya itu. Dia ingin menunjukkan bahwa tidak semua orang jahat, dan masih banyak orang-orang baik yang tulus. Selain itu, mereka juga bersaudara walaupun tidak sedarah.

"Kakak mau aku buatin sesuatu?" tanya Bulan di pagi kelima setelah Kelvin tiba di rumah ini. Keadaan rumah sepi. Ardi dan Misha sudah berangkat ke kedai sejak subuh tadi usai menyiapkan sarapan yang ala kadarnya. Sementara kakak tirinya yang hampir tidak pernah keluar kamar itu, untuk pertama kalinya duduk di area yang selalu dia datangi setiap pagi dan sore, yaitu di halaman belakang. Namun, masih seperti kemarin-kemarin, Kelvin kembali mengabaikannya seolah dia tidak bicara apa pun.

"Kak?" panggil Bulan. "Mungkin Kakak mau kopi?" tanyanya lagi, masih berusaha beramah tamah. Dia juga ingin hubungannya dengan Kelvin baik, karena kemungkinan mereka akan tinggal bersama dalam waktu yang lama, sebab Misha bilang Kelvin tidak mau kembali tinggal di Korea Selatan bersama ayah kandungnya.

Sementara itu, Kelvin yang merasa ketenangannya diusik akhirnya menoleh tajam pada Bulan. Tidak tampak keramahan atau penerimaan secuil pun dari tatapan itu.

"Sudah kubilang, tidak usah sok ramah sama aku," ucap Kelvin, masih dengan suara pelan tapi menusuk dan dingin. "Aku tidak butuh keramahanmu. Dan lebih baik kamu urusin diri kamu sendiri dan kehamilanmu itu."

Setelah berucap demikian, Kelvin langsung berdiri. Dia berjalan masuk ke dalam rumah dan melewati Bulan yang masih terkejut begitu saja.

Bulan menyentuh dadanya yang berdebar cepat akibat terkejut dengan ucapan Kelvin. Selama ini dia pikir Kelvin tidak menyadari kondisi kehamilannya.

"Susah sekali," gumamnya kemudian setelah keterkejutannya mereda. Dan tiba-tiba ketika dia hendak duduk di kursi halaman belakang, ponselnya dalam saku celana berdering. Sebuah panggilan yang datangnya dari Candra membuat kedua alis Bulan terangkat.

"Ada apa, nih?" gumamnya sembari mengernyit. Namun, tetap tangannya dengan cepat menjawab panggilan itu.

"Lan, bisa minta tolong?" tanya Candra begitu panggilan tersambung.

"Minta tolong apa, Mas?" tanya Bulan balik.

"Ini Bhumi lagi sedikit demam. Dia ada di kantorku, tapi aku harus rapat sebentar lagi dengan beberapa orang penting. Di sini nggak ada yang bisa aku mintai tolong untuk jagain Bhumi karena ini rapat penting. Kamu bisa ke sini nggak buat jagain Bhumi?" tanya Candra cepat setelah menjelaskan kondisinya di awal.

"Bisa, Mas." Bulan menjawab tak kalah cepat. Dia bahkan langsung berdiri dari posisi duduknya dan berjalan masuk ke dalam rumah untuk berganti pakaian. "Dia kantor Mas Candra, kan?" tanyanya.

"Iya. Kamu nggak lagi sibuk, kan?"

"Nggak kok, Mas. Aku juga belum dapat kerja, makanya punya banyak waktu luang. Jadi, hari ini biar aku yang jaga Bhumi."

Terdengar helaan napas dari seberang, hingga Bulan merasa dirinya jadi berguna untuk Candra saat ini setelah lelaki itu membantu menjaga rahasianya dari Yasmin.

"Untuk yang lain-lain aku jelasin pas kamu udah nyampe sini, ya," ujar Candra sebelum memutus panggilan.

"Iya," jawab Bulan sembari hendak membuka pintu kamarnya. Namun, sebelum benar-benar masuk ke dalam kamar, dia menoleh ke kamar sebelah. Dia menatap pintu kamar Kelvin dan mempertimbangkan untuk izin keluar atau tidak. Namun, dia kemudian menggeleng-gelengkan kepala dan melangkah cepat ke dalam kamar.

***

"Ini pacarnya Pak Candra, ya?" tanya Silvia—sekretaris Candra—ketika mengantarkan Bulan ke dalam ruang kerja Candra.

Mendengar ucapan itu, mata Bulan dan Candra sama-sama melebar. Namun setelah itu keduanya tertawa terbahak-bahak.

"Eh, bukan?" tanya Silvia tidak enak.

Candra akhirnya menggeleng-gelengkan kepala. Dia menjelaskan tentang alasan kedatangan Bulan, lalu mempersilakan sekretarisnya itu untuk kembali menyiapkan berkas-berkas yang akan dipakai untuk rapat nanti.

"Maaf, ya, sekretarisku suka asal bicara," ujar Candra sambil mengarahkan Bulan untuk mengikutinya menuju sebuah pintu yang ada di belakang meja kerjanya.

"Nggak pa-pa, Mas," jawab Bulan sambil tersenyum. Jelang siang ini dia memakai jaket yang panjang untuk menutupi perutnya meski udara sedang panas-panasnya.

"Bhumi ada di kamar ini," ujar Candra sambil membuka pintu yang ada dibelakang meja kerjanya itu. "Dia lagi tidur setelah aku kasih obat pagi tadi," ujarnya sambil mempersilakan Bulan masuk ke dalam kamar yang berukuran cukup besar itu.

Bulan tersentak sedikit karena tadi dia cukup mengagumi betapa terlihat nyamannya kamar itu meski tempatnya ada di sebuah kantor penerbitan. Dia kemudian mengembalikan fokus pada Candra dan mendengar penjelasan lelaki itu soal kondisi Bhumi yang dikabarkan kurang baik. Dan, ya, bocah laki-laki tiga tahun itu tengah terbaring di tempat tidur dengan handuk kecil basah yang ada di keningnya.

"Untuk makan siangnya udah aku siapin di meja," ujar Candra lagi. "Nanti minta tolong kamu hangatin sebentar di pantry bawah, ya," pintanya.

Bulan menganggukkan kepala. Dia menoleh kasihan pada Bhumi yang lagi-lagi bertemu dengannya dalam kondisi kurang sehat. Padahal baru beberapa minggu lalu mereka bertemu di rumah keluarga Yasmin dan juga rumah sakit.

"Makan siang buat kamu juga ada di pantry. Tapi kalau kamu mau makan yang lain, kamu bisa minta tolong ke satpam depan buat beliin. Uangnya kamu ambil aja di laci itu," ujar Candra sambil menunjuk meja berlaci yang ada di depan tempat tidur.

"Siap, Mas. Makasih," ucap Bulan.

Candra membalas Bulan dengan ucapan terima kasih yang sama, lalu dia keluar dari kamar itu untuk segera berangkat rapat di luar.

Sementara Bulan, dia memutuskan untuk duduk di tepi tempat tidur, bersebelahan dengan Bhumi. Dia mengambil handuk dari kening Bhumi, lalu memasukkannya ke dalam baskom berisi air yang ada di kolong tempat tidur. Setelah memeras airnya, dia pasangkan lagi handuk itu di kening Bhumi. Hal it uterus dia lakukan berulang-ulang sampai waktu makan siang tiba.

***

"Makasih Bulan atas bantuanmu," ujar Candra saat dia, Bhumi, dan Bulan pergi makan malam di sebuah restoran keluarga. Keadaan Bhumi sudah jauh lebih baik. Demam anak lelaki itu sudah turun, dan bahkan kini tampak ceria kembali.

"Sama-sama, Mas," sahut Bulan. Dia tersenyum, kemudian memindahkan beberapa lauk ke dalam piringnya.

"Bhumi nggak rewel atau nyusahin kamu, kan?" tanya Candra untuk yang kesekian kalinya. Dia masih khawatir membuat Bulan kecapekan karena kondisi perempuan itu juga tengah hamil muda.

Bulan menggelengkan kepala. Dia kemudian mengulurkan tangan dan mengusap puncak kepala Bhumi yang tengah duduk di sebelahnya. Anak tunggal Candra itu memang minta untuk duduk di dekatnya, dan bahkan tak mau pisah darinya.

Gelengan kepala Bulan untuk yang kesekian kali juga membuat Candra mengehela napas lega. Dia tersenyum kecil sambil berujar, "Nggak tahu kenapa Bhumi selalu gampang nyaman sama kamu, Lan. Padahal sama Yasmin yang tantenya sendiri, dia malah sering marah-marah dan menolak."

Bulan ikut tertawa mendengar keheranan yang disampaikan Candra. "Aku sendiri juga nggak ngerti, Mas," kekehnya.

"Karena kamu terlalu lemah lembut kali, ya. Beda sama Yasmin yang bar-bar," tebak Candra sambil tertawa.

Bulan lagi-lagi ikut tertawa, tapi kali ini sambil menggeleng-gelengkan kepala. Namun, tawanya mereda saat tangan kecil Bhumi tiba-tiba menarik lengan jaketnya.

"Iya, Bhumi?" tanyanya sambil menundukkan kepala sedikit.

"Bhumi mau panggil Mama. Boleh?"

Seketika Candra dan Bulan sama-sama membeku di kursi masing-masing.