Sejak pagi Bulan sudah berada di rumah sendirian. Ardi dan Misha pergi bekerja seperti biasanya, sementara Kelvin sudah keluar rumah sejak sebulan lalu dibelikan motor baru oleh Ardi dan Misha. Dia tidak pernah tahu ke mana kakak tirinya itu pergi. Sebab, Kelvin masih tidak suka didekati oleh siapa pun, apalagi Bulan. Lelaki itu tampak begitu dingin dan angkuh. Namun, Bulan terus berusaha mengerti karena luka hati yang diderita oleh Kelvin pastinya tidak mudah disembuhkan begitu saja oleh suasana ataupun orang-orang baru. Selama tinggal di sini pun Kelvin jarang berbicara pada siapa pun, termasuk Misha sebagai ibu kandungnya.
Dan lagi-lagi, siang ini Bulan hanya bisa menatap pintu kamar Kelvin sambil menghela napas berat. Selalu itu yang terjadi setiap hari. Dia tidak berani masuk ke kamar kakaknya itu untuk bersih-bersih.
"Masa nggak dibersihkan lagi," gumam Bulan sambil mengayun-ayunkan sapu di tangan kanannya. Lantas, tiba-tiba ponselnya yang ada di dalam kamar berdering. Hal itu membuatnya meletakkan sapu di depan pintu kamar Kelvin dan bergegas masuk ke dalam kamarnya sendiri untuk mengangkat panggilan.
"Iya, Bun?" sapa Bulan pada Embun yang menghubunginya.
"Kabarmu bagaimana?" tanya Embun di seberang.
"Baik," jawab Bulan sambil mengulas senyum meski Embun tak bisa melihatnya. Sahabatnya itu cukup rutin menghubunginya, paling tidak seminggu dua kali untuk menanyakan kabar ataupun bercerita soal Yasmin dan juga Timur. "Kamu sama anak-anak gimana?" tanyanya balik.
"Anak-anak siapa, nih?" balas Embun alih-alih menjawab pertanyaan Bulan lebih dulu.
Bulan terkekeh pelan. "Yasmin sama Timur," jawabnya.
"Yasmin seperti biasa, masih ngomel-ngomel karena katanya kamu kelamaan di Malang. Kalau Timur, aku yakin dia kangen banget sama kamu. Kadang dia malah sering tanpa sengaja manggil aku atau Yasmin pakai namamu."
Bulan lagi-lagi tersenyum. Kabar tentang Timur yang katanya merindukan dirinya tidak hanya dia dengar dari Embun saja, melainkan dari sang ibu juga. Meski begitu, semakin mendengar hal itu tak lantas membuat hatinya makin lemah. Dia malah semakin kuat dan yakin bahwa apa yang dia lakukan sekarang memanglah benar.
"Eh, ngomong-ngomong kamu udah cek ke dokter lagi?" tanya Embun. "Udah masuk trimester tiga, kan?"
"Iya," jawab Bulan. "Kemarin aku diantar Ayah ke dokter kandungan."
"Semua fine?" tanya Embun.
"Iya."
"Kakak tirimu?"
Mendengar pertanyaan Embun membuat Bulan menghela napas berat. "Masih belum tersentuh. Luka hati dia kayaknya besar banget …." Dia tidak sempat melanjutkan kalimatnya karena tiba-tiba telepon rumah berdering. Seketika dia berlari menuju ruang tengah.
"Udah dulu, ya. Ada telepon masuk," ujarnya pada Embun yang langsung diiyakan. Smenetara dia dengan cepat memasukkan ponsel ke dalam saku dan mengangkat telepon rumah yang masih berdering.
"Halo?" sapanya.
"Halo, ini dengan keluarga Kelvin Lee?" tanya seorang perempuan dari seberang.
Mata Bulan langsung melebar. Entah kenapa perasaannya jadi tidak enak. "Iya, betul. Saya adiknya. Ini siapa, ya?"
"Ini dari Rumah Sakit dr. S. Saudara Kelvin baru saja mengalami kecelakaan, sehingga dimohon keluarganya untuk segera datang."
***
Bulan dengan terengah-engah menuju bilik di mana Kelvin tengah berbaring. Tadi sewaktu sampai di rumah sakit, dia langsung bertanya pada petugas yang berjaga di UGD.
Ketika dia membuka tirai, dia melihat Kelvin yang tengah terbaring dengan beberapa perban di tubuhnya. Lelaki itu sudah sadarkan diri, dan kini tengah memandang langit-langit ruang UGD.
"Kak?" sapa Bulan sambil menyibak tirai, lalu berdiri di sebelah brankar tempat Kelvin berbaring.
Kedatangan Bulan membuat Kelvin mengernyit. Wajahnya yang tadi tampak tenang seketika berubah tak suka.
"Kamu ngapain datang ke sini?" tanyanya dingin.
"Tante Misha juga lagi dalam perjalanan ke sini, Kak." Bulan sengaja menjawab dengan hal lain untuk tidak memancing amarah Kelvin. Dia tahu kalau kakak tirinya itu tak menyukainya.
Kelvin berdecak, lalu memalingkan wajah ke sisi lain. Dia tidak ingin dipandang lemah oleh Bulan.
Sementara itu Bulan hanya mengatupkan bibirnya, berusaha tak megnatakan hal apa pun. Dia tetap berdiri di sebelah brankar dan mengamati pakaian Kelvin yang kotor oleh darah. Beberapa bekas darah juga terlihat di kulit lengan dan juga lehernya. Mungkin perawat dan dokter yang merawat Kelvin tidak sempat membersihkannya. Jadinya dia berinisiatif sendiri untuk membersihkan noda darah di kulit kakak tirinya itu dengan tisu basah yang memang dia bawa dari rumah.
"Kamu mau apa?" tanya Kelvin sambil mengernyitkan dahinya tidak suka.
"Mau bantu bersihin sisa darah Kakak," jawab Bulan dengan suara pelan. Dia tidak enak berisik di UGD yang diisi oleh orang-orang sibuk.
"Nggak perlu. Aku nggak butuh!" sahut Kelvin, masih dengan suara yang dingin.
Bulan tidak menghiraukan penolakan kakaknya. Dia akhirnya tetap menyentuh kulit Kelvin dengan tisu basah, hingga kemudian Kelvin menepis tangannya dengan kasar.
"Aku bilan tidak, ya tidak! Kamu tuli?" seru Kelvin dengan mata melotot.
Hal itu akhirnya membuat tangan Bulan berhenti bergerak. Dia menundukkan kepala sambil memundurkan langkah. Tak lama kemudian tirai yang mengelilingi brankar Kelvin terbuka. Di sana muncul Misha dengan wajah paniknya.
"Kelvin? Kamu nggak apa-apa?" tanyanya langusung sambil mengecek kondisi putranya, meski sebelumnya dia sudah mendapat pesan singkat dari Bulan tentang kondisi Kelvin yang beruntungnya tidak terlalu parah.
Kelvin terlihat enggan menjawab. Lelaki itu sempat melirik Bulan dengan tidak nyaman, sehingga Bulan akhirnya memutuskan pamit ke kedai pada Misha. Dia berniat menggantikan perempuan itu untuk membantu ayahnya bekerja. Misha mengiyakan sambil mengucapkan terima kasih.
"Huh, bagaimana cara meluluhkan hati Kak Kelvin," gumam Bulan ketika dia akhirnya keluar dari UGD.
***
"Kamu istirahat aja, Lan," ujar Ardi ketika melihat Bulan masih saja membantunya melayani para pembeli. Padahal sejak setengah jam yang lalu dia sudah meminta putrinya itu untuk berhenti membantu. Dia khawatir dengan kondisi kehamilan Bulan kalau sampai kecapekan. Namun, Bulan memang punya sifat keras kepala seperti dirinya, sehingga putrinya itu lagi-lagi menggelengkan kepala.
"Nanti kamu kecapekan," ujar Ardi lagi, menanggapi penolakan Bulan.
"Aku masih segar ini, Yah," sahut Bulan. "Mungkin karena terlalu lama berdiam diri di rumah, aku jadi menikmati pekerjaan ini." Dia mengulas senyum tulus untuk menenangkan ayahnya.
"Beneran nggak apa-apa?" tanya Ardi ragu.
"Iya, beneran," jawab Bulan.
Ardi akhirnya menghela napas panjang. Dia pasrah dengan penolakan Bulan, dan lanjut melayani pembeli. Kedai ini memang hanya dipegang oleh Ardi dan Misha, tidak ada pekerja lain, karena keduanya merasa belum butuh. Makanya tadi saat Misha ke rumah sakit, Bulan berinisiatif untuk menggantikan pekerjaan perempuan itu. Dia tidak tega membiarkan ayahnya bekerja sendiri, apalagi kedai sotonya memang hampir selalu ramai sepanjang waktu.
"Kalau ngerasa capek, harus cepat-cepat istirahat, ya," ucap Ardi sambil meletakkan satu mangkuk soto di atas nampan yang tengah dipegang Bulan.
"Siap," jawab Bulan, lagi-lagi sambil tersenyum agar ayahnya tenang.
Dia kemudian melangkah menuju pembeli yang bukan lain adalah tetangga lingkungan tempat tinggalnya sekarang. Dia pernah melihat perempuan itu lewat di depan rumah ayahnya ketika dia tengah membersihkan halaman.
"Oh, Nak Bulan sekarang bantu-bantu di sini?" tanya perempuan itu ketika mangkuknya diletakkan di atas meja.
Bulan mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Bu."
"Memangnya nggak dimarahin sama suami karena lagi hamil besar begini malah bekerja?"
Seketika Bulan terdiam selama beberapa detik. Hingga kemudian dia membalas tanya itu hanya dengan senyum tipis. Dia kemudian pamit undur diri untuk melayani pembeli yang lain. Namun, perempuan paruh baya bertubuh tambun itu tak melepaskannya begitu saja.
"Oh, atau gosip yang selama ini beredar memang benar? Nak Bulan ini hamil di luar nikah?"
Pertanyaan yang langsung tepat pada sasaran itu membuat mata Bulan melebar. Dia cukup terkejut. Beruntungnya ini sudah bukan jam makan siang lagi, sehingga pelanggan yang ada tidak terlalu banyak. Mereka pun tampaknya tidak mendengar ucapan perempuan bertubuh tambun yang baru saja dia layani.
"Mohon maaf Bu Maya, tolong ucapannya di jaga." Tahu-tahu Ardi kini berdiri di sebelah Bulan.
"Loh, memang benar, kan?" tanya ibu bertubuh tambun yang dipanggil Maya itu. "Anak Pak Ardi itu memang hamil di luar nikah. Semua orang sekomplek juga udah tahu."
Ardi hendak berbicara lagi, tapi Bulan segera menarik ayahnya menuju dapur. Dia menggelengkan kepala, mencoba memberi isyarat pada ayahnya kalau dia tidak mau obrolan itu berlanjut.
"Ayah nggak bisa diam saja kamu dihina begitu!" omel Ardi ketika akhrinya dia dan Bulan sudah berada di dapur.
Bulan menggelengkan kepala lagi. "Yang dibilang Bu Maya memang kenyataan, Yah."
"Tapi nggak seharusnya dia ikut campur sama urusan keluarga orang lain!" balas Ardi.
Bulan menghela napas panjang. Lantas, pemikiran yang ada di kepalanya sejak dia tinggal dengan ayahnya muncul kembali.
"Yah," panggilnya. "Sepetinya aku harus pergi dari rumah Ayah supaya tetangga nggak berpikiran buruk terus soal keluarga Ayah." Dia akhirnya mengucapkan apa yang selama ini dia tahan.
Mendengar ucapan sang putri, Ardi langsung merasakan sesak di dadanya. Dia menghela napas berat, lalu menggelengkan kepala.
"Kamu nggak usah ke mana-mana. Kamu harus tinggal sama Ayah, dan kamu nggak usah memperdulikan perkataan para tetangga," putus Ardi sambil berjalan menuju kompor yang masih menyala.