Candra terdiam lama setelah mendengar ucapan Bulan. Dia menyugar rambut sembari menghela napas panjang. Dia tidak menyangka sahabat adiknya itu mendatanginya dan meminta hal yang sebetulnya sudah dia pikirkan semalam. Walaupun dia tidak tahu keadaan Bulan, tapi dia bisa menebak. Dia bisa mengira-ngira apa yang terjadi pada perempuan itu di luar kebenarannya. Dan soal kebenaran, dia tidak harus tahu karena dia bukan siapa-siapa. Namun, siapa sangka kalau Bulan begitu kepikiran sampai datang ke kantornya, bahkan mengajukan diri menjaga Bhumi.
"Wait, Lan." Candra menghela napas panjang sekali lagi. "Walau kamu belum cerita, aku sudah tahu kamu punya tujuan buat ngerahasiain kondisimu saat ini. Jadi, aku nggak ada niat untuk membongkar kondisimu ke orang lain. Kedua, kamu nggak perlu balas soal tahunya aku tentang kondisimu. Kamu nggak perlu jaga Bhumi, dan aku tidak akan cerita ke siapa-siapa soal kehamilanmu."
Bulan menggelengkan kepala mendengar ucapan Candra. Dia merasa perlu membalas budi untuk lelaki itu karena dia sudah membuat seorang kakak menyimpan rahasia dari sang adik. Kalau suatu saat ketahuan, dia yakin kalau Yasmin tidak hanya akan marah pada dirinya saja. Sahabatnya yang tomboi itu pasti akan marah juga pada Candra. Makanya untuk meminimalisir rasa bersalah itu, dia menawarkan diri untuk menjaga Bhumi. Lagi pula dia tahu kalau Candra sebetulnya butuh pengasuh.
"Mas Candra lagi kesulitan cari pengasuh untuk Bhumi, kan?" tanyanya. "Yasmin pernah cerita kalau pengasuh-pengasuh yang sebelumnya dipekerjakan nyaris tidak sesuai dengan mau Mas," ujarnya. "Aku benar-benar bisa bantu jaga Bhumi karena aku pun belum punya pekerjaan lagi."
Kali ini Candra balas menggeleng. Dia juga tidak tega membiarkan perempuan yang tengah hamil untuk menjaga anak usia tiga tahun yang sedang aktif-aktifnya. Bisa-bisa malah kondisi Bulan yang terancam.
"Nggak perlu, Bulan." Candra menautkan kedua tangannya. "Aku nggak akan bocorin rahasia kamu ke Yasmin. Aku janji."
Bulan menghela napas. Dia hendak berbicara, tapi Candra memutus ucapannya.
"Tidak ada perdebatan, Rembulan."
Pada akhirnya Bulan menerima penolakan Candra. Dia juga berterima kasih karena lelaki itu mau mengorbankan persaudaraannya untuk menjaga rahasia miliknya.
"Nggak perlu berterima kasih," ujar Candra ketika Bulan untuk ketiga kalinya menyebutkan kata tersebut. "Asalkan kalau ada apa-apa, izinkan aku bantu kamu. Kita sama-sama ada di kota yang sama dan saling mengenal. Aku juga saudara sahabatmu. Kamu bisa mengandalkanku kalau suatu saat kamu butuh sesuatu."
Senyum Bulan akhirnya menggantikan ekspresi khawatir yang sejak tadi menghuni wajahnya. "Kalau begitu, Mas juga harus sama. Kalau Mas butuh bantuanku, Mas bisa hubungi aku. Termasuk kalau Mas butuh orang buat jaga Bhumi."
Candra terkekeh pelan sembari menganggukkan kepala. Dia kemudian mengulurkan tangan dan menjabat tangan Bulan.
"Deal," ujarnya.
***
Sore hari, Bulan diam termenung di halaman belakang rumah yang penuh dengan tanaman obat. Ibu tirinya memang suka berkebun, tidak jauh berbeda dengan Seruni. Bedanya hanya dari jenis tanaman yang ditanam. Kalau Misha lebih suka menanam tanaman obat-obatan, sementara ibunya suka menanam bunga. Makanya tidak butuh waktu lama untuk dia menikmati suasana nyaman di halaman belakang. Tempat itu bisa membuatnya seolah tengah berada di rumah ibunya di Jakarta.
Namun, ketengannya terintrupsi oleh kedatangan Misha. Peremuan paruh baya yang masih sangat cantik itu mendekatinya sambil membawa tiga buah mangkuk ukuran sedang.
"Kenapa, Tante?" tanya Bulan langsung ketika Misha berdiri di sebelah kursi tempatnya duduk.
"Habis ini ada tukang bakso langganan Tante sama Ayahmu di ujung gang. Mau coba nggak?" tanya Misha sambil mengangkat mangkuk yang ada di tangannya. Dia tersenyum untuk membujuk anak perempuan suaminya itu.
Bulan sebetulnya tidak terlalu lapar. Siang tadi dia ditraktir banyak makanan oleh Candra setelah mereka membahas soal rahasia yang dia sembunyikan dari Yasmin. Namun, karena menyadari niat baik Misha untuk mendekat padanya, dia pun akhirnya balas tersenyum dan berdiri dari posisi duduknya.
"Enak, Tan?" tanyanya.
"Enak banget," jawab Misha. "Bakso khas malang yang ada sayurannya. Penjualnya juga nyediain berbagai macam gorengan. Kamu pasti suka. Kata ayahmu, selera kalian tidak jauh beda."
"Itu dulu," jawab Bulan dalam hati, sebab dia memang sudah bertahun-tahun tidak bertemu atau makan dengan sang ayah sebelum kedatangannya ke rumah ini. Dan jawaban itu sengaja dia katakan dalam hati agar tak menyinggung lagi rasa bersalah Misha.
"Iya," jawabnya setelah itu. "Ngomong-ngomong Ayah mana?" tanyanya ketika keduanya mulai berjalan masuk ke rumah, meninggalkan halaman belakang yang tampak indah oleh semburat jingga dari senja yang kurang beberapa menit lagi akan habis diterpa petang.
"Ayahmu lagi mandi. Dari tadi dia kelamaan baca koran, makanya telat mandi," jawab Misha sambil terkekeh pelan.
Bulan tersenyum tipis mendengar jawaban itu. Dalam hati dia jadi memikirkan bahwa perpisahan antara orang tuanya itu mungkin adalah suatu hal yang baik. Dia merasa ibunya hidup lebih baik dan produktif ketika bercerai, walau luka hati perempuan yang sangat disayanginya itu juga tidak luput dari perhatiannya. Selain itu, ayahnya juga tampak hidup dengan baik bersama istrinya yang sekarang. Melihat dan mengerti itu membantu membuatnya jadi lebih ihklas dan dewasa. Dia pun bertekad untuk mendekatkan diri ke ayah serta ibu tirinya.
Keduanya kemudian berjalan keluar rumah menuju ujung gang yang berupa pertigaan. Di sana tampak beberapa ibu-ibu yang juga tengah jajan bakso bersama anak-anaknya yang masih kecil. Bulan tersentak ketika menyadari dia tidak memakai jaket. Perutnya yang menonjol terlihat jelas dari balik kaus press body yang dia kenakan.
"Kenapa?" tanya Misha saat menyadari Bulan berhenti berjalan.
"Aku lupa pakai jaket, Tante," jawab Bulan dengan suara kecil. Sementara di depan sana orang-orang sudah menyadari kedatangannya dan sang ibu tiri.
Misha melirik ke arah perut Bulan. Dia kemudian mengulas senyum dengan tenang, lalu menggelengkan kepala.
"Nggak apa-apa. Cepat atau lambat orang-orang akan tahun," jawabnya. "Kalau sampai mereka ngata-ngatain kamu, bakal Tante balas." Dia mengulurkan tangan dan menepuk pundak Bulan tanpa canggung.
Mendengar perkataan ibu tirinya, entah kenapa Bulan akhirnya mengangguk. Dia lantas berjalan lagi beriringan dengan perempuan yang tengah membawa tiga buah mangkuk itu menuju tukang bakso.
"Loh, Mbak Misha tumben jajan bakso," celetuk salah seorang ibu-ibu berdaster ungu.
"Aku sering jajan bakso kok, Mbak," balas Misha, "tapi akhir-akhir ini saja yang berkurang. Iya, kan, Pak Ndik?" ujarnya pada penjual bakso yang tengah sibuk mengisi mangkuk-mangkuk yang mengantre di gerobaknya sejak tadi.
"Iya," jawab penjual bakso yang dipanggil Ndik meski nama aslinya adalah Andik. "Bu Misha sama Pak Ardi kan bisa bosan soto kalau makan it uterus," ujarnya bercanda.
Beberapa ibu-ibu itu tertawa, sampai kemudian salah seorang mengamati Bulan.
"Ini anaknya Pak Ardi dari istri yang sebelumnya, kan?" Kali ini seorang ibu paruh baya berbaju daster hijau yang bertanya. Perempuan bertubuh tambun itu sempat terpaku beberapa menit mengamati perut Bulan yang tampak tidak normal untuk perempuan single. Sebelum kedatangan Bulan, ibu-ibu di gang ini memang sudah tahu mengenai anak gadis Ardi dari pernikahan sebelumnya.
"Iya, namanya Bulan," jawab Misha sambil menyerahkan tiga mangkuk yang dibawanya pada Andik.
"Oh," jawab si daster hijau. "Ini Nak Bulan lagi hamil, ya? Udah nikah, dong? Suaminya mana?" Dia lanjut bertanya karena tidak pernah mendengar Ardi pergi ke Jakarta untuk menghadiri pernikahan putrinya tersebut.
Seketika Misha terdiam dan melirik tidak enak pada Bulan. Dia lantas menggenggam tangan anak tirinya itu sembari menuntunnya menuju kursi yang ada di sebelah gerobak.
"Nggak usah dijawab," bisiknya sambil menyuruh Bulan duduk.
Bulan hanya memutuskan mengangguk sambil menundukkan kepala. Dari pandangan menunduk itu dia bisa melihat bayangan kaki ibu tirinya yang berjalan kembali menuju tempat ibu-ibu yang sebelumnya bertanya tentang kondisinya.