Setelah kejadian di penjual bakso beberapa hari yang lalu, Bulan jadi enggan keluar rumah. Dia merasa malu dan takut. Walaupun Misha sudah menolongnya dengan meminta ibu-ibu itu untuk tak bertanya mengenai hal pribadinya, tetap saja orang-orang itu dengan pintar menyimpulkan keadaannya. Dalam waktu yang tidak lama, semua orang di lingkungan tempat tinggal ayahnya tahu mengenai Bulan yang hamil di luar nikah. Mereka juga mengatakan Bulan sengaja pindah ke Malang dan tinggal bersama ayahnya demi menghindari gunjingan tetangganya di Jakarta. Selain itu, para tetangga juga jadi membicarakan ibunya yang tidak mereka kenal dengan cukup buruk. Katanya ibu Bulan tak mendidik Bulan dengan baik hingga bisa hidup bebas dan hamil di luar nikah.
Makanya demi kesahatan jiwanya, Bulan memilih diam di rumah. Hiburannya saat ini hanyalah duduk di ruang tamu dan menatap jendela samping rumah yang sering menunjukkan anak-anak tengah bermain di halaman samping. Memang di sebelah rumah ayahnya ini ada panti asuhan. Bangunannya tidak begitu besar, tapi dari yang dia amati, anak-anak yang tinggal di sana tidak tampak sedih. Mereka bahkan tampak sangat bersenang-senang karena memiliki satu sama lain.
Tiba-tiba saja dia jadi rindu dengan ibunya di Jakarta. Hal itu kemudian membuatnya mengambil ponsel di atas meja dan hendak menghubungi ibunya. Namun, sebuah pesan yang masuk membuatnya mengurungkan niat.
Tante Misha: Bulan, Tante sama ayahmu pergi ke Surabaya buat jemput Kelvin. Dia mendadak memberi kabar kalau ke Indonesia. Jadi kami akan pulang malam. Untuk makan malam, kalau malas makan makanan pagi tadi, kamu bisa beli di luar atau masak sendiri, ya. Maaf pemberitahuannya mendadak. Tante juga kaget dan lansung berangkat ini.
"Berarti dia kakak tiriku," gumam Bulan sembari membalas pesan dari ibu tirinya itu.
Dia tahu nama Kelvin. Nama itu pernah disebut oleh Misha sewaktu dulu dia datang ke pernikahan kedua ayahnya. Namun, dia belum pernah bertemu Kelvin karena anak tunggal Misha itu tinggal di Korea bersama ayah kandungnya. Setidaknya informasi itu yang dia tahu selain soal Kelvin yang empat tahun lebih tua dari dirinya.
Setelah membalas pesan, Bulan akhirnya menghubungi sang ibu sesuai rencana sebelumnya. Soal makan malam bisa dia urus nanti saat lapar.
"Halo, Lan?" sapa Seruni langsung ketika panggilan akhirnya tersambung.
"Aku kangen Ibu," jawab Bulan alih-alih menjawab sapaan sang ibu.
Seruni terkekeh di seberang. "Kalau kangen, balik dong ke Jakarta," godanya.
Bulan akhirnya ikut tertawa. Dia melirik ke arah jendela dan melihat anak-anak panti asuhan di sebelah rumah ayahnya tengah sibuk bermain bola.
"Di sana ramai, ya? Kamu pasti betah," ujar Seruni meski Bulan belum menjawab ucapan dia sebelumnya. Dia bisa mendengar tawa dan teriakan dari seberang telepon.
"Ramai sekali, Bu," jawab Bulan sambil tersenyum. "Di sebelah rumah Ayah ada panti asuhan. Anak-anaknya ceria sekali."
"Wah, seru dong berarti?" tanya Seruni.
"Iya, seru," jawab Bulan.
"Ah, makanya anak Ibu ini betah di Malang dan nggak berniat pulang ke Jakarta," gurau Seruni lagi.
"Ih, Ibu jangan bilang begitu," sahut Bulan tidak enak karena ucapan ibunya itu menyiratkan perasaan kesepian. Ya, walau dia pun sadar kalau ibunya pasti kesepian tanpa dirinya di ibu kota.
"Ibu hanya bercanda," sahut Seruni. "Eh, ngomong-ngomong Timur ada telepon kamu?" tanyanya mengganti topik pembicaraan.
Jantung Bulan berdegup lebih cepat ketika nama Timur disebut setelah lebih dari seminggu dia tidak mendengar nama itu lagi. "Tidak, Bu. Kenapa?" tanyanya kemudian. Dia sedikit khawatir ibunya memaksa dirinya lagi untuk jujur pada Timur.
"Dia kayaknya kangen sama kamu," jawab Seruni.
Jawaban aneh itu membuat Bulan mengernyitkan dahi. "Kangen aku? Ibu tahu dari mana?" tanyanya heran.
"Tiga harian ini dia datang terus ke rumah. Katanya sih mau sesekali nemenin ibu makan malam selama kamu tinggal di Malang. Tapi, Ibu kemarin mergokin dia lagi lihatin fotomu yang ada di sebelah tivi," jawab Seruni panjang. "Makanya Ibu yakin dia lagi kangen sama kamu."
Mendengar cerita Seruni membuat jantung Bulan berdegup lebih kencang. Namun, dia tidak mau hanyut oleh rasa senang yang mungkin saja membuatnya jadi bimbang lagi. Dia kemudian berdeham sambil menggelengkan kepala, mencoba menjernihkan pikiran yang mulai merasa kegeeran.
"Wajarlah kangen, Bu. Kami dulu kan sering ketemu," ujar Bulan berusaha menyangkal segala keinginan yang ada dalam hatinya.
Seruni tak langsung menjawab. Telepon itu sunyi selama beberapa detik.
"Lan," panggilnya kemudian.
"Iya, Bu?" sahut Bulan.
"Kamu beneran yakin nggak mau kasih tau Timur?" Seruni masih merasa bersalah kala memikirkan Timur yang tidak tahu apa-apa tentang apa yang terjadi pada Bulan. Ya, walaupun dalam hal ini putrinya yang sedang dirugikan karena ketidaksadaran Timur kala itu.
"Yakin, Bu," jawab Bulan tanpa ragu. Pertanyaan Seruni sudah menjernihkan kembali pikirannya yang tadi sempat terhanyut atas cerita yang disampaikan ibunya.
"Ya sudah kalau begitu. Semoga tidak terjadi hal-hal buruk ke depannya," ucap Seruni pasrah.
"Amin," jawab Bulan sambil mendongakkan kepala, memandangi langit-langit ruang tamu.
***
Obrolan dengan Seruni membuat Bulan tidak bisa tidur, padahal jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Akibat itu juga dia tahu kalau ayah dan ibu tirinya baru saja pulang setelah mendengar suara mobil masuk ke dalam garasi. Dia kemudian memutuskan untuk keluar kamar. Walau tidak mengenal Kelvin, setidaknya dia harus menyambut kakak tirinya itu.
"Loh, kok belum tidur?" tanya Misha begitu menemukan pintu depan terbuka sebelum dia menyentuh gagang pintunya.
Bulan tidak langsung menjawab. Dia mengulas senyum, lalu mencoba mengintip ke arah luar untuk memeriksa keberadaan ayahnya dan juga sang kakak tiri.
"Em, ngomong-ngomong kamu nggak keberatan kan dengan kedatangan Kelvin yang tiba-tiba?" tanya Misha sedikit berbisik.
"Enggak, Tante. Aku nggak keberatan," jawab Bulan. Bagaiamana dia bisa keberatan, sementara dirinya pun ada di rumah ini. Dia yakin pasti awalnya akan terasa tidak nyaman. Namun, dia harus berusaha menerima dan cepat beradaptasi.
Tak lama kemudian Ardi muncul setelah suara pintu garasi yang ditutup. Di belakang ayah Bulan itu ada seorang laki-laki bertubuh tinggi dan kurus dengan kulit putih pucat. Melihat itu membuat mata Bulan melebar. Ini pertama kalinya dia melihat sosok asli Kelvin.
"Loh, kamu kok belum tidur?" tanya Ardi yang cukup terkejut melihat keberadaan Bulan di ambang pintu.
"Belum ngantuk, Yah," jawab Bulan. Dia kemudian menoleh lagi ke arah Kelvin yang masih menundukkan kepala di sebelah ayahnya.
"Oh, iya," celetuk Misha. Dia urung melangkah masuk ke dalam rumah meski Bulan sudah bergeser untuk memberi ruang. "Bulan kenalin ini anak Tante. Namanya Kelvin." Dia menunjuk Kelvin yang masih menundukkan kepala walau dirinya tengah diperkenalkan pada orang baru yang sudah jadi keluarganya.
"Dan Kelvin, ini Bulan, adik kamu," lanjut Misha.
Bulan berusaha mengulas senyum. Dia mendekat sambil mengulurkan tangan. Namun, sampai dua detik berlalu, tangannya tak kunjung disambut oleh Kelvin.
Misha tertawa canggung. Dia menegur sang putra, tapi tetap saja tidak ada hasil. Akhrinya dia meminta maaf pada Bulan sambil berbisik.
Bulan membalas permintaan maaf Misha dengan gelengan kepala dan senyum tipis. Dia maklum kalau Kelvin mungkin merasa tidak nyaman, seperti halnya dia.
Setelah itu semua orang masuk ke rumah karena malam sudah larut. Sudah waktunya istirahat karena besok Misha dan Ardi harus kembali bekerja.
"Lan, Ayah boleh minta tolong?" tanya Ardi begitu dia menaruh kunci mobil di laci sebelah televisi.
"Minta tolong apa, Yah?" tanya Bulan yang langsung berpaling usai melihat ibu tirinya berjalan menuju dapur sambil membawa bungkusan yang dia duga makanan atau bahan makanan.
"Kamu antar Kelvin ke kamar kosong yang ada di sebelah kamarmu," pinta Ardi. "Sekalian kamu biar kenal sama dia."
Bulan tidak bisa menolak meski masih merasa canggung dengan penolakan Kelvin sebelumnya. Dia akhirnya mengangguk dan mendekati Kelvin yang masih berdiri di ruang tamu sambil memandangi foto pernikahan Misha dan Ardi yang memang dipajang di sana dengan pigura ukuran besar.
"Kak, ayo aku antar ke kamar!" ajak Bulan begitu dia sampai di belakang Kelvin.
Kelvin menoleh. Dia tidak mengatakan apa pun, tapi tangannya beranjak mengambil koper.
Melihat itu Bulan menghela napas lega. Setidaknya dia tidak ditolak seperti sebelumnya. Dia kemudian berjalan menuju kamar yang ditujukan untuk Kelvin. Letak kamar itu ada di sebelah ruang untuk menyimpan bahan-bahan untuk pembuatan soto.
"Ini kamar Kakak," ujar Bulan sembari membuka pintu kamar yang ada di sebelah kiri kamar tidurnya.
Kelvin lagi-lagi tidak menjawab. Dia memilih masuk ke dalam kamar, lalu menyentuh daun pintunya. Kepala yang sejak tadi tertunduk akhirnya menatap Bulan.
"Tidak usah pura-pura ramah," ujarnya dengan suara pelan, tapi tajam.