Chereads / Hidden Little Secret / Chapter 23 - Perjalanan Bersama Timur

Chapter 23 - Perjalanan Bersama Timur

Kereta udah melaju membawa Bulan dan juga Timur di dalamnya. Kali ini, Bulan yang menggantikan Yasmin berwajah masam. Dia kesal karena Timur ternyata tiba-tiba ikut dengan dirinya setelah diberi tau oleh Yasmin. Sahabatnya yang satu itu memang sering tidak tertebak perilakunya. Dan perilaku yang kali ini cukup membuatnya sebal. Kalau begini, bisa-bisa dia akan cepat ketahuan oleh Timur. Namun beruntung tadi dia memakai jaket besar sehingga bisa menyembunyikan tubuhnya.

"Kamu kesal aku ikut?" tanya Timur setelah dia diam saja sejak awal kereta berangkat.

Bulan tidak menjawab. Dia mengehela napas berkali-kali, mencoba meredam kekalutan dan juga marahnya. Percuma dan hanya buang-buang tenaga kalau dia marah sekarang, karena Timur sudah terlanjur duduk di sebelahnya. Entah apa yang lelaki itu pikirkan dengan tiba-tiba ikut dirinya naik kereta ini. Padahal dia tahu sekali kalau Timur selalu sibuk bekerja.

"Lan? Bulan?" panggil Timur. "Maaf kalau kamu marah," ujarnya tanpa ekspresi ataupun nada bicara yang mengandung penyesalan sama sekali.

"Iya," jawab Bulan. Dia melirik ke arah Timur sekilas, sebelum akhirnya kembali melihat ke arah jendela. Lampu-lampu tampak terang karena mereka masih melewati daerah perkotaan.

"Aku mau jujur. Sebetulnya Ibu yang minta aku ikut," aku Timur pada akhirnya.

Demi mendengar pengakuan itu, mata Bulan terbelalak. Dia yang tadinya sebisa mungkin mengabaikan Timur, kini malah menghadap lelaki itu. Tubuhnya jadi miring ke arah Timur dan tak lagi memandang ke luar jendela.

"Ibu?" tanyanya.

Timur mengangguk. "Pas Yasmin hubungin aku dan ngasih tahu soal kepergianmu yang mendadak ini, Ibu akhirnya ikut bicara. Ibu minta tolong sama aku untuk dampingin kamu karena dia khawatir."

Bulan menepuk keningnya sendiri dengan telapak tangan. Dia tidak menyangka kalau ibunya bisa memikirkan ide seperti itu. Dia jadi menebak kalau ibunya berharap dia akan jujur pada Timur mengenai kehamilannya dalam perjalanan mereka kali ini. Sayangnya Bulan tidak akan melakukan seperti apa yang ibunya inginkan. Dia akan tetap merahasiakan kehamilannya demi tidak menyakiti Timur. Lelaki itu sudah cukup terluka dengan trauma masa lalunya. Makanya dia yang merasa sehat secara mental dan fisik, memilih menanggung semua beban yang memang juga dikarenakan kelalaiannya.

"Kamu jangan marah sama Ibu. Dia hanya khawatir melepas kamu pergi sendiri, apalagi siang tadi kamu habis mengalami hal tidak baik," ujar Timur.

"Iya," jawab Bulan. "Aku mengerti walaupun masih kesal. Seharusnya Ibu setidaknya memberitahuku agar aku tidak kaget."

"Kalau kamu diberi tahu, sudah pasti kamu menolak," timpal Timur. "Ya, kan?"

Bulan tak menjawab. Lagi-lagi dia hanya menghela napas panjang, lalu memperbaiki posisi duduknya dengan tak lagi condong ke arah Timur.

"Ngomong-ngomong, kamu beneran akan ke rumah nenekmu?" tanya Timur tiba-tiba.

Mendengar petanyaan yang aneh itu Bulan mengernyit. "Kenapa tanya begitu?" Dia balik bertanya dengan nada keheranan.

"Karena kamu ke Malang. Artinya kamu bisa bertemu dengan ayahmu," jawab Timur.

"Memang aku mau ke rumah Ayah," batin Bulan. Tapi tak mungkin niatnya itu dia beritahukan pada Timur. Dia masih tidak mau lelaki itu tahu tentang rumah ayahnya, apalagi dengan kenyataan bahwa dia akan tinggal di Malang dalam jangka waktu yang lama.

"Mungkin aku akan ke sana. Mungkin …." Pada akhirnya jawaban tidak jelas itu yang dia berikan pada Timur. Setidaknya jawaban itu sudah membuat ekspresi Timur tidak seaneh tadi.

"Kamu masih benci ayahmu?" tanya Timur lagi.

"Tidak sebenci kamu pada 'perempuan itu', tapi ya, mungkin masih bisa dibilang aku marah sama ayahku. Walaupun sekarang marahnya tidak sebesar dulu," jawab Bulan. Kali ini dia jujur. Sebab, tiap kali dia mengingat tentang sang ayah, dia ikut teringat masa-masa di mana dia yang masih berusia muda menemukan ayahnya berselingkuh dengan perempuan lain yang juga memiliki anak dari pernikahan sebelumnya. Bayangan tangis ibu pun masih membayang di pikirannya, meski sekarang ibu terlihat lebih damai tanpa suami sekalipun.

"Tapi setidaknya kamu tidak ditinggalkan begitu saja," gumam Timur.

Bulan mendengar gumaman Timur, tapi dia pura-pura tak mendengar dengan pura-pura menguap.

"Kamu pasti lelah," ujar Timur.

Bulan mengangguk. "Kamu pasti juga lelah."

Timur tidak menjawab. Dia memberikan bantal yang tadi sudah dia sewa dari petugas kereta ke arah Bulan. Dia tarik pelan lengan perempuan itu sebelum menyelipkan bantal di belakang punggung perempuan itu.

"Tidurlah. Aku bakal pinjamin bahuku," ujar Timur dengan ekspresi datar.

Mendengar itu jantung Bulan berdebar cukup kencang, sehingga dia lagi-lagi pura-pura menguap, lalu batuk pelan. Kepalanya menoleh ke arah jendela, sebelum akhirnya memilih bersandar dengan posisi duduk tegak.

"Nggak perlu," jawabnya kemudian.

Timur hanya mengangkat bahu dengan jawaban Bulan, karena dia yakin kalau sudah tertidur, kepala perempuan itu akan jatuh sendiri di atas bahunya. Itu sudah pernah terjadi dulu saat mereka melakukan perjalanan wisata semasa kuliah.

"Kamu ini kenapa ikut permintaan Ibu begitu saja?" tanya Bulan sambil memejamkan mata. Dia lalu mengingat kalau belum sempat minum susu ibu hamil hari ini, dan akhirnya hanya berjanji pada diri sendiri untuk minum esok harinya saat sudah sampai di Malang.

"Aku juga khawatir, Lan. Sebagai sahabat, sudah sewajarnya aku khawatir sama kamu yang udah lama nggak pernah pergi sendiri. Apalagi siang tadi kamu nyaris saja kehilangan nyawa," jawab Timur panjang.

"Aku tidak nyaris kehilangan nyawa, Mur," sanggah Bulan, masih dengan mata terpejam.

"Itu nyaris, Lan. Kamu beruntung Tuhan masih ingin kamu hidup sehat malam ini," balas Timur. Dia menoleh ke arah Bulan yang tengah memejamkan mata. Dia tahu bahwa perempuan itu tampak lelah. Dia juga sebetulnya heran kenapa Bulan harus buru-buru pergi menemuni neneknya, padahal itu bisa dilakukan besok ataupun lusa. Tapi dia bisa bertanya karena yakin Bulan pasti sudah punya alasan masuk akal akan keputusannya saat ini. Permepuan itu memang begitu sejak dulu.

"Makanya aku memutuskan datang ke rumah nenek saat beliau meminta," sahut Bulan.

Mata Timur terbelalak. Sahutan Bulan seperti menjawab pertanyaan dalam kepalanya yang tidak sempat dia lontarkan.

"Terus pekerjaanmu besok bagaimana?" tanya Bulan. Kali ini dia membuka sebelah matanya dan melirik Timur yang kini sudah ikut bersandar pada punggung kursi kereta.

"Aku sudah izin Om Johan tadi," jawab Timur.

"Diizinkan?" tanya Bulan tidak percaya. Selama ini Timur jarang sekali mengambil cuti selama bekerja di perusahaan orang yang sudah menyelamatkan lelaki itu dari hidup sebatang kara.

"Tentu saja," jawab Timur.

Bulan mengangguk-anggukkan kepala dan akhirnya memilih memejamkan mata lagi. Perjalanan masih panjang, dan dia seharusnya tidak mengobrol banyak dengan Timur demi kesehatan mentalnya sendiri.