"Jadi gimana Anna?"
"Belum dipikirkan Bi," sahut Anna. Perempuan berusia delapan belas tahun yang tengah dihantui kemelut dari bibinya ini membuat dia mengusap dada sabar puluhan kali. Apalagi Bibi yang datang dari kampung terus mendesaknya berpacaran dengan salah satu teman arisan Bibi Raisa.
"Astaga,Kamu yah Dek, Kakak kan udah ajarin Anna buat cari cowok yang mau langsung nikah aja," sahut Novi. Ia datang dari dapur dengan nampan yang berisi tiga gelas jus jeruk dan juga beberapa camilan pembuka hari.
"Alah Kak, Jaman sekarang mah yang langsung ngajak nikah tuh udah gak terlalu diprioritaskan, apalagi di Kota. Harus pacaran dulu biar tahu bebet bobotnya!" sewot Bibi Raisa. Anna yang menghela napas sabar itu akhirnya menggelengkan kepala tidak kuat dengan percakapan adik Kakak yang berakhir debat.
Ia memilih bersiap untuk bersekolah saja di banding memikirkan desakan Bibinya yang setiap berkunjung meminta Anna mengenalkan seorang pria padanya. Lagipula ia masih merupakan pelajar SMA tingkat akhir. Fokus pada pembelajaran yang menjadi penentuannya untuk mencari pekerjaan yang bagus.
"Yah... Kerja," gumam Anna. Ia mengedarkan pandangan pada sekeliling kamar petak yang hanya memuat ranjang untuk dirinya sendiri. Terkadang harus berdesakan dengan adiknya— Sirena yang masih bersekolah kelas satu SMA.
Menggulirkan pandangan pada samping ranjang dengan sajian meja belajar yang belum pernah diganti Ayahnya dari jaman ia lulus SD. Lengkap dengan sebuah rak kayu buatan Mamahnya itu, Anna menghiasnya dengan buku pembelajaran serta beberapa kamus Inggris, Korea dan juga Jepang.
Cita-citanya hanyalah sebagai penerjamah yang fasih menggunakan tiga bahasa, walau terkadang Mamahnya marah-marah tatkala ia menonton drama korea yang banyak adegan kecupannya. Anna lantas lekas mengambil handuk dan melakukan ritual bersih-bersih.
Bersiap dengan peralatan sekolah serta kepentingan lainnya. Memang sedikit membutuhkan waktu hingga satu Jam, apalagi sebagai anak yang tidak terlalu memperhatikan penampilan, Anna hanya membubuhkan bedak tipis dengan alas pelembab saja.
Memakai jaket levis bewarna biru muda hingga menghalangi gesper sabuk yang berlogo SMA enam kenamaan di Purple Winter. "Hah, kenapa aku lelah sekali mengawali pagi," gumamnya. Anna meregangkan tubuh hingga suara pintu yang dibuka keras membuatnya sedikit terlonjak. "Kak, ayo," ucap Sirena.
"Mah, Adek berangkat dulu," pamit Sirena. Ia meraih lengan Ibunya dan menyatukan pada kening sejemang, kemudian meraih bekal yang telah disediakan. Berpamitan hal sama pada Bibi Raisa yang hebohnya itu selalu satu RT terdengar. Anna melakukan hal sama persis seperti adiknya. Setiap hari.
Aktivitas mereka pun tidak ada yang mengasyikan selain bersekolah, mengaji, kemudian belajar dan tertidur. Monoton sekali bagi Anna yang telah melihat berbagai film bernuansa Action dan Thiller. Apalagi kala membaca buku Enigma : Through of Shadows yang agak dark dan sedikit crime itu.
Anna selalu penasaran dengan akhir kisah dari Dirgan psikopat kemudian Maya yang merupakan Iblis Hone-Onna. Walau terkadang, beberapa bab selalu membuatnya berucap 'Astaga' Anna menyukai bacaan satu itu.
"Kakak aku punya bacaan baru," ucap Sirena. Ia menyodorkan ponselnya pada Anna, menunjukan sebuah buku berjudul Enigma : Coffee With U. Anna membaca sekilas dari sinopsisnya mengenai Harin Farasya pemilik kedai yang terserang teror bertemu dengan CEO dari Zoger Inc. Perusahaan kenamaan di Purple Winter Raya.
"Bagus Kak, aku baca beberapa Bab dan woah, baper sama Kak Nathannya, romantis," ucap Sirena. Anna mengangguk ragu. Hingga tiba-tiba saja tatkala lampu merah telah menyala. Di mana para pejalan kaki lenggang berjalan, tiba-tiba saja mobil dengan klason yang mendenging di telinga membuat Anna membelalak.
"Kakak!" teriak sirena. Anna malah spontan menutup mata Sirena tubuhnya tiba-tiba saja melayang— tertarik ke arah belakang. Brugh! Kejadian singkat tersebut mendapat sorakan dari para pengemudi yang taat lalu lintas terhadap mobil BMW putih yang melaju kencang tanpa henti.
Di mana yang tersisa merupakan Anna yang terus bergumam dalam hati, hingga ia menengadah melihat pria yang baru saja menyelamatkannya. Sirena pun dengan cekatan membantu Anna. Semuanya terasa membingungkan, apalagi orang-orang bertanya 'kamu baik-baik saja?'
Namun semuanya terasa semu bagi Anna, pandangannya menguning hingga ia berfokus dan hanya mampu menangkap gambaran arloji bewarna hitam dengan inisial huruf M membuat kesadarannya pun menghilang.
***
"Kak?" Sirena menggeming badan Anna yang baru saja mengerjap— merasakan hangatnya cahaya mentari pada pagi yang cukup membuat sebuah tragedi ini. "Ah syukurlah," ungkap Sirena lega. Ia kemudian lekas mengambil air untuk kakaknya yang pingsan saat akan berangkat sekolah.
"Kita jadi ke sekolah Dek?" tanya Anna. Secara saja, ruangan yang terasa familiar dengan dua tempat tidur dan beberapa peralatan medis di lemari kecil, sudah pasti ini merupakan ruang magangnnya— UKS.
"Jadi lah Kak, lagian ada yang anter kita ke sini saat Kakak pingsan, pulang ke rumah nanti malah bikin mamah khawatir, tahu sendiri hebohnya gimana," jelas Sirena. Anna mengangguk menyetujui pemikiran adiknya satu ini. Ia celingukan mencari perawat sekolah. "Siapa yang bantu kita Dek?"
"Anak baru, dia kelas sepuluh," ucapnya. Anna menelisik tubuh— takut ada memar atau luka yang menyebabkan Ayahnya marah-marah nanti. "Ya udah, ke kelas gih, kamu ketinggalan satu mata pelajaran," ucap Anna.
Sirena mengangguk ringan, segera berlari menuju kelasnya walau sebuah sembir yang mencuat sama naik itu tidak bisa ia bendung sebab berkat kakaknya yang pisan, Sirena bisa melewatkan upacara pagi kali ini.
Anna lantas merogoh ponsel yang membuatnya mengusap wajah sabar, benda pipih bewarna monokrom itu telah retak di bagian layar. Apalagi ia tidak mungkin meminta perbaikan benda tersebut pada Ayahnya yang tengah mengalami krisis moneter. "Astaga... Anna, anak baik anak baik... Jangan marah," ucapnya.
Ia mengelus dada sabar sembari mencoba untuk mengingat BMW putih yang pagi-pagi saja sudah bikin kehebohan.
***
"Selamat pagi."
"Pagi..." sahut murid serempak. Mereka semua duduk dengan rapi tatkala kedatangan wali kelas iBu Dinda yang bijaknya selalu bikin anak-anak meleleh. Apalagi rambut sebahu dengan body 'woah' rampingnya kayak artis-artis korea kalau kata murid laki-laki.
Apalagi dengan pakaian modis serta anting bling-bling yang terus menghiasi setiap paginya itu membuat pak Muksin— guru olahraga terus saja mengincar janda kembang satu itu.
Setelah selesai dengan ritual pembukaan serta absensi, guru ekonomi ini menjelaskan bahwa mereka kedatangan murid baru yang membuat Anna menaikan satu alisnya. "Bukannya murid baru itu kelas sepuluh?" gumam Anna.
Semua atensi lantas mematri lengan iBu Dinda yang mengangkat ke arah pintu masuk, menampakan presensi yang membuat semua mulut mengaga 'woah' sebab pria kulit porselen dengan manisnya mengumbar senyum. "Woy! woy! Orang korea bro," ungkap mereka ricuh.
"Pliss deh, jangan kampungan yah kalian," ucap Crystal. Ia mengibaskan rambut cantik panjang tersebut untuk menarik perhatian pria yang baru saja masuk. Lelaki dengan rambut hitam legam serta rapi sebab poninya disibakan ke belakang itu menampakan jidat dengan memamerkan tanda-tanda kemulusan.
Belum lagi kulit putih bersih berseri yang melengkapi paket komplit dari manusia berkategori paling tampan tersebut sukses membuat Anna memalingkan wajah kikuk tatkala murid baru tersebut tidak sengaja berserobok pandang dengannya. "Perkenalkan dirimu Nak," ucap iBu Dinda.
"Hai, Annyeong... Perkenalkan, nama saya Nam Taemin. Ibuku asal Indonesia dan Ayah korea. Aku ingin menyelesaikan studi di sekolah ini, mohon bantuannya," ucap Nam Taemin. Ia membukukan badan hingga yang lain bertepuk tangan.
*Annyeong artinya bisa sama dengan sapaan Hallo/ Hai*
"Baiklah Nam, sekarang cari tempat duduk kosong dan nanti ketua murid akan mengantarmu untuk berkeliling," lontar Ibu Dinda. Anna menghela napas berat tatkala guru cantik itu menatapnya sejemang. Di mana ia mengigit bibir bawah seraya terus bergumam gusar dalam hati.
Sebagai ketua kelas yang nanti akan mengantar Nam Taemin berkeliling sekolah. Kenapa Anna merasa tidak enak hati.
To Be Continued...