Setelah memutus panggilan dengan Ibu Dinda, Anna lekas berlari menuju ke sekolah disusul oleh Sirena. Ayah dan Ibunya diminta untuk tunggu saja. Ini akan menjadi heboh bila akhirnya mereka keliru. Bisa saja Nam Taemin pergi ke tempat lain sehabis pulang sekolah.
"Nana, kamu di mana, aku mau ke sekolah temenin darurat!" ucap Anna. Ia mematikan sambungan telepon bahkan sebelum Nana membalas perkataannya. Mencegat sebuah angkot bersama dengan Sirena yang cekatan. Mereka terengah tatkala hanya perlu menunggu untuk bisa sampai ke sekolah.
Anna mencoba menelpon yang lainnya termasuk Bayu, Crystal dan Mey. Namun hanya Nana yang mengangkat telepon darurat darinya. "Apa aku telepon juga teman-temanku kak?" tanya Sirena. Anna menggeleng sebab bisa saja mereka jadi merepotkan banyak orang.
Nam Taemin itu tidak bodoh tapi juga hanya berpura-pura pintar. Luas sekolah juga tidak sebesar stadion sepak bola, walau memang terdapat lebih banyak koridor serta ruangan. Namun masa iya Nam Taemin tidak mampu menemukan gerbang menuju keluar sekolah.
"Aduh, gimana ini?" tanya Anna. Lupa juga ia menutup tubuhnya yang hanya terbalut dengan alat tempur— pakaian tidur bercelana dan lengan pendek. Corak bunga daisy favoritnya ini terlihat sangat cantik sebab berpadu warna biru langit cerah dengan kuning.
Namun sungguh sangat tidak pantas ia mengumbar sebagian tubuh tidak tertutupnya itu pada lelaki yang akan ia susul. "Semoga tidak ada siapa-siapa..." gumamnya. Akan tetapi, mau tidak mau ia dan adiknya harus menuju ruang CCTV.
Setelah menempuh perjalanan delapan menit.
"Hallo pak," sapa Sirena. Satpam penjaga sekolah nampak belingsatan tatkala ada dua mahasiswa berkeliaran dengan pakaian tidurnya. "Lho... Neng Anna?" tanyanya. Ia menyipitkan mata seraya menyidik untuk memastikan bahwa anak yang tengah berhadapan dengannya adalah siswa paling aktif di sekolah.
"Iya pak, aku pengen lihat CCTV, takut ada anak baru yang tersesat," jelas Anna.
"Lho, bapak cek kok tiap Jam, gak ada yang tertangkap kamera," ucapnya bingung. Mereka lantas mengikuti penjaga sekolah itu menuju posnya. Memeriksa CCTV yang tidak menampakan apapun, berarti... Memang Nam Taemin berkeliaran di tempat lain tanpa meminta Izin orang tuanya setelah pulang sekolah.
"Bapak juga tadi keliling gak ada siapa-siapa Neng. Pak Jepri bagian jaga belakang juga pastinya ngasih signal," jelasnya. Anna mengigit bibir gelisah, walau adiknya Sirena menyidik layar dengan seksama. "Pak... Coba lihat," ucap Sirena.
Mereka semua lantas menyidik pada kamera perpustakaan, dengan secuil gambaran tas tergeletak di balik lemari paling sudut. Anna spontan berlari menuju tempat tersebut. Tidak peduli mengenai dogeng aneh yang mengatakan bahwa sekolah ini didirikan tepat diatas makam para sesepuh.
Atau cerita tahayul dari beberapa siswa yang mengatakan bahwa mereka pernah melihat mahluk halus di sekitaran sini, nyambung pula jadi teringat Enigma : Through of Shadows soal Maya yang ketemu anak-anak diculik masuk ke dalam buku oleh seorang penyihir.
"Astaga, kenapa pula ingat cerita itu saat aku di sini," ucap Anna. Ia menengok ke arah belakang sebab Sirena sungguh lambat menyusulnya kemari. Memilih masuk dan mendorong pintu yang mengeluarkan suara derit khas perpustakaan di malam hari.
Menghantarkan rasa getir dan ngeri tatkala ia mengedarkan pandangan pada jejeran buku. Menyalakan sekelar lampu agar lebih menghangatkan suasana. Anna lantas segera berlalu pada tempat di mana tas tadi terlihat.
Hingga sebuah kaki yang membuat Anna bernapas cepat sampai jantungnya bertalu hebat. Ia mengambil langkah besar, sampai terperangah tatkala melihat Nam Taemin tengah membaca buku dengan bermodal penerangan cahaya rembulan. "Ya! Nam Taemin!" bentak Anna.
*Ya bisa diartikan sebagai sapaan ataupun sering digunakan tatkala nada emosi yang berarti Hei*
Nam Taemin yang sedikit tercekat itu spontan mendongak menatap Anna yang tengah berkacak pinggang. Wanita itu sedang berubah menjadi beruang hitam tatkala menatapnya dengan membara. "Neo... Wae yeogi issni?" tanya Nam Taemin.
*Kenapa kamu di sini?*
Anna malah menyeringai tatkala Nam Taemin malah kebingungan melihat dirinya berada di sini. Ia mengusap surai dengan jemari lentiknya untuk menghantarkan semua amarah yang terbendung. Anna bahkan terus berhitung supaya ia tidak meledak.
Anna merunduk kala Nam Taemin berdiri. Mengatur napas terengahnya kemudian menatap pria yang masih menelisik itu. "Kenapa kamu di sini hm? Wali kelas menelponku karena kamu belum pulang juga ke rumah," jelas Anna.
Inilah beban yang selalu membuatnya gugup bila ada sesuatu yang terjadi pada anak baru kemudian menjadi pertanggung jawabannya. Kenapa pula tidak guru sendiri yang mencari, memperbanyak CCTV di berbagai sudut sekolah kemudian menambah security dan pengurus sekolah.
Tempat dia menempuh pendidikan ini terbilang bagus, atau bisa di katakan sekolah tingkat atas. Kenapa pula harus bayar mahal-mahal untuk SPP bulanan namun layanan pendidikan kurang memadai. Siswa mengurus semuanya sendiri termasuk membeli buku paket.
Anna sebagai murid yang merasa dirugikan karena lagi-lagi meminta uang hanya untuk membeli kertas ujian saja sudah membuatnya ingin mengamuk. Belum lagi gajih Ayahnya yang tidak seberapa itu harus menanggung beban keluarga dengan pengeluaran anak-anaknya yang terus membengkak.
Ia sudah pusing serta ingin secepatnya keluar dari sekolah, namun kenapa... Nam Taemin malah memancing sesuatu yang ia pendam selama ini. "Kenapa belum pulang?" tanya Anna.
"Kenapa tidak menghubungi orang tuamu agar mereka tidak khawatir?"
"Setidaknya aku tidak perlu mencarimu kemari... Seharusnya aku sekarang belajar agar bisa mendapatkan banyak uang nanti," ungkapnya. Nam Taemin hanya terpaku diam tatkala suara Anna semakin banyak bicara malah semakin melirih. "Aku... Tidak tahu jalan pulang," sahutnya.
Anna berjongkok untuk menyalurkan semua rasa kalut mengenai hari esok harus berhadapan dengan Veri. "Lalu kenapa kau menolak ajakan Nana tadi?" tanyanya.
"Aku—"
"Babo..." lirih Anna. Bisa-bisanya ia disibukan dengan anak baru yang angkuhnya bukan main padahal temannya— Nana mencoba untuk mengakrabkan diri dengan Nam Taemin.
*Babo (bodoh)*
Bersamaan dengan suara langkah yang memecahkan keheningan. Anna lekas berdiri kemudian menyeka pipinya. Jangan sampai Sirena tahu bahwa dirinya baru saja menumpahkan sedikit emosi yang menbludak. Berkedip cepat agar mengenyahkan cairan bening yang tersisa.
"Anna! Kamu gak apa-apa kan?" tanya Nana. Ia menelisik Anna dengan cemas walau wanita itu mengangguk seraya tersenyum manis. Di mana adiknya Sirena itu menyidik Anna namun segera menggulirkan pandangan pada Nam Taemin yang juga masih mematri atensi pada Anna.
"Kamu baik-baik saja Kak Nam?" tanyanya. Nam Taemin mengangguk serta meminta maaf mengenai kehebohan yang ia perbuat pada jam tujuh malam ini. Atau lebih tepatnya setengah delapan. Bersamaan dengan omelan dari Pak Jepri.
"Jangan diulangi Nak, kamu membuat semua orang cemas," ucapnya. Nam Taemin mengangguk lugu, lagipula biasanya bukan tugas dari ketua kelas mencari rekan sekelasnya. Kenapa pula Anna harus menyusul dengan pakaian tidurnya. Bagaimana bila dia sedang berada di tempat lain.
"Maaf, tidak akan saya ulangi," sahut Nam Taemin. Ia membungkuk sejemang hingga menegakkan kembali badannya sampai membuat pak Jepri belingsatan— bingung. Sebab di Indonesia dia hanya perlu meminta maaf saja. Apalagi padanya.
Mereka semua akhirnya berjalan menuju lampu merah dengan cekikikan Nana. "Pengalaman hari pertama sekolah yang bagus," ucapnya. Ia mengacungkan jempol pada Nam Taemin yang masih merasa tidak enak telah merepotkan mereka.
Kenapa pula Ibunya menelpon bocah-bocah ini di banding menyusulnya sendiri. Sesibuk apa ia dan sosialitanya sampai tidak sempat bisa menjemput dirinya. "Kamu tahu jalan pulang Nam Taemin?" tanya Anna lembut. Wanita itu berusaha terlihat baik di hadapan adiknya walau tadi malah marah-marah. "Tidak..."
"Alamat rumah kakak di mana?" tanya Sirena.
"Aku tidak tahu," sahutnya lagi. Nana saja sampai menggaruk kencang ceruk leher belakangnya mendengar Nam Taemin yang tidak tahu apapun namun masih saja bersikap dingin. Dia bukan orang Indonesia bila tidak tahu jalan Purple Winter tempat ia tinggal.
The real korean, ia bahkan tidak tahu gerbang sekolah. "Tapi aku punya ini," ucapnya. Semua orang lantas mendekat pada Nam Taemin yang mengotak atik ponsel. Memperlihatkan titik keberadaan ponsel Ibunya.
"Alun-alun ini mah," ucap Nana. Ia memeriksa kembali daerah sekitar dengan mengambil alih ponsel Nam Taemin tanpa permisi. Begernyit menatap daerah sekitar Balong Gede sampai jalan Lilac. "Ya udah, kamu adik kakak, pulang gih, udah malam... Aku yang anter dia ke rumah," lontar Nana.
"Gapapa nih Na?" tanya Anna. Tidak baik juga bagi dirinya berkeliaran dengan baju pendek tersebut. Mendingan dengan Sirena, walau ia memakai baju tidur, namun berlengan dan celana panjang. "Gapapa, traktir batagor aja besok," ucapnya.
Anna menahan tertawa tatkala Nana memanfaatkan kejadian ini, mengacungkan jempol sebagai persetujuannya. Kemudian mereka mencegat angkot untuk pulang ke rumah. Anna akan menyerahkan anak ayam korea ini pada Nana saja.
"Anna!" pangil Nam Taemin. Anna yang akan menaiki angkot itu lantas menggulirkan pandangan pada Nam Taemin yang mendekat. Menjulurkan blazer semi formal bewarna coklat dengan lambang sekolahnya di korea. "Tidak perlu," ucap Anna.
"Jadi memilih pulang seperti itu?" tanyanya. Nam Taemin memang tidak perduli mengenai pakaian yang Annastasia kenakan. Di korea saja bahkan rok yang naik sampai paha atas saja sudah lumrah. Namun sepertinya Anna tidak terbiasa. Terlihat dari cara ia mengedarkan pandangan takut ada yang melihat pahanya.
Dengan sangat terpaksa... Akhirnya Anna menerima Blazer coklat tersebut, kemudian lekas naik ke dalam angkot. Memposisikan diri kemudian menutup paha dengan blazer Nam Taemin. Nana yang memperhatikan mereka hanya memainkan lidahnya di dalam mulut. Cemas.
"Terima kasih... Telah mencari," ucap Nam Taemin.
To Be Continued...