Melihat tatapan penuh harap yang dipancarkan oleh Amira, Kirana dibuat tak bisa berkutik sedikitpun. Semua rangkaian rencana yang telah direncanakan oleh Kirana untuk ia ungkapkan pada Amira telah pupus begitu saja.
'Sial! Jika sudah seperti ini, bagaimana caraku untuk mengungkap kebejatan Kak Angga pada Mommy?! Kenapa semesta selalu mendukung Kak Angga? Kenapa semesta membiarkan Kak Angga melakoni perannya yang begitu antagonis di mataku?!"
"Angga, tolong bawa Kirana pulang. Pastikan dia mandi nanti agar dia mandi setelah sampai di Rumah agar dia tak demam nanti, kau juga, Lekas mandi dan ganti pakaianmu. Maaf juga karena aku tidak bisa ikut pulang sekarang ini. Namun, sebagai gantinya kita akan pergi ke butik bersama-sama besok."
Mendengar itu, Kirana semakin dibuat panik tak karuan. Perempuan itu lantas berdiri di samping Amira.
"Mom! Jangan lakukan ini kumohon! Aku lebih baik diam di ruanganmu saja daripada pulang bersamanya!" ujar Kirana sarkas. "Sumpah, kumoho, Mom! Tolong mengertilah, jangan buat aku berada di sutuasi seperti ini, Mom!"
Amira menggelengkan kepalanya tanda tak setuju. "Tidak Kirana! Ketimbang orang-orang yang ada ddi Kantor, Mommy lebih bisa mempercayakan keamanan dan keselamatanmu di tangan Angga."
"Mom, demi Tuhan! Jangan menyerahkanku pada pria—"
"Ssstt!" Amira meletakkan jari telunjuknya di bibir Kirana. "Tak usah banyak bicara, Kirana. Ikuti saja kata Mommy. Terlebih besok kau harus sekolah bukan? Jangan sampai hanya karena ini kau dibuat tidak datang ke sekolah besok."
"Mom …." Kirana menatap Amira penuh harap, tapi perempuan itu malah menuntunnya untuk kembali ke mobil Angga. Bahkan perempuan itu tak kunjung pergi dari hadapan pintu mobil sbelum memastika Kirana menutup pintu mobil yang artinya ia mau pulang dengan Angga.
"Kirana …," panggil Amira saat Kirana tak kunjung menutup pintu mobil.
BRAK!
Mendengar suara pintu mobil yang ditutup dengan keraspun membuat Amira memejamkan matanya secara refleks. Perempuan itu tahu jika Kirana marah kepadanya, tapi apa boleh buat? Ini semua demi kesuksesan dari misi yang tengah berusaha ia selesaikan.
Ia tak mungkin membiarkan Kirana menjadi batu penghalang dari misi yang telah bertahun-tahun ia tekuni hingga mengorbankan banyak hal,
"Sayang."
Mendengar suara lembut Angga di belakangnya, dengan cepat Amira membalikkan badannya. Sosok Angga yang berdiri di depannya dengan tubuh basah kuyup membuat Amira dengan segera memayungi pria itu.
"Sayang, sudah kukatakan jika kau bisa sakit karena ini. Jagalah kesehatanmu, terlebih kita akan segera menikah. Apa kau ingin acara yang kita tunggu-tunggu itu kembali dindur.
Walaupun hatinya sedang meraasa tak tenang, Angga berusaha untuk tetap tersenyum di depan Amira. "Terima kasih telah mengkhawatirkanku, Sayang. Namun, kau juga harus ingat bahwa kau juga butuh istirahat. Jika kau merasa lelah dan tak bisa menghandel ini semua, kau bisa meminta bantuan padaku."
"Apa kau akan pergi sekarang?" lanjut Angga yang dibalas anggukan oleh Amira.
"Kau membawa mobilmu?"
"Iya, aku membawanya," sahut Amira. "Lagi pula, ada apa denganmu? kenapa kau menanyakan hal konyol itu? Jika tanpa mobilku, apa yang akan kugunakan untuk sampai ke sini Angga Sayang?"
"Di mana kau parkir?" tanya Angga tanpa memedulikan apa yang dikatakan oleh Amira.
"Di sana, tak terlalu jauh dari sini sebenarnya," sahut Amira sembari menunjuk ke arah jarum jam dua belas, tepat di belakang mereka.
"Aku akan mengantarmu."
Senyum Amira mengembang tanpa bisa perempuan itu tahan. "Terima kasih, Sayang!"
Amira membalikkan badannya lagi untuk melihat Kirana dari balik layar jendela mobil. Perempuan itu tetap melambaikan tangannya kepada Kirana yang nampak begitu acuh akan apa yang ia lakukan. Setelahnya, barulah Amira memberi isyarat pada Angga kalau dia telah siap untuk pergi.
"Biar aku yang memayungimu." Angga mengambil alih payung kemudian menuntun Amira untuk segera pergi dari sana.
"Jangan mendekat, Amira," desis Angga saat Amira hendak mendekatkan tubuh mereka.
"Kenapa tidak boleh? Apa yang salah? Lagipula mengapa kau terlihat begitu menjaga jarak denganku hingga kau tidak memayungi dirimu sendiri? Kau calon suamiku, Sayang, bukan seorang bodyguard."
Angga tersenyum tipis. "Pakaianku basah semua, Sayang, dan bukankah kau akan menemui klien yang begitu penting? Jangan merusak segalanya hanya karena diriku," sahut Angga sepenuhnya berkata jujur.
Dan semua itu dilihat oleh Kirana di dalam mobil. Saat punggung kedua orang dewasa itu telah mengabr dari pandangannya akibat air mata yang kian mengumpul di pelupuk matanya, ia lantas mengalihkan padangannya.
"Kenapa rasanya begitu sesak? Kenapa aku iri melihatnya? Kirana! Sadarlah! Kak Angga tak lebih dari seorang pria brengsek yang hendka menghancurkan hidupmu dan Mommy, lebih baik kau kubur dalam-dalam kenangan di masa lalu!" tekan Kirana pada dirinya sendiri sembari memukul-mukul dadanya yang terasa sesak.
"Aku begitu bersikeras mengatakan kebejatan Kak Angga pada Mommy memang sepenuhnya demi Mommy bukan? Tidak demi hatiku yang terasa terbakar?" tanya Kirana pada dirinya sendiri. "Aku tidak mencintainya. Ya, ini memang demi Mommy, aku yakin akan hal itu!"
Kirana kembali merenung dan menatap pantulan dirinya yang terlihat begitu menyedihkan di pantulan kaca. Wajah yang terlihat leus, mata yang membengkak, kemudian rambut yang berantakan dan tak terusun. Kenapa ia bisa berubah sekacau ini?
CEKLEK!
Napas Kirana tertahan. Ia menatap ke sumber suara di mana Angga terlihat baru saja masuk ked lama mobil dengan pakaiannya yang basah. Sesaat, Kirana baru merutuki dirinya yang malah mendengarkan apa yang dikatakan Mommy-nya untuk pulang bersama Angga ketimbang menggunakan kesepatan itu untuk pergi dari sana.
"Cepatlah, aku sudah beg—AKHH!" Kirana dengan segera memekik keras saat matanya yang ia arahkan untuk menatap Angga malah mendapati pemandangan yang membuat jantungnya berdegup dengan begitu kencang.
"S-sial! Apa yang kau lakukan, Kak?!" pekik Kirana lagi kemudian mengalihkan pandangannya—tak lagi menatap Angga yang kini telah bertelanjang dada di sampingnya.
"Ya, Tuhan. Apa ini?" gumam Kirana pelan sembari berusaha menghilangkan ingatan mengenai tubuh berotot Angga dan dilengkapi oleh tetesan-tetesan air hujan yang turun mengalir dengan gerakan perlahan di sana.
Sial! Semua itu membuat Kirana mati kutu!
"Kak, pakai pakaianmu atau aku—"
"Berisik!"
Kirana membatu setelah mendengar ujaran sinis yang keluar dari bibir Angga.
"Berisik kau bilang?" Kirana tersulut emosi. Tak peduli dengan bagaimana penampilan Angga saat ini, perempuan itu lantas menatap wajah Angga nyalang.
Di sini ialah yang seharusnya marah, ialah yang seharusnya bersikap dingin, tapi kenapa sekarang semauanya malah terbalik seperti ini? Mengapa tiba-tiba Angga yang berubah bersikap dingin kepadanya?!
"Ya, kau terlalu berisik! Dan aku benci akan hal itu! Kau tak pernah ingin mendengarkan apa yang keluar dari bibirku kan? Maka tutuplah bibirmu rapat-rapat!