Chapter 7.
Lars pun keluar dari ruangan kepala sekolah. Dia pergi menuju kelasnya. Selama melangkah, banyak gadis yang berbaris di tepi, menatapnya penuh kagum dan tidak lupa, mereka merekam serta mengambil foto Lars dengan ponsel masing-masing.
Ketika hendak masuk ke kelas, Lars dihadang tiga orang gadis. Salah satu gadis berdiri paling depan sambil membentangkan kedua tangan.
Lars mengelah napas, menaikkan satu alisnya, sambil menggigit bibir bawahnya, sebelum akhirnya dia bertanya.
"Ada yang bisa kubantu, Nona? Tapi, maaf kau sudah menghalangi jalanku, Nona."
Gadis itu mengibaskan rambutnya yang terurai panjang dan berjalan dua langkah mendekati Lars.
"Perkenalkan namaku, Angel Wings. Aku adalah murid paling populer di sekolah ini, sekaligus anak dari pemilik Sekolah."
Gadis itu mengulurkan tangannya sambil memperkenalkan namanya, yaitu Angel Wings. Lars, memandang ke satu arah yaitu uluran tangan Angel.
Lars sedikit menaikan bahunya, sebelum akhirnya dia berkata, "Aku Lars. Lars, Af Dracas. Senang berkenalan denganmu, Nona."
Angel tersenyum lebar, hidungnya sesekali mengembang karena tangannya disentuh oleh Lars. Banyak gadis yang juga ingin bersalaman dengan Lars. Namun, mereka tidak seberuntung Angel yang mampu berjabat tangan dengan Lars tanpa masalah.
"Apa, sekarang aku sudah bisa masuk, atau Nona Angel ingin aku melakukan hal lain?"
Angel ditatap dengan hangat, gadis itu menggigit bibir bagian bawah, sambil mengangkat jari telunjuknya, dengan sengaja Angel meletakkan jari telunjuknya di bidang dada Lars.
Sontak, para gadis yang ada di sana pun merasa panas, iri dan cemburu. Siapa yang tidak ingin berdekatan dengan Lars seperti yang Angel pertontonkan sekarang?
"Maaf Nona, aku datang ke sini untuk belajar dan bukan untuk melayani Nona. Lagipula, kita baru saja bertemu untuk sampai tahap seperti itu masih sangat jauh, atau mungkin tidak akan pernah terjadi."
Dia melewati Angel begitu saja, tanpa memandang gadis itu kembali. Lars memasuki kelasnya, lalu memilih salah satu kursi untuk dijadikan tempat duduknya.
"Aku akan duduk di sini saja."
Lars memilih kursi paling depan, yang berada di dekat jendela. Dia memilih kursi itu, sebab berpikir akan lebih mudah menghirup udara segar di dekat jendela.
Murid-murid mulai memasuki ruangan, ada banyak murid yang masih menunggu di depan kelas, guna melihat Lars dari jarak dekat tanpa adanya pengawalan.
Bel pun telah berbunyi. Kendati demikian masih banyak murid yang belum meninggal kelas tersebut. Mereka masih asyik mengambil gambar Lars yang, sejak tadi juga terus melambaikan tangan dan mengumbar senyum.
Tidak berselang lama setelah bel berbunyi, guru-guru mulai berdatangan. Mereka meminta anak-anak muridnya untuk masuk kelas masing-masing.
Hasilnya, ada yang pasrah dan tidak sedikit pula yang merasa kecewa, tetapi dapat dipastikan juga, mereka masih tetap bisa melihat Lars di hari-hari berikutnya.
"Dah."
Lars melambaikan tangannya, sampai seisi kelas pun dibuat ramai karena tingkahnya tersebut.
Guru pun akhirnya masuk kelas, dia menyapa dan memperkenalkan dirinya terlebih dahulu, sebelum akhirnya memulai mata pelajarannya.
****
Hari pertama di sekolah telah berlalu, Lars merasa senang sebab mendapat sambutan hangat dari teman-teman yang ada.
Dia kembali ke rumah dengan perasaan bahagia plus senang. Senyuman terus terlukis di wajahnya, membuat Fanny bertanya-tanya.
"Sepertinya kau senang dengan sekolah barumu itu. Apa mereka menerimamu dengan baik?"
Lars membaringkan tubuhnya di sofa, kepalanya dia letakkan di atas paha Fanny.
Pandangannya dengan Lars saling bertemu, Fanny mengelus rambut Lars dengan penuh kasih sayang.
Lars tentu sangat bahagia. Di dunia ini tidak ada yang indah selain belaian dari seorang wanita, terutama dia adalah Ibu yang telah merawat dan membesarkan kita.
"Mereka menerimaku dengan baik. Ibu, tahu. Aku disambut dengan meriah di sekolah baruku itu. Sungguh, aku merasa senang plus bahagia. Aku sendiri sampai kehabisan kata-kata untuk menggambarkan perasaanku ini," tutur Lars yang antusias untuk menceritakan setiap moment yang terjadi di sekolah.
"Bagus kalau begitu, setidaknya kau tidak akan kesepian karena tidak memiliki teman. Namun, sepertinya kau akan menjadi murid paling populer di sekolah," goda Fanny, sambil terus mengelus rambut Lars.
Lars memandang langit-langit dan berkata, "Aku tidak mengharapkan kepopuleran di sekolah. Aku hanya ingin belajar dan melanjutkan pendidikan yang sempat tertunda. Kali ini, semoga saja aku bisa menyelesaikan pendidikanku dan melanjutkannya ke tingkat perguruan tinggi."
Lars berangan-angan, ingin bisa merasakan duduk di bangku kuliah sama seperti anak seusianya.
Fanny menahan napasnya sejenak, sebelum akhirnya dia meneteskan air mata dan jatuh tepat di pipi Lars. Sontak dia terbangun, buru-buru Lars merubah posisi duduknya. Pemuda itu langsung gelisah ketika melihat wanita yang sangat dicintainya meneteskan air mata.
"Ibu menangis, kenapa? Apa ada perkataanku yang salah, yang membuat Ibu menjadi bersedih?"
Dengan kedua tangannya, Fanny segera menyeka air matanya. Menarik napas panjang, sebelum akhirnya bisa berkata kembali. Cukup sulit baginya menyusun kata-kata, tetapi Fanny mencoba untuk tenang.
"Ibu tidak bersedih, Sayang. Ini air mata kebahagiaan. Aku senang karena sekarang, putra kesayangan Ibu ternyata sudah tumbuh dewasa."
Lars tidak bisa memahami arti dari air mata Ibunya itu, tetapi dia tahu bahwa di balik air mata itu ada perasaan bangga.
"Sungguh, Ibu baik-baik saja? Aku merasa bersalah karena sudah membuat Ibu meneteskan air mata."
Lars memajukan bibirnya, mengerutkan keningnya dan seketika itu juga dia memeluk Fanny dengan erat.
"Aku menyayangimu, Ibu. Aku tidak akan membiarkan satu tetes pun air mata jatuh dan membasahi pipi, Ibu. Aku akan pastikan, Ibu selalu tersenyum dan bahagia. Ini adalah janjiku."
Ungkapan Lars sontak saja membuat Fanny membulatkan matanya, kedua tangannya berusaha untuk membalas pelukan Lars. Namun, dia merasa berat untuk melakukan hal tersebut. Sampai akhirnya Lars melepaskan pelukannya tersebut.
"Oh, iya aku baru teringat. Ketika aku hendak pulang sekolah, dari kejauhan aku melihat seseorang yang menatapku dengan sorot mata berbeda," ujar Lars, yang kembali membahas tentang sekolah.
"Sorot mata berbeda, maksudmu?" tanya Fanny, mengulang perkataan terakhir Lars.
Lars memposisikan dirinya dan duduk dengan benar, sedangkan Fanny mengerutkan keningnya. Entah bagaimana harus menyikapinya?
"Iya, tatapan murid itu sangat berbeda padaku, tidak seperti lainnya yang senang dan bahagia. Ketika aku melihat dia, aku merasa takut seolah murid itu menunjukkan aura jahat. Aku juga tidak tahu bagaimana caraku bercerita pada Ibu dan membuat Ibu mengerti. Aku sendiri tidak tahu tentang murid itu, dia berniat baik atau buruk, aku juga tidak mengerti."
Lars tersenyum pahit, pada awalnya dia merasa senang karena mendapat sambutan baik dari teman-temannya. Akan tetapi, ketika dirinya mengingat murid yang baru saja diceritakannya pada Fanny, Lars merasa takut.
Seolah murid itu ingin berbuat buruk padanya, setidaknya Lars merasakan itu sekarang.