Setengah sadar. Kazura terus menatap ke luar jendela. Sekitarnya begitu hening, hingga ia kehilangan hitungan akan waktu . pirang di atas jaket hitam yang ia ingin lihat di ambang gerbang sekolahnya tidak kunjung muncul.
Kazura tertidur. Sebuah goncangan di tubuhnya oleh suster UKS membuatnya terjaga kembali dengan segera ia melongok ke luar jendela. Ia hanya melihat murid-murid yang berjalan pulang. Kazura mulai merasa kesal matanya berair karena ia tahu dirinya tertidur. Mungkin Rey datang tadi. Mungkin Rey menunggunya, tetapi menyerah karena ia tidak kunjung turun.
Kazura tidak tahu Rey tidak pernah datang ke Umegaoka sama sekali siang jumat itu. Maka ia berjalan ke ambang gerbang sekolah, bersandar pada dinding pagarnya untuk waktu yang sangat lama. Walau pun matahari perlahan-lahan terbenam, Kazura masih merasa Rey akan datang.
Rey membersihkan meja bar tempatnya bekerja sore itu sebelum Moonlight buka. Ini bukan pertama kalinya Rey merasa ingin keluar dari Moonlight dan berhenti mencampur minuman. Ia hanya ingin berbaring di atas ranjangnya dan mengelus pororo, seperti yang ia lakukan sepanjang siang tadi.
Ia melarang dirinya untuk pergi. Untuk melanjutkan permainan yang mungkin bahkan belum di mulai. Segalanya berubah menjadi menusuknya dan ia tidak ingin di khianati oleh rencananya sendiri.
Rey meninggalkan lap dan gelas-gelasnya. Melewati pegawai-pegawai lain dan mencapai pintu belakang. Gang belakang Moonlight tetap sepi seperti biasa. Rey yang menyandar pada dinding dan terduduk di tanah membuat bayangan dengan sinar matahari sore yang menyorot ke arahnya. Ia mengeluarkan kotak rokok, menyelipkannya di antara bibirnya, dan menyalakannya dengan pematik.
Rasanya sudah lama sekali sejak ia terakhir merokok. Padahal itu sama sekali tidak benar. Setiap kali Rey berada di dekat Kazura, ia tahu dirinya tidak boleh merokok. Kazura tidak boleh menghirup asapnya, ia tidak tahan akan rokok. Namun, Rey sendiri tidak merasa ingin merokok.. Kazura selalu membuat Rey cukup sibuk. Otaknya memikirkan apa untuk di katakan, di hatinya berusaha keras menghentikan degupan jantung yang berpacu.
Rey merasakan perasaan sibuk itu lagi. Ia bisa saja bangkit dan meninggalkan Pororo sendirian di rumah siang tadi. Ia bisa saja bangkit dan meminjam motor Tora saat ini juga, meleset ke Umegaoka, menunggu Kazura berlari turun dan melompat ke kursi belakangnya. Namun, ia tidak melakukan satu pun dari hal-hal itu. Ia ingin mencari tempat yang aman dan bersembunyi, dan itulah yang ia lakukan sekarang.
...Sudah cukup semua permainan ini. Rey membatin. Sebelum segalanya berubah menjadi kacau, aku harus segera berhenti...
Rey menghisap rokoknya dalam-dalam, menghembuskannya kemudian. Ya, dia harus tetap duduk di sana dan merokok. Jika itu yang bisa membuat dirinya tidak beranjak dan pergi, maka itu lah yang harus ia lakukan.
Kenzo menutup pintu mobilnya dengan keras, membuatnya terbanting tertutup. Ia berlari ke arah gerbang sekolah, berhenti tepat di depan sosok mungil Kazura. Lampu-lampu jalan telah di nyalakan dan di bawah sinarnya sosok kazura di perjelas. Sentuhan pada tangannya membuat Kazura mendongak.
Wajahnya murni terkejut ketika melihat Kenzo di hadapannya. "Kenzo..?"
Kenzo ingin sekali berteriak marah kepada Kazura, tetapi yang keluar dari bibirnya selalu sesuatu yang lebih lembut, "Kazura, apa yang sedang kau lakukan..." kau belum pulang ketika aku selesai membuta makan malam. Aku mencari mu ke mana-mana. Ponselmu tidak aktif.... Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau menunggu ku? Bukan kah aku sudah bilang tidak bisa menjemputmu karena ada rapat?"
Kazura tidak menjawab. Matanya memperhatikan setiap ekspresi wajah Kenzo. Kenzo mengernyitkan dahinya, menahan seluruh perasaannya. Kazura yang ada di hadapannya menatapnya penuh harap. Tetapi Kenzo tidak tahu harapan apa itu. Kenzo ingin sekali memberikannya, membuat Kazura ceria lagi, tetapi ia tidak bisa.
Kenzo berdiri di sana, berhadap-hadapan dengan Kazura di balik ekspresi itu. Kenzo tahu ada sesuatu yang ingin Kazura sampaikan kepadanya, jadi ia hanya diam. Ia diam, menunggu setiap detiknya Kazura akan buka mulut dan berkata padanya. Ia berharap Kazura akan memberi tahu apa yang ia inginkan sehingga ia bisa memenuhi harapan itu.
Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir Kazura. Ia hanya memeluk Kenzo, erat, kepalanya terkulai pada pundak Kenzo.
"Kenzo-nii...."
Kenzo mengangkat tangannya dan memeluknya balik. Ini lebih baik dari sekadar kata-akat.
"Apa yang Yoshiro Yuta lakukan kepadamu, Kazura..."
Kazura terdiam. Ia hanya memeluk Kenzo sedikit lebih erat lagi. Ia berbisik ke telinga Kenzo, "Ia bilang akan menemui ku siang ini.. aku menunggu dan menunggu, tapi ia tidak datang. Aku sempat tertidur, mungkin ia sudah datang, lalu pergi lagi. Aku seharusnya menyusulnya, tapi aku tidak berani."
Kenzo merasakan tusukan pada hatinya ketika ia mendengar Kazura berkata dengan begitu pedih. Ia mengangkat tangannya, mulai membelai rambut panjang Kazura dalam pelukannya. Berusaha memberikan semua kenyamanan yang bisa ia berikan.
"Aku takut, aku datang dan ia akan mengusirku lagi, kembali menjadi dingin lagi."
Kenzo menatap kosong dinding pagar gerbang sekolah di hadapannya. Seluruh tubuhnya hangat karena pelukan Kazura. Telinganya mendengarkan setiap kata Kazura dengan saksama.
"Karena aku terlalu menyukainya, aku jadi takut akan segala hal. Terakhir aku bertemu dengannya kami berpisah dengan gembira, membuat janji untuk siang ini. Tapi, bagaimana jika aku menemuinya saat ini, mendapati dirinya telah berubah pikiran... Kembali jadi dingin, kembali tidak menginginkan ku." Suara Kazura agak bergetar di akhir. "Aku takut."
Kazura melepaskan pelukannya, tetapi tetap menunduk ke bawah. Tangannya menggenggam milik Kenzo, menariknya pelan ke arah mobil. Kenzo seakan terpaku di tempatnya. walau pun Kazura menariknya lembut, ia tetap di tempat. Kazura berhenti dan mendongak menatap mata Kenzo karena hal itu.
Tangan Kenzo naik, mengelus dagu Kazura lembut. Keseriusan di dalam tatapannya membuat kazura tidak bisa membuang wajahnya dari Kenzo. Baik dirinya dan Kenzo tahu mereka harus mendengarkan satu sama lain dengan saksama.
"Jika ia ingin pergi, atau tidak menginginkan mu. Maka biarkan lah." Kenzo berkata. " Kau selalu punya aku."
Kenzo memutuskan sambungan ponselnya. Ia membiarkan dirinya bersandar pada pagar rumahnya, punggungnya bersentuhan dengan plat nama di belakangnya. Tidak lama kemudian ia merasakan kaki-kakinya kehilangan energinya, membiarkan tubuhnya meluncur ke bawah. Ia terduduk di tanah, satu tangannya memijat pelipisnya.
Ia masih belum bisa berbicara dengan ayahnya lagi lewat telepon. Terlalu banyak hal yang ia tidak tahu— Ayahnya tidak pernah memberitahunya apa pun yang tidak perlu, Ayahnya tidak pernah memberikan informasi yang tidak relevan. Ayahnya tidak pernah menjelaskan, ia hanya menginstruksikan. Memerintah. Kenzo ingat perintah yang pertama ketika ia berumur sepuluh tahun. Perintah yang memulai segalanya.