Chereads / Love at The End of Spring / Chapter 30 - Dua Puluh Sembilan

Chapter 30 - Dua Puluh Sembilan

Izumi Yashuhiro melepaskan pelukannya dari Rey. Ia berkata lagi, matanya menatap ujung tebing "Jangan pernah percaya pada cinta... Tidak ada siapa pun, tidak kepada ku. Aku hanya akan meninggalkan mu dan kau akan sendiri., jadi bencilah aku. Bencilah aku dan tumbuhlah menjadi anak yang kuat. Yang tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti mu karena kepercayaan atau cinta."

Rey menatap punggung ayahnya menjauh, sekitarnya terasa seperti di penuhi kabut. Namun, tapi ia bisa melihat punggung itu terus menjauh. Rey meraung dan mulai menangis. Tangannya menggapai-gapai udara. Seberapa pun ia berlari dan mencoba untuk meraih tangan ayahnya kembali, ia tidak bisa bergerak dari tempatnya.

Rey memanggil-manggil nama ayahnya hingga tenggorokannya kering dan sakit. Seluruh tubuhnya telah di siram air hujan. Tetapi ia tidak peduli, hujan yang turun begitu desar sehingga rasanya ia seperti sedang berdiri di bawah air terjun, tetapi ia juga tidak peduli Rey berlari dan terus berlari, tetapi hanya di tempat dan tidak bisa maju.

Kemudian Rey melihatnya, segalanya selalu terasa berbeda, tapi tidak pada bagian itu. Bagian di mana ia mengingatnya paling jelas. Di mana bagian tubuh ayahnya terjatuh ke bawah, dan semuanya seakan di perlambat.

Rey berlari, berteriak keras. Kali ini bisa membuat dirinya maju, ia tersandung dan jatuh, sebuah batu menorehkan luka di alis kirinya, darah menetes, air mata mengalir.

Rey Tersentak ketika ia terbangun, air mata menetes turun dari wajahnya ke atas meja bar. Gerakan yang tiba-tiba itu membuat gelas tinggi di atas meja bergetar, dan membuat kue stroberinya bergeser sedikit. Rey berdiri terengah-engah seakan ia baru saja berlari begitu jauh. Ia mengangkat tangannya dan menyapu gelas dan kue itu ke lantai. Membuat suara denting pecah menggema nyaring ke seluruh penjuru Moonlight.

Rey menggebrak meja.

Apa yang sebenarnya sedang ia lakukan? Ia seharusnya sedang mempermainkan, bukan di permainkan.

Kenzo tidak bisa menanyakan apa-apa kepada Kazura. Apa lagi ketika wajah Kazura begitu sumringah sepanjang hari kemarin.

Ia memainkan darinya di tangan, kemejanya baru saja setengah terkancing. Sarapan telah tertata rapi di hadapannya, tumpukan hotcake dengan selai dan sirup mapel. Kenzo meluangkan waktu untuk memeras jeruk hari ini dan tidak menggunakan jeruk kalengan. Lagi pula, jus jeruk kalengan sudah habis.

Kenzo melirik ke arah jam dindingnya, masih terlalu pagi.

Ia bangkit dari tempat duduknya, beranjak ke depan pintu kamar Kazura. Ia menyentuh ornamen kayu berbentuk bunga sakura di pintu itu. Ragu-ragu untuk masuk. Sejak kapan ia mulai gugup untuk masuk ke kamar Kazura? Ia begitu ragu-ragu. Kapan terakhir kali ia masuk ke sana? Ketika ia membetulkan daun pintu lemari Kazura yang rusak? Bukan kah itu baru satu bulan yang lalu? Mengapa rasanya telah lama sekali sejak saat itu?

Jika saat itu tidak apa-apa. Kali ini pun tidak apa-apa. Kenzo menekan gagang pintu itu perlahan-lahan mendorongnya hati-hati. Tidak ingin membuat suara yang mengagetkan Kazura. Pintu itu membuat suara lembut. Tetapi tidak cukup keras untuk membangunkan Kazura.

Kamar itu gelap total, kecuali dari sinar lampu teras dan cahaya dari ruang makan. Namun, perlahan-lahan mata Kenzo bisa menyesuaikan. Lemari di kanan, meja belajar di kiri. Ranjang tepat di seberang. Di antaranya sebuah karpet berbentuk lingkaran, membenamkan sendal rumah Kenzo di dalam bulu-bulunya.

Kamar itu wanginya seperti Kazura. Ketika dulu Kazura masih kecil, kamar itu terasa seperti bedak bayi dan sampo. Ketika Kazura sedikit lebih besar, kamar itu masih terasa seperti bedak bayi dan sampo. Hingga beberapa saat yang lalu ketika Kenzo terakhir masuk kemari, kamar itu masih wangi seperti itu.

Kenzo duduk di pinggir ranjang Kazura, melihat Kazura masih tertidur lelap. Kenzo membelainya, sentuhannya turun ke pipi Kazura, lalu ke dagunya. Pandangan Kenzo mengikuti setiap lekukan wajah kazura, pada hidung dan bibirnya yang mungil, pada bulu matanya yang lentik. Kemudian Kenzo membungkuk memberikan kecupan singkat di dahinya.

Kazura ternyata masih berbau seperti bedak bayi dan sampo. Selain itu ada sedikit wangi lain yang seperti wangi bunga. Juga ada wangi lain yang manis tetapi mengganggu. Wangi yang sebenarnya Kenzo kenal.

Wangi tembakau.

Kenzo begitu kesal hingga rasanya ia ingin memukul dirinya sendiri. Ia ingin memeluk Kazura begitu erat— begitu erat hingga ia khawatir membuat Kazura remuk— dan tidak pernah melepaskannya untuk pria mana pun. Ia ingin menaruhnya ke dalam kotak kaca dan menjaganya dengan sangat hati-hati. Namun Kenzo tahu ia tidak bisa melakukan satu pun dari hal-hal itu.

Ia hanya bisa tertegun di sana, memperhatikan kelopak mata Kazura perlahan-lahan terbuka. Kedua matanya yang cokelat menatap Kenzo, masih terlihat berat karena kantuk.

"Kenzo?"

"Nanti kau terlambat." Hanya itu yang keluar dari mulut Kenzo.

Jemari Kazura keluar dari balik selimutnya, meraih jam beker di samping tempat tidurnya. "Pukul berapa sekarang..?"

Kenzo menarik tubuh Kazura ke dalam pelukannya. Ia terdiam lama, begitu pula Kazura dalam pelukannya. Kenzo melepaskan Kazura dan bangkit dari sisi ranjang Kazura. "Aku sudah menyiapkan sarapan. Mandi dan bersiap-siap lah, aku akan mengantarmu ke sekolah."

Kenzo keluar dari kamar Kazura, menutup pintu di belakangnya. Ia membenamkan wajahnya ke dalma satu tangannya, bertanya-tanya mengapa dirinya begitu tidak rela Kazura di ambil pria lain.

---

Kazura sama sekali tidak merasa sakit, tetapi ia sedang terbaring di UKS sekolah, di ranjang yang paling dekat dengan jendela. Ia berada di lantai dua, jadi semua yang terlihat di bawah menjadi lebih kecil dari pada seharusnya.

Ia merasa agak bersalah kepada Haru yang tadi dengan khawatir mengantarkannya ke UKS. Namun Kazura harus melakukannya. Jika tidak, bagaimana caranya ia akan keluar dari sekolah? Ia tidak mungkin b angkit dan berlari ke luar kelas tiba-tiba.

Ia tadinya berencana untuk tidak masuk sama sekali. Namun, Kenzo mengantarnya ke sekolah tadi pagi karena ia tidak akan bisa menjemputnya pulang nanti. Berpesan agar Kazura belajar dengan baik. Segelintir perasaan bersalah kepada Kenzo membuatnya tetap masuk kelas. Hingga rasa yang lain memaksanya untuk berpura-pura sakit dan di antarharu ke UKS.

Kazura menoleh ke samping. Membelakangi jendela. Suster yang menjaga UKS sedang keluar. Di meja sampingnya ada segelas air dan strip obat. Suster itu telah membuat Kazura menelan obat sakit kepala sebelum ia pergi.

Kazura bisa merasakan obat itu bekerja di dalam dirinya. Matanya terasa berat. Namun ia tidak bisa membiarkan dirinya tidur. Ia memandang keluar jendela. Apa ia bisa pulang sekarang dan berlari ke Kabikicho? Ia ingin melakukan itu, tetapi tiba-tiba saja ia merasa takut.