Chereads / Love at The End of Spring / Chapter 17 - Tujuh belas

Chapter 17 - Tujuh belas

Rasanya, Kenzo setengah sadar ketika ia memberikan kancingnya pada gadis yang ia bahkan tidak tahu namanya itu. Gadis itu berlari pergi segera setelah mendapatkan kancing Kenzo. Seolah ia akan meledak jika berdiri di depan Kenzo lebih lama lagi. Kenzo berdecak tidak peduli setelahnya, dalam hati menertawakan dirinya sendiri untuk ikut dalam tradisi bodoh itu. Ia tidak peduli dengan kelulusan, apa lagi dengan pernyataan cinta yang tidak jelas seorang gadis. Ia hanya ingin cepat pulang dan menemui Kazura lagi.

Namun Kazura yang menunggu di rumah tampaknya tidak secuek itu tentang kancing Kenzo. Ia tidak langsung menangis saat melihat kancing kedua Kenzo telah di berikan pada orang lain. Ia mencengkeram lengan seragam Kenzo begitu erat, ujung hidungnya memerah dan matanya berair, ia masih terlalu kecil, tetapi Kenzo melihat kilatan di mata Kazura saat itu.

Kilatan Cinta.

Kilatan yang sama seperti yang di pancarkan oleh gadis malu-malu yang mendapatkan kancing keduanya. Kilatan Kazura lebih polos dan kekanakan, tetapi itu adalah kilatan yang sama. Kazura segera menangis meraung setelahnya, memaksa Kenzo mengambilnya kembali dari gadis tadi. Namun nama gadis itu pun ia tidak tahu. Wajahnya pun ia tidak ingat.

Kenzo tidak pernah mendapatkan kancing keduanya kembali untuk di berikan kepada Kazura. Bersamaan dari itu, kilatan itu perlahan-lahan hilang dari mata Kazura. Kenzo tidak tahu ke mana, atau sejak kapan. Tetapi, terkadang ia mengakui ingin melihatnya lagi. Ia hampir pada tahap saat ia merindukan kilatan itu. Namun, ia takkan pernah mengakuinya, bahkan tidak kepada dirinya sendiri.

Kazura adalah adiknya.

"...Kenzo... Kau membuat wafel?"

Kazura mengucek matanya, berdiri di ambang pintu kamarnya.

Kenzo tersentak dari lamunannya, membetulkan kerah kemejanya sambil memperhatikan Kazura yang duduk di kursi meja makan di seberangnya. Ia mengenyahkan seluru nostalgia dari kepalanya memaksa dirinya sendiri untuk fokus kepada Kazura di hadapannya. Kenzo telah lupa pada kata-kata yang telah ia rancang di otaknya tadi. Ia tidak keberatan Kazura berkata 'selamat makan' dan segera mencomot salah satu wafelnya, ia memerlukannya untuk merancang kata-kata lagi.

"Ke mana kau akan pergi hari ini?" Kenzo bertanya. Sepenuhnya mengalihkan dari topik yang sedari tadi ia pikirkan.

"Mungkin akan di rumah membuat sebuah bekal, lalu akan keluar di sore hari." Kata Kazura pelan dan tidak jelas.

Kenzo berusaha untuk mendengar secuek mungkin, "Cobalah agar tidak pulang terlalu malam..."

"Kenzo, kau tahu...," Kazura memulai sebelum Kenzo bisa mengatakan apa pun lagi. Ia memberikan jeda, seakan ini lah yang sedari tadi ingin ia katakan, "Ku rasa kau benar. Kau adalah kakak terbaik ku. Jika sekali pun aku memiliki Izumi Rey sebagai kakak tiriku... kau memang tidak tergantikan. Bagaimana pun aku tidak seharusnya marah kepadamu, paahal kau menjagaku selama ini."

Selama ia berbicara, Kazura menatap pisau dan garpunya. Kenzo terpana mendengar kata-kata itu.

"Tidak apa-apa," Kenzo menjawab pelan, senyum tipis terbentuk di bibirnya, "...Dan, terima kasih."

***

Kazura tidak percaya dengan apa yang sedang ia lakukan. Kedua telapak tangannya berkeringat tidak terkendali. Berusaha menggenggam erat bungkusan bekalnya agar tidak terjatuh. Kakinya seakan tertanam di depan pintu usang itu. Sekelilingnya, bangunan yang tidak familiar dengannya. Kusen-kusennya telah tua di makan usia, sarang laba-laba di ujung-ujung dindingnya. Di belakangnya, adalah balkon terbuka menuju ke jalan kecil.

Sinar sore tidak membuat segalanya lebih baik untuk Kazura, memikirkan bagaimana matahari akan segera terbenam dan segalanya akan menjadi gelap membuat Kazura sedikit takut. Ia sedang berdiri di depan apartemen tua yang di diami Izumi Rey.

Ia tidak merencanakan seperti ini ketika ia pergi dari rumah tadi. Ia hanya ingin mengunjungi Silver di Moonlight sebelum tempat itu buka, berbicara beberapa hal dengannya, lalu kembali setelah Rey mencicipi bekal yang ia buat. Ia tidak menyangka Rey telah menelepon ke sana untuk tidak datang malam itu. Ia sakit, atau setidaknya itu yang ia bilang pada bos nya yang botak.

Kazura mencocokkan tulisan di kertas kecil yang di pegangnya dengan nomor rumah yang tergantung pada pintu itu. 303. Ia berdiri di depan apartemen yang benar, jika orang di Moonlighht memberikannya alamat yang benar. Jadi sekarang, apa yang harus ia lakukan?

Kazura melihat ke kusen pintunya. Tidak ada tombol atau apa pun yang menyerupai sebuah bel. Ia pada akhirnya memutuskan untuk mengangkat tangannya, mengetuk pintu kayu di hadapannya beberapa kali. Lembut dan malu-malu pada awalnya. Tetapi menjadi lebih keras di setiap ketukannya. Kazura menarik tangannya dan menunggu menjadi lebih gugup di setiap detiknya.

Apa ia harus tersenyum ketika Rey membuka pintu? Memelas? Atau bersikap cuek dan berkata ia terpaksa datang karena mendengar Rey hidup sendiri dan sedang sakit? Lalu, bagaimana ia akan memberikan bekal di tangannya tanpa terlihat seperti orang bodoh.

Kazura tersedak. Bagaimana jika silver berbohong dan ia bukan Rey? Bukan kah dengan begitu kini Kazura sedang di ambang bahaya besar?

Segalanya sudah terlambat untuk mengambil langkah mundur. Pintu itu berayun dan terbuka perlahan. Seakan membutuhkan banyak tenaga untuk melakukannya. Hal pertama yang Kazura lihat adalah gumpalan bulu putih-coklat mengeong-ngeong penasaran yang kini mendekat di kakinya. Setelah sadar bahwa itu adalah seekor kucing. Kazura mendongak dan menatap pria di hadapannya.

Wajah Rey bahkan lebih tidak mengenakkan dari kemarin. Walau fitur-fitur wajahnya lembut hampir seperti milik wanita dan tampan. Aura tidak mengenakkan itu masih ada. Aura negatif yang bercampur aduk yang membuat perut Kazura seakan jungkir balik ketika melihatnya. Mungkin itu iba karena Rey jelas-jelas kurus, pipinya jelas-jelas cekung dan matanya jelas-jelas hitam. Rey perlu bantuan.

"Kau lagi—." Rey berkata. Memicingkan mata sebal. Ia menyelingi kata-katanya dengan batuk-batuk kecil "Apa yang kau inginkan kali ini?"

"Ku dengar kau sakit dan hidup sendiri, jadi sebagai adik yang baik ku pikir aku harus menjenguk mu." Kazura berkata, memandangi rambut pirang Rey yang acak-acakan "Aku bahkan sudah membuatkan mu bekal."

Rey terhenti. Matanya bergeser pada kantong bekal yang Kazura jinjing. Seakan ia tidak bisa berdiri dengan tegak. Ia menyandarkan tubuhnya pada dinding di sisinya, berkata, "Aku bukan kakak mu. Lalu, kau masih mau masuk ke rumah ku?"

Apa yang harus Kazura percayai dan yang mana yang tidak? Ia tidak bisa membedakannya sekarang. Namun, sudah terlambat untuk melangkah pulang "Setidaknya makanlah bekal ku dulu."

Rey melirik Kazura dengan ujung matanya. Dengan lunglai ia berjalan ke depan. Kucingnya mengikut di belakangnya. Tiba-tiba saja jantung Kazura berpacu seraya ia menutup pintu itu di belakannya.

***