Ia menarik ke luar loyang kue yang baru setengah matang. Panasnya menyentuh jarinya, membuatnya menjatuhkan loyang kue itu, membuat klontang nyaring bergema ke seluruh rumah. Adonan kentalnya mengenai kaki kirinya terasa membara. Kazura membungkuk dan berusaha menghilangkan rasa sakit di kakinya, ketika ia sadar, pintu depan rumahnya berdebam terbuka.
"Kazura!" Kenzo setengah berteriak, berlari panik ke arah Kazura, membanting pintu di belakangnya. Dengan satu gerakan cepat, ia melepaskan sandal rumah yang Kazura pakai, mengangkat Kazura, mendudukkannya di atas meja dapur. Kakinya di tarik sehingga bisa mencapai air dingin yang mengalir dari wastafel. Air itu terus mengalir mendinginkan rasa menyengat di kaki Kazura. Namun, air mata yang mengalir ke pipi Kazura tidak bisa mendinginkan hatinya yang sakit tertusuk.
Kenzo memeluknya, menggunakan kedua ibu jarinya untuk menghapus air mata Kazura. Ekspresi di wajahnya adalah amarah yang terbentuk karena kekhawatiran yang memuncak. Kazura sudah berkali-kali melihatnya sebelumnya, tetapi entah mengapa, kali ini ia tidak terlalu menginginkan kekhawatiran itu.
Kazura menatap wajah Kenzo dari balik air matanya. Bibir itu, bibir yang baru di cium dan mencium, tetapi tidak kepadanya. Yang Kenzo berikan kepadanya adalah kasih sayang, kekhawatiran yang berlimpah... tetapi tidak pernah di cium.
"Jangan pernah memanggang kue lagi!" Kenzo hampir berseru.
Kazura tidak bisa menahan dirinya untuk berteriak balik, "Aku membuatnya untuk mu!"
"Aku tidak butuh kue mu!" Kenzo kini mengeluarkan semua suaranya, "Apa yang harus ku lakukan jika luka ini membuat bekas? Apa yang harus ku lakukan jika terjadi sesuatu pada kaki mu?"
Kazura membiarkan dirinya di peluk oleh Kenzo sekali lagi. Ia masih terisak, isakan tidak beraturan keluar tidak terkendali. Ia memeluk Kenzo balik, berbisik tepat di telinga Kenzo, "...Hari ini adalah hari Valentine."
Kenzo terdiam. Kazura tidak tahu wajah seperti apa yang Kenzo miliki saat itu, mungkin Kenzo merasa terganggu karena akhirnya ia mengerti apa yang Kazura rasakan. Mungkin juga Kenzo merasa bingung karena ia memiliki Airi-san yang harus ia perhatikan saat Valentine, tapi ia di sini, berusaha mendinginkan luka bakar Kazura.
"Kau adalah adikku, kau tidak perlu membuat kue segala. Aku tahu rasa sayangmu, kau tidak perlu menunjukkannya dengan cara seperti itu." Kenzo berkata, kali ini lebih lembut. "Kau selalu membuatku khawatir, tapi terima kasih telah berusaha membuatkan ku kue. Tolong jangan buatkan aku lagi."
"Airi-san yang akan membuatkannya untuk mu?"
Pertanyaan itu membuat tubuh Kenzo membeku. Namun, ia tidak melepas pelukannya, kazura juga merasakan hal yang sama. Ia tidak ingin melepaskan pelukan itu. Entah ekspresi seperti apa yang harus ia tunjukkan jika ia melepaskannya dan harus bertatap muka.
"Ini tidak ada hubungannya dengan dia."
Kazura menunduk. Ia merasakan belaian pada kepalanya, lalu pelukan itu di lepaskan. Kenzo berjalan ke arah kamarnya tanpa menoleh. Ia berkata singkat, "Aku akan mencaarikan mu salep untuk luka bakar."
Untuk waktu yang lamma kemudian, Kenzo tidak keluar dari kamarnya. Kazura masih terduduk di atas meja dapur, kakinya masih di guyur air dingin dari wastafel. Kesunyian yang ia lalui saat itu seakan berbisik padnya.
...Ia adalah kakak mu, lupakan saja.
Kembali ke tempat Silver.
"Silver, kau ikut latihan hari ini?"
Rey mengelap gelas-gelas dan seloki sebelum menjajarkannya di hadapannya. Sebuah tepukan di bahunya menyadarkannya. ia menoleh cepat menghela napas lega ketika melihat sosok familier di hadapannya.
"Apa yang kau bilang tadi?" Rey bertanya, membuat Utsugi Tora mendengus kesal.
Tora menyandar pada meja bar, Rey bisa merasakan ia memperhatikan Rey yang sedang menata gelas-gelas. Tora menggunakan seragam waiter-nya, rambutnya yang merah lebih menyala di bandingkan biasanya, kontras dengan kemeja hitamnya. Rey sudah bisa menebak Tora akan memaksanya melakukan sesuatu, dan sedetik setelah ia memikirkan hal itu. Tora berkata, "Latihan band. Kau tahu, sejak kau manggung waktu itu, orang-orang berkumpul seperti ada sesuatu yang benar-benar gila sedang terjadi. Kau adalah magnet ajaib. Band ku butuh Silver."
Rey menahan napasnya. Ia hampir bersin untuk kesekian kalinya hari itu. Sampai akhirnya sensasi bersinnya hilang. Rey menjawab malas, "Waktu itu Cuma kebetulan. Aku tidak tertarik untuk ikut band."
"Kau bohong." Tora tertawa. "Lihat dirimu, tidak tertarik dengan band, katamu? Penampilanmu itu hanya cocok untuk menjadi satu Rocker, dua host, atau tiga DJ. Kau bahkan bukan ketiganya!"
Rey mendengus "Ya, tapi aku adalah bartender bar di kabukicho."
"Tapi menyanyi di atas panggung dengan semua orang meneriaki nama mu lebih baik dari pada mencampur-campur minuman di sini, kan?" Tora berkata, setengah berbisik karena Nobu Makoto sedang lalu lalang di depan mereka, menginspeksi setiap sudut bar sebelum di buka malam ini.
Rey mengangkat bahu "Tidak juga."
Tora mendecakkan lidahnya, berjalan memutar, duduk di kursi tinggi bar. Ia menatap ke arah Rey. "Kau sedang memikirkan sesuatu."
"Tidak." Rey menepis ringan.
"Ya, kau sedang memikirkan sesuatu. Perempuan?"
"Tidak!" suara Rey meninggi. Ia hampir membanting botol kaca berisi Bailey's ke meja.
"Oooh.." Rey begitu benci pada ekspresi Tora ketika ia mengatakannya. "Memang benar soal perempuan ya? Ku kira selama ini kau gay.."
Rey mendelik. Ia menghela napas panjang. Lalu melepaskan jaket kulitnya. "Aku sedang berusaha keras untuk tidak menonjokmu, Tora. Pergi sebelum Makoto memecatmu karena bersantai-santai seharian."
"Jadi seperti apa dia?" Tora tidak menghiraukan Rey sama sekali. Matanya berkilat ingin tahu. "Anak Umegaoka itu?"
Rey tidak bisa menghentikan ekspresinya untuk berubah. Ia sendiri merasakan gerakan tangannya menjadi kaku, matanya di paksa untuk melihat ke arah Tora. Ia sebal akan dirinya sendiri saat ini, tetapi ia tetap bertanya, "Jadi, dia anak Umegaoka?"
"Sekali lihat seragamnya, aku langsung tahu. Aku sempat melihatmu menyelamatkannya di gang belakang itu. Kemarin, dia juga kemari menanyakan alamat mu. Entah sihir apa yang dia pakai sehingga Makoto bisa memberikannya." Tora tertawa. "Dia memang mempuanyai kekuatan itu, sepertinya. Kau saja tidak bisa berhenti memikirkannya, kan?"
Rey menggeretakkan giginya. "Omong kosong!"
"Kapan kau akan bertemu dengan dia lagi?"
Entah mengapa Rey merasa kesal dengan kertertarikan Tora. Ia hampir yakin pertanyaan selanjutnya adalah, 'apa aku bisa ikut denganmu, ketika kau menemuinya nanti'.
"Tidak tahu. Mungkin tidak akan." Rey berbohong.
Rey berpura-pura sibuk menata gelas yang kini sudah tertata rapi. Ia bisa melihat dari ujung matanya kalau Tora sedang tersenyum mencemooh. Akhirnya ketika Tora membalikkan badan dan menyandar pada meja bar, membelakangi Rey, ia berkata lagi, "Hei Silver... Kalau mau berbohong lihat dulu ambang pintu."
Rey tersentak dan menoleh dengan cepat. Tora tertawa membuat Rey ingin sekali menendangnya hingga terjengkal.