"Saya akan menelepon lagi besok pagi. Jika ayah sudah lebih baik. Saya mohon agar anda meminta ayah menelepon saya." Kenzo berkata, "Jika yang anda katakan tentang keadaan ayah itu benar, saya benar-benar perlu berbicara dengannya."
Wanita itu tampak ragu-ragu, "Baiklah."
"Tolong, secepatnya."
Izumi Yashuhiro terbaring lemah di atas ranjangnya, terbatuk sesekali. Lebar ranjangnya dua kali lipat lebar tubuhnya, di apit dengan alat-alat kesehatan yang tidak berhenti mengeluarkan bunyi beraturan. Selang infus di hubungkan ke lengannya, memasukkan substansi cair yang di butuh kan tubuhnya.
Semua alat-alat itu terlihat asing di dalam kamar yang mewah, tetapi tradisional itu. Warna putih dan abu-abunya kontras dengan lantai kayunya, atau dengan lukisan-lukisan pemandangan-nya. Sebuah cangkir teh dan teko terletak rapi di meja samping ranjang, bungkus-bungkus obat mengelilinginya.
Yashuhiro membuka kelopak matanya yang telah keriput. Sosok wanita muda memunggunginya, memegang ponselnya, dan berbicara dengan bisik-bisik kecil. Yashuhiro tahu telepon itu sebenarnya di tujukan kepadanya, tetapi gerakan yang signifikan yang bisa ia buat hanyalah mengangkat beberapa jemarinya, sebelum membiarkan tergolek lunglai kembali ke atas ranjang.
Namun, tidak. Ia tidak akan mati sekarang. Tidak kini, ketika ia belum bertemu dengan Kenzo dan Kazura. Ia harus bertemu mereka... Bahkan, jika itu berarti ia harus melawan dewa kematian sekali pun.
Hari Selasa sore adalah jadwal klub tenis berlatih Kazura membawa kue stroberi untuk semuanya, dan semua orang memakannya dengan gembira tanpa curiga, kecuali Miho. Dia melahapnya dengan curiga, berkali-kali bertanya pada Kazura, mengapa gadis yang selalu menghindari oven itu tiba-tiba membuat kue stroberi. Tapi, toh dia akhirnya memakannya hingga habis juga.
Kazura tidak pernah menyangka kue yang ia bawa membuat separuh klub tenisnya abesn latihan di sore keesokan harinya. Kazura mendapati dirinya meratap di kursi samping lapangan t enis, menahan tangis. Arata duduk di sampingnya, tidak henti-hentinya menepuk punggung Kazura.
"Ya ampun, itu bukan salahmu," kata Arata menenangkan. "Lagi pula kau juga tidak sengaja... mereka Cuma sakit perut, sebentar juga sembuh. Mereka Cuma manja dan bolos latihan saja, kok."
Kazura merasakan kedua ujung bibirnya tertarik ke bawah, "Bohong, bahkan, Haru pun tidak masuk. Haru tidak mungkin bolos karena hal kecil."
Kali ini, Arata tidak bisa membantah apa-apa. Miho mendesah di sampingnya, meneguk air dari botol minumannya yang besar.
"Sebenarnya rasanya enak kok. Mungkin sroberi yang kau pakai kurang segar," ujar Miho yang di rasa Kazura hanya sekedar untuk menghibur. Miho duduk di samping Kazura, sementara mata Kazura menolak untuk menjawab pertanyaan teman-temannya lebih jauh. Mengikuti gerakan kakak-kakak kelasnya yang mengayun-ayunkan raket tenis. Miho berkata, "Lagi pula, buat apa kau tiba-tiba bikin kue, sih.?"
Kazura merengut. Entah mengapa ia sama sekali tidak ingin membicarakan Rey pada orang lain. Bukan karena ia malu mempunyai kakak tiri seperti dia, jika ia benar-benar kakak tirinya tetapi ia hanya tidak ingin orang tahu. Rasanya, memilikinya terasa seperti rahasia. Rahasia yang terasa lebih manis jika tidak ada orang yang tahu.
Kazura menyukai Rey. Ketika Rey mengigau dalam demannya, kazura tahu ada sesuatu dalam diri Rey yang membutuhkannya. Ia membuat Kazura merasa kuat... Merasa berguna walau Rey berkali-kali berkata tidak menginginkan dirinya.
Sesuatu dalam diri Rey itu bertentangan sama sekali dengan apa yang bisa di lihat dari luar sesuatu yang lembut dan lemah. Sesuatu yang sangat Kazura kenal, tetapi tidak pernah ia lihat dari orang lain selain Rey. Sesuatu yang sangat familier.
Kemudian, Kazura melihatnya. Sosok keras itu di latar belakangi pohon-pohon sakura di dekat gerbang sekolah. Jaket kulitnya yang hitam terlihat kontras dengan warna merah jambu lembut sebagai latar belakangnya. Sebagian wajahnya terbenam ke dalam bulu-bulu ujung kerah jaketnya. Kedua tangannya di masukkan ke kantong celananya, melindunginya dari angin musim semi yang masih terasa dingin. Tubuhnya menyandar ke bagian luar gerbang sekolah Kazura, sebatang rokok menempel di antara bibirnya, mengepulkan asap tipis.
Lalu Kazura tahu 'sesuatu' itu. Sesuatu itu adalah rasa kesepian. Karena ketika ia melihat sosok iotu, ia ingat sosoknya sendiri di masa lalu, betapa menyakitkan hati saat menunggu Kenzo datang ke festival sekolah saat SD. Ia terpaku di gerbang, mendongak memperhatikan teman-temannya berjalan masuk penuh tawa dengan orang tua mereka. Walau pun sesaat kemudian, Kenzo berlari bersemangat ke arahnya dan mengajaknya masuk, hati kazura masih terasa sakit.
Kazura mengambil langkah-langkah kecil ke arah Rey. Semua pikirannya di penuhi dengan berbagai kejadian di masa lalu sementara ia memperhatikan Rey merokok di sana, tidak mengacuhkan semua perhatian murid-murid perempuan yang lewat. Helaian mahkota bunga sakura sesekali gugur dan terbang ke hadapan Kazura, membuat sosok yang kini hanya terpaut beberapa langkah darinya itu terlihat lebih tidak nyata.
Rey menoleh ke arahnya, membuat tatapan mereka bertemu. Seperti pertama kali Kazura melihatnya, tatapan itu dingin dan sepi, berusaha mendorong semua orang menjauh dari dirinya. Namun, jika itu benar, mengapa apa yang Rey lakukan sekarang sama sekali bertentangan dengan tatapan itu?
Rey berjalan, mendekat. Ia menarik sesuatu ke luar dari kantong jaketnya, menyodorkannya sambil membuang muka.
Kazura tidak bisa menyembunyikan kekagetannya, bukan karena agenda siswanya yang sempat hilang kini muncul kembali di hadapannya. Ia kaget karena Rey mau merepotkan dirinya datang ke sini dan mengembalikan agenda itu kepadanya. Mengapa ia harus peduli? Itu hanya membuat Kazura bertambah berharap, berharap tatapan itu suatu hari akan berubah, dari dingin menjadi hangat.
"Terima kasih...," kata Kazura, suaranya hampir berubah menjadi bisikan. "Rey-nii..."
"Aku hanya kebetulan lewat saja, jadi..." Rey menjawab dengan cepat. "Kau menjatuhkannya dua hari yang lalu di Moonlight."
Untuk sekian lama, Kazura tidak mengatakan apa-apa... ia tidak ingin mengatakan sesuatu yang membuat Rey pergi. Ia terbatuk-batuk, mulai bereaksi karena asap rokok Rey.
Kazura menunggu . jika tidak mau ambil pusing ia hanya perlu menjauh dan melanjutkan merokok, pergi kembali ke tempat dari mana ia datang. Tapi, jika ia...
Rey mencabut rokok di bibirnya, melemparnya ke bawah, menginjaknya.
...jika ia mematikan rokoknya, berarti ia...
"Apa yang kau pelototi?"
Kazura tersentak. T angannya mendekap kantong bekalnya lebih erat ke dada, Rey yang balas menatapnya keras membuat Kazura berkata, "Rey-nii..."
"Berhenti memanggilku Rey-nii." Rey mengernyit kan alisnya. "Aku bukan kakak mu."
Kazura tersentak lagi. Ini bukan reaksi yang Rey inginkan. Ia ingin sekali berkata sesuatu, membuatnya nyaman berada di samping Kazura. Namun, tidak ada kata-kata yang bisa keluar dari tenggorokannya.
"Hei, beri tahu aku." Rey membuat Kazura terkejut lagi dengan memecahkan keheningan itu tiba-tiba. "Apa kau begini karena berpikir aku adalah kakak tirimu?"