Ia berada di sebuah rumah pria baru sekarang ia sadar benar akan hal itu. Rumahnya selalu rapi dan bersih walau pun dengan keberadaan Kenzo. Malah sebenarnya Kenzo lah yang berperan menciptakan kebersihan dan kerapian itu. Namun, segalanya sama sekali berbeda di sini.
Bau rokok yang menyesakkan dadanya tercium di udara. Beberapa botol minuman yang Kazura belum pernah lihat sebelumnya tergeletak di atas meja makan, gelas kecil yang masih terisi seperempat nya ada di sampingnya, hampir terbenam di antara puntung-puntung rokok.
"Kau merokok dan minum alkohol?" Kazura berbisik tidak percaya. "... Saat sakit?"
Rey hanya mengucek matanya, lalu duduk di ranjang. Kenyataan bahwa apartemen itu begitu kecil sehingga kamar tidur, dapur, dan meja makan dengan dua kursi berada di satu ruangan yang sama membuat jantung Kazura berdegup sedikit lebih cepat. Satu-satunya ruangan lain adalah toilet, Kazura bahkan menemukan sebuah balkon di sana.
Kaki Kazura tersangkut kemeja hitam Rey. Di ujung-ujung ruangan juga sepatu-sepatu yang tidak ada pasangannya, kotak gel rambut yang isinya sudah kosong. Hanya kardus dan pasir tempat si kucing yang terlihat terawat.
Kucing itu mengeong lagi, menyadarkan Kazura bahwa ia masih berada di kamar kakak tirinya, bukan sebuah bangkai kapal perang. Rey tampaknya menangkap kekagetan dan keterpanaan Kazura, berkata sambil lalu sebelum melemparkan kepala ke atas bantal, "Kau mau memberiku bekal? Taruh saja, lalu pergilah."
Kazura menatap Rey yang tidak bergerak. Dadanya yang kembang kempis teratur membuat Kazura tahu Rey hanya tertidur. Wajah Rey merah dan pucat pada saat bersamaan, membuat Kazura hampir tidak tahan untuk melihatnya.
Hal yang pertama kali Kazura lakukan adalah membuka jendela, agar ia dan ruangan itu dapat mendapatkan udara bersih. Kemudian, ia membuka lemari Rey, berniat mencari handuk kecil, tetapi isinya yang berantakan berhamburan keluar. Rey tampaknya tidak hanya menyimpan pakaian di dalam lemarinya. Di antara gunungan baju-baju juga ada sebuah kardus berisi kertas-kertas resep kue, kotak-kotak yang masih tersegel rapi, bahkan sebuah pulpen dan sisir.
Di antara keterpanaannya, Kazura berusaha untuk tetap fokus, tangannya menggali hingga ia menyentuh kain bertekstur, menariknya ke luar dan lega karena menemukan sebuah handuk tangan kecil.
Bersamaan dengan dirinya menyiapkan air dingin dan mengompres dahi Rey dengan handuk itu. Kazura sedikit takjub ada orang yang bahkan lebih... memerlukan bantuan dari pada dirinya. Lebih kekanakan dari dirinya. Atau mungkin hanya murni lebih jorok.
Setengah sadar, tangan Rey yang membara menyentuh jemari yang merawatnya. Dari jarak sedekat ini, Kazura masih merasa tidak ada hal yang mirip antara ia dan Rey. Mata mereka.. hidung mereka... mungkin Karena Kazura menerima segala inci fisik dari ibunya sedangkan Rey dari ayahnya. Rey mirip sekali dengan Izumi Yashuhiro yang Kazura lihat di foto plus rambut pirang, anting-anting, dan bau rokok yang amat sangat tajam.
"...Misaki," bisik Rey dalam igauannya, "Ibu..."
Detik itu pula, Kazura tahu apa yang takdir haruskan untuk ia lakukan. Ia harus mengurusnya. Ia akan mendampinginya hingga sembuh. Rey adalah kakaknya. Maka Kazura pun bangkit, membetulkan letak selimut Rey. Ia melihat berkeliling. Masih terlalu banyak yang harus ia lakukan untuk membuat tempat ini menjadi layak tinggal.
Rey bermimpi. Ia merasakan jemari dingin di dahinya, tapi mungkin itu juga bagian dari mimpi. Ia membuka pintu dan melihat gadis itu di ambang pintu, membawakan bekal, tetapi sepertinya itu juga mimpi. Rey berusaha untuk menghafal nama-nama cocktail dan bahan-bahannya, agar ia tetap menjadi dirinya sendiri.
Kamikaze, Blue Lagoon, Margarita...
"Rey-kun ingin jadi apa ketika besar nanti?" tanya suara wanita itu lembut. Dua pasang mata memperhatikan Rey, menunggu Rey menjawab dengan penuh keingintahuan. Misaki dan ayahnya duduk berdampingan, keduanya penasaran.
Rey mengernyit. ia tidak ingin mengingatnya. Fokus..., Bloody Mary, Cosmopolitan, Screwdriver...
"Aku ingin jadi seorang koki!" Rey bisa mendengar suaranya sendiri, suara yang masih tinggi dan kekanakan "Aku ingin membuat kue seenak Misaki-san!"
Rey tidak bisa melawannya, semuanya kembali lagi. Rey mendengar ayahnya menasihatinya, "Rey kau benar-benar ingin menjadi koki, kau harus berlatih bersama ibumu ini setiap hari! Kau akan jadi jago dalam waktu singkat."
"Ibu?"
"Misaki akan menjadi ibumu dua bulan lagi, Rey." Ayahnya berkata, menjelaskan. "Kau bisa memanggilnya ibu."
Misaki tersenyum malu-malu mendengar ucapan Izumi Yashuhiro. Ia merapikan terusannya, meneguk teh di hadapannya seakan itu bisa menenangkannya. Kemudian, ia mengambil beberapa potong kue dari atas piring di meja makan itu. Rey mengikuti gerakannya. Rey suka mengikuti semua gerakannya.
"Yashuhiro, aku bisa mengerti jika Rey-kun tidak ingin terlalu terburu-buru." Misaki berkata, "Jika Rey-kun tidak nyaman, ia tidak perlu memanggilku seperti itu."
"Apa kau malu? Lagi pula, bukan kahh kau akan segera memindahkan barang-barangmu setelah pulang dari Nara?" Yashuhiro menjawab, tertawa kecil. "Aku sudah tidak sabar untuk memiliki mu di rumah ini. Segalanya akan menjadi menyenangkan dengan sentuhan mu."
"Maafkan aku tidak bisa mengajakmu atau Rey-kun." Misaki tersenyum tipis. "Tapi hanya dua minggu lalu aku akan segera kembali. Aku benar-benar tidak bisa menolak kebaikan hati Eiji-san dan keluarganya yang mengajakku berlibur ke rumah baru mereka di sana..."
"Tentu saja." Yashuhiro berkata, walau pun ada sedikit ketidakrelaan dalam suaranya. "Kau harus menikmati liburan ini. Zaemo-san jarang memberimu cuti libur, bukan? Aku akan mengurus pernikahan kita selama kau pergi... maaf ayahku tidak bisa datang dari Bali. Ia masih kesal akan penolakan ku meneruskan restorannya di sana,"
"Apa tidak apa-apa? Kita bisa mengunjunginya setelah kita menikah. Aku akan mencoba berkata pelan-pelan tentang keputusan kita untuk tinggal di Jepang. Jika uang kita mencukupi, kita bisa berbulan madu di sana. Tentu saja dengan Rey-kun."
Yashuhiro tertawa, "Ya, kita akan melakukan itu. Ayah pasti luluh jika kau yang menjelaskan. Bali indah, tapi tentu saja, aku akan pergi ke mana pun kau pergi. Jika Tokyo adalah pilihan mu, maka aku rela melepas semuanya yang ayahku berikan."
Mereka terus bercanda dan berkata-kata, bertukar harapan dan janji, Rey kecil duduk di antara mereka, kue stroberi di tangannya terasa lebih manis dari pada biasanya. Ia tidak pernah melihat rupa ibunya, tetapi kini ia akan mendapatkan seorang ibu baru.
"Ibu." Panggil Rey untuk pertama kalinya. Misaki berpaling, haru di dalam matanya, Rey tersenyum ceria. "Apakah kau akan membuatkan ku kue stroberi setiap harinya, setelah pindah kemari?"
Keceriaan itu begitu hangat pada perasaan Rey. Jenis perasaan yang tidak ingin ia lupakan selamanya. Hanya obrolan kecil, mungkin tidak berarti bagi sebagian orang, namun adalah hal yang besar baginya.
***