Chereads / Love at The End of Spring / Chapter 19 - Sembilan belas

Chapter 19 - Sembilan belas

Satu obrolan yang membuatnya berharap bahwa ia akan mendapatkan keluarga yang utuh untuk pertama kalinya, wanita yang ia sukai akan menjadi ibunya. Betapa ia senang akan hal itu.

Namun, tiba-tiba saja sekeliling Rey terasa berputar.... Dirinya di bawa ke memori yang berdekatan panggilan 'ibu' pertama kalinya itu. Apakah itu setengah tahun dari kejadian itu? Atau sudah setahun kemudian? Rey tidak ingat kapan, tetapi ia yakin segalanya terjadi setelah hidupnya berjungkir balik. Tiba-tiba saja, pernikahan di batalkan, kepindahan di langsungkan, dan ia tiba di antah berantah.

Dii hadapannya adalah tebing, sekeliling pandang terhampar laut. Angin menerpa wajahnya begitu keras, rasanya asin, tetapi Rey tidak menyukainya seperti ia biasanya menyukai pantai. Mengapa ia di bawa ke sini? Atmosfernya terasa menyesakkan... tunggu, ia tahu tempat ini. Ia amat tahu.

Hanya sesaat setelah Rey ingat apa yang akan terjadi, ia mendapati dirinya memandang jauh ke ujung tebing. Sosok ayahnya muncul entah dari mana, condong ke arah laut. Rey menjulurkan tangannya, berusaha lari sekencang mungkin ke arah ayahnya. Namun, seakan sekeliling di perlambat, tubuh ayahnya jatuh jauh sebelum Rey bisa meraihnya.

Rey tidak perlu melihat ke bawah dan mencari sisa-sisa kehidupan ayahnya. Suaranya ketika berteriak hampir tidak terdengar, hilang di telan kepiluan. Ia berlari ke depan untuk meraih udara, terjatuh tersandung batu kepalanya mengantuk tanah kasar di hadapannya sebuah batu runcing membuat tanda yang tidak bisa hilang pada alis kirinya, membuat kulit yang terkoyak karenanya mengeluarkan darah segar, menetes ke pipi Rey. Darah itu sejurus kemudian bercampur air mata, yang tidak hentinya mengalir turun.

Rey mendengar desiran air dari wastafel dapurnya. Ia terduduk di ranjang, sebuah handuk kecil jatuh ke pangkuannya. Keringat bercucuran dari dahinya, entah karena demamnya atau karena mimpinya. Tangannya yang mencoba menyeka keringat itu kini merasakan kulit kasar di alis kirinya. Hanya mimpi.

Rey mendesah, membiarkan jemarinya jatuh kembali ke atas selimut. Sekarang bahkan rumahnya sendiri tidak berbau seperti rumahnya lagi. Wanginya seperti campuran sabun dan beras.

Kucingnya. Pororo, melompat ke atas ranjang mendengkur di dalam pelukan Rey. Rey mengelusnya, tetapi segera menurunkannya lagi ke lantai karena merasa tidak nyaman. tubuhnya terlalu panas. ia menekan pelipisnya, untuk pertama kalinya sadar dia memang tidak mengigau. rumahnya memang tidak terlihat seperti miliknya.

Ia baru saja akan bertanya, 'Aku di mana?' ketika ia menangkap sosok gadis itu di dekat wastafel, mencuci mengakok-mangkok bekas Rey memakan indomie. Tiba-tiba saja segalanya terasa jelas. rey melihat berkeliling. Lemarinya bisa di tutup dengan sempurna tanpa harus ada barang entah apa yang menahannya. Lantainya bisa di pijak dengan leluasa tanpa harus khawatir ada kemeja yang akan terinjak. Untuk pertama kalinya dalam entah berapa lama, meja makannya yang mungil tidak di hiasai puntung-puntung rokok dan botol minuman keras.

Rey bangkit dan berjalan ke arah meja makan, melongok ke dalam mangkuk besar yang tersedia ia sana. Bubur. Rey tidak ingat ia punya persediaan beras. Jika ia pikir lebih lanjut, ia bahkan tidak ingat ia punya sapu dan pel. Untuk segalanya menjadi semengkilat ini adalah keajaiban.

"Kau sudah bangun?" Rey mendongak ketika mendengar pertanyaan itu di lontarkan. Gadis itu bergerak ke arahnya, wajahnya jelas-jelas gembira. Tangannya masih terasa dingin ketika menempel pada dahi Rey, tetapi Rey tidak membencinya. Gadis itu mendesah lega, menyodorkan mangkuk yang lebih kecil dan sendok ke hadapan Rey. "Untunglah, sudah turun. Jika kau sudah selesai, makanlah obat ini, aku membelinya tadi di teserba bersama dengan nasi dan peralatan rumah. Aku tidak percaya kau tidak punya sapu atau pel."

Rey hanya terpaku. Di saat seperti ini, ia tahu harus menunjukkan rasa terima kasihnya, tetapi entah mengapa yang keluar dari mulutnya hanya, "Siapa nama mu?"

"Kazura." Gadis itu menjawab, cemberut, jelas-jelas sakit hati. "Bagaimana kau busa melupakan nama ku?"

"Bagaimana aku bisa mengingatnya ketika segalanya begini t iba-tiba?" Rey berkata, mengacak rambutnya. Rey berusaha menghentikan degupan di hatinya dengan mencicip bubur polos yang di sediakan Kazura. Lagi-lagi kalimat yang tidak ia inginkan entah mengatap keluar dari mulutnya, "Ini tidak enak."

"Aku telah menjagamu hingga larut seperti ini, membersihkan rumahmu, membuatkan mu bubur.. apa hanya itu yang bisa kau katakan?" Kazura berkata, setengah merengek. "Kau kejam."

Untuk pertama kalinya, Rey berhenti dan memperhatikan Kazura, walau tangannya terus menyendokkan bubur ke dalam mulutnya. Kazura memperhatikan di setiap sendoknya tersenyum puas sambil membisikkan 'selamat makan' sekaan mengingatkan Rey untuk mengatakannya, bagai sedang mengajari anak kecil.

Wajah itu adalah wajah yang ingin sekali Rey lihat, tetapi entah mengapa ia selalu membuang muka ketika tatapan mereka bertemu. Mungkin karena wajahnya adalah jenis wajah yang ingin Rey buang jauh-jauh dari hidupnya. Wajah yang mengingatkannya dengan sakitnya di khianati.

Namun ia juga tidak bisa menyangkal betapa lembutnya wajah itu. Memorinya tentang wajah Misaki telah perlahan-lahan menghilang, kini seakan telah di segarkan kembali. Milik Kazura lebih ceria dari pada milik Misaki, lebih kekanakan, lebih polos. Matanya sedikit lebih besar dan bibirnya sedikit lebih tipis.

Dalam hati Rey semakin mengerti mengapa ayahnya dulu begitu jatuh hati kepada Uzuki Misaki. Jika Rey tidak berhati-hati, maka ia akan berakhir seperti ayahnya menjadi pria hancur yang tidak bisa berdiri lagi setelah Misaki pergi.

"Melakukan semua ini hingga selarut ini... Apa ada hal yang kau inginkan dari ku?"

Kazura menatap Rey, jelas-jelas tidak menyangka akan di todong dengan pertanyaan semacam itu.

"Aku mendengarmu, ketika kau panas tinggi dan mengigau... kau memanggil nama ibuku, menyebutnya sebagai 'ibu'." Kazura berkata. "Kau benar-benar kakak ku... bukan?"

"Bukan."

Jawaban Rey itu pendek. Tanpa embel-embel. Rey berharap itu akan membuat Kazura bangkit, lalu lari keluar sambil menangis, atau apa pun itu. Jika menyakiti hatinya bisa membuatnya menjauh dari Rey, maka itu akan ia lakukan.

Kazura memang berkaca-kaca. Genangan air mata di ujung matanya dapat Rey lihat dengan jelas dari jarak sedekat ini. Ujung hidungnya memerah seiring perjuangannya yang berat dalam menahan tangis.

"Tapi setelah yang kau lakukan, aku merasa seperti orang brengsek jika tidak memberi apa yang kau inginkan. Katakan saja, lalu kau bisa pergi."

Walau membenci dirinya sendiri, Rey menawarkan hal itu. Bahkan, pada telinganya sendiri, kata-kata itu tidak terdengar natural. Kemerahan pada ujung hidung Kazura mengilang perlahan, tetapi ia agak tersedak ketika ia mencoba untuk menahan tangisnya.

"Apa kau benar-benar tidak menginginkan aku?"

"Aku benar-benar bukan kakak mu?"

"Lalu anak siapa aku? Ibuku hampir menikah dengan ayahmu sesaat sebelum aku di lahirkan. Apa mungkin ada penjelasan lain?"