Chereads / HARTA KARUN KEHIDUPAN / Chapter 9 - Perasaan yang Aneh

Chapter 9 - Perasaan yang Aneh

Mendapat dua tamu asing dalam satu hari, hal sederhana yang membuat Tristan tidak begitu suka. Namun dia tidak ingin ambil pusing karena hal itu tidak membawa pengaruh buruk untuknya.

Pak Beno masih menyita perhatiannya, sambil menatapi bungkusan kue jenis bolu manis kukus dengan kotak yang berukuran sedang yang tadi dibawa oleh pria yang mengaku teman lama alhamhum ayah itu, Tristan masih memikirkan siapa. dimana dan sejak kapan kiranya pria itu menjadi teman ayah.

Tasya dan Jine sedang duduk di teras depan. Keduanya memilih untuk bercakap sebelum Jine pulang.

Saat agak hening, tiba-tiba saja Tasya canggung. Cuplikan mengenai beberapa adegan romantis yang ia tonton sebelumnya terbayang dan seolah menyuruhnya untuk mempraktekkan hal itu sekarang.

Terlebih kalimat editor yang selalu diluar akal sehatnya. "Masukkan banyak adegan romantis kekinian dan perbanyak kontak fisik." Tasya sama sekali tidak berpikir kalau hal itu mudah baginya.

Masih dengan pikirannya sendiri, rupanya Tasya kembali memandangi Jine yang sedang sibuk dengan ponselnya. Lelaki muda baru sajà mendapat pesan dari Omnya yang meminta dijemput di sebuah rumah makan yang tidak jauh dari rumah mereka.

Omnya bilang dia meninggalkan mobil di bengkel dan ingin menikmati perjalanan malam dengan menaiki motor. Benar, Om yang masih berusia muda itu sudah sangat lama tidak berkeliling kota dengan menaiki motor.

Terakhir sejak dia kuliah dia sudah tidak lagi memiliki motor namun masih beberapa kali pernah mengendarainya bersama teman-teman.

Jine mehela napas panjang. Dia lalu kembali mengambil cemilan berupa kacang telur yang sejak tadi ia dan Tasya makan.

Pandangan Jine menangkap pandangan Tasya yang intens. Hal itu cukup membuat lelaki muda itu salah tingkah.

"Ada apa?" tanyanya.

Tasya menggeleng pelan, "Aku baru menyadari satu hal," ucap Tasya yang membuat Jine mengangkat kedua alisnya.

"Kamu tidak sekekanakan yang kupikirkan."

"Eh? Kenapa tiba-tiba?"

"Em lupakan."

Jine tersenyum. "Sudah kukatakan usiaku legal untuk banyak hal, bahkan untuk menjalin hubungan dan melakukannya."

"Melakukan ... apa?" kini giliran Tasya yang mengerutkan dahi.

"Menikah," ucap Jine dengan tawanya.

Tasya mendadak malas, dia mehela napas panjang dan mengalihkan pandangannya. Percakapan singkat yang tidak begitu menyenangkan. Tasya masih 'ribut' dengan perasaannya sendiri. Antara ingin berhenti dan ingin mencoba untuk menjalin hubungan yang lebih dalam dengan lelaki muda objek dari riset novelnya itu.

Jine sempat menyinggung tentang novel Tasya, perempuan itu hanya tersenyum dan berterimakasih.

Saat hendak pulang, Jine memeluk Tasya sebentar secara mendadak. Hal itu membuat Tasya mematung. Dia harus mengutuki dirinya sendiri yang tidak dapat mengendalikan diri dan menjadi bodoh untuk beberapa detik.

"Kurasa aku tidak dapat menemuimu untuk satu minggu kedepan, Papa dan Mama pulang, jadi ... aku akan menjadi anak baik untuk sementara waktu," ujar Jine sedikit cemberut.

"Fake?"

Jine mengerutkan dahi, tidak suka dengan kata yang diucapkan kekasihnya itu.

"Maka aku akan menemuimu. Agar dirimu yang sebenarnya terungkap," ucap Tasya menyeringai.

"Aww ... aku belum siap untuk mendengar ceramah dari orangtuaku. Apalagi jika kakek ikut campur. Ahh akan sangat repot."

Tasya mengangguk samar. Hal yang dapat ia simpulkan untuk sementara ini adalah, lelaki muda itu sedang menyembunyikan hubungannya dengan Tasya karena selain perbedaan usia, juga karena perbedaan status sosial.

"Baiklah. Maka aku akan sakit karena terlalu merindukanmu," ujar Tasya dengan mengedikkan bahu.

"Aku akan lebih sakit, percayalah." Jine menggenggam tangan Tasya erat. Ia lalu menyentuh wajah kekasihnya itu, namun baru sedetik jemarinya menyentuh, ia segera menarik kembali tangannya dan berpamitan pulang karena rupanya Tristan telah berdiri di depan pintu untuk mengawasi keduanya.

Tasya hanya tertawa kecil, kakaknya memang sebegitu tidak sukanya sama teman pria adik perempuannya.

Jine nyaris mengumpat karena sikap Tristan, tapi dia memilih untuk jaga jarak karena dari ukuran tubuh saja dia sudah kalah. Dia hanya tidak ingin menjadi korban penganiayaan hanya karena dia menjalin hbungan dengan Tasya.

Ponsel mahasiswa Hukum itu kembali berdering, nampaknya Omnya sudah sangat tidak sabar untuk dijemput.

Hanya sepuluh menit, Jine telah tiba di tempat Omnya itu berada. Dari parkiran, Jine dapat melihat Omnya itu berdiri bersama dengan perempuan berambut panjang, dia hanya menduga kalau perempuan itu adalah calon tante untuknya.

Sebuah mobil terparkir di depan kedua orang itu, lalu seorang pria dewasa nan kurus dengan pakaian rapi serba hitamnya keluar dan nampak menyapa kekasih Omnya.

Jine mendekati Omnya dengan berjalan kaki, dia cukup penasaran dengan sosok perempuan yang sama sekali belum pernah ia dengar kisahnya.

Lelaki dengan gaya rambut cepak yang masih bercakap itu tidak menyadari kehadiran keponakannya yang masih mengenakan helm dan menguping sedikit.

"Tuan Satrio meminta saya untuk membawa Nona ke Rumah Tuan Besar." Pria kurus yang diduga sebagai supir si perempuan rambut panjang, mengulang kalimatnya.

Perempuan itu hanya mengangguk malas, ia lalu bersedia untuk pulang segera.

Jine mengerutkan dahinya, dia merasa familiar dengan suara dari pak supir itu. Namun dia tidak begitu yakin dimana dia pernah mendengarnya. Dia hanya diam berdiri di belakang Omnya.

"Ah sialan, bocah! Apa yang kamu lakukan disini, mengejutkanku saja!" pria berambut cepak itu mengutuki keponakannya yang berdiri di belakangnya dan menatap polos.

"Kenapa terkejut begitu? Aku hanya ingin melihat calon Tante," ucap bocah itu seperti tanpa dosa.

"Calon Tante apanya! Dia itu putri semata wayang keluarga Adhitama. Kami baru saja selesai rapat dengan investor. Ayo pulang!" Yunan segera melonggarkan dasi hitamnya.

Jine cemberut, dia selalu saja mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari Om yang hanya selisih lima tahun itu. Keduanya sering kali berselisih dan bertengkar ringan seperti bocah dan kakaknya.

"Ehh kalau dia Adhitama ... apakah dia Dinara?" ucap Jine langsung terbelalak.

"Jen, dimana motormu!" teriak Yunan yang sudah terlebihdahulu tiba di parkiran.

Nit nit.

Sebuah motor matic nampak menyala kedua lampu depan dan belakang saat pemiliknya menekan tombol pada kunci.

Jine berjalan santai lalu memberikan satu helm pada Omnya.

Yunan sempat diam memandangi motor yang kini ada di depannya. Sangat familiar, dia bahkan mengingat nomor plat polisinya.

Detik berikutnya, Yunan menatap keponakannya itu dengan seksama. "Kamu pergi kemana saja hari ini?" tanyanya.

"Aku? Kuliah. Emm pergi bersama teman sebentar. Kenapa?"

"Teman? Apa dia perempuan?"

"Eh kenapa Om perlu tahu?"

Yunan segera mengerutkan dahinya. "Hey apa kamu lupa kalau aku adalah orangtuamu selama mas Redy di luar kota?! Aku perlu tahu semua apa yang kamu lakukan dan memastikan kalau kamu tidak melakukan hal aneh diluar sana dengan status mahasiswamu." Suara Yunan meninggi.

"Ah baiklah. Tapi aku sebenarnya tidak ingin punya orangtua sepertimu. Sangat bawel."

"Kamu tidak bisa menolak!"

Jine mengangguk malas. Dia lalu menaiki motor dan mempersilahkan Yunan naik.

"Jadi ... apa dia perempuan?" tanya Yunan lagi.

"Laki-laki," jawab Jine singkat dan segera menyalakan motor.

.

.

Bersambung.