Suara alarm nyaring memenuhi seluruh ruangan di dalam rumah yang berukuran sedang. Benar-benar nyaring, bahkan hingga membuat orang yang tidur di kamar yang berbeda harus menutup kedua telinga agar tidak terganggu karenanya.
Tasya menarik napas panjang, mencoba untuk menetralkan emosinya yang memuncak di pagi-pagi buta. Segera saja dia keluar kamar untuk menghampiri si pemilik posel beralarm super menyebalkan itu.
Musik mellow dengan lirik lagu yang tidak dimengerti oleh Tasya sungguh memusingkan. Alunan yang seharusnya menenangkan, justru membuat tidak nyaman.
"Kak!" teriak Tasya seraya membuka pintu kamar Trsitan.
"Ehh?" betapa terkejutnya perempuan itu saat mendapati kamar lelaki gondrong itu kosong. Tempat tidurnya telah dirapikan, ada satu kemeja yang tergeletak diatas kasur, hal itu membuat Tasya mengerutkan dahi.
"Apa-apaan ini? Dia membuat keributan tapi malah kabur?" gerutu Tasya. Segera saja dia mematikan alarm pada ponsel kakaknya yang berada di dekat kemeja.
Untuk beberapa detik, Tasya memandangi kemeja yang telah rapi dan wangi. Semakin bingung, Tasya menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi dengan kakaknya.
"Kamu ngapain di kamarku?" tanya Tristan yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuknya dan rambut panjang yang masih basah.
Pemandangan tidak biasa. Tasya kembali mengerutkan dahinya. "Kakak kenapa? Tidak biasanya jam sepagi ini sudah mandi," ujarnya.
"Hari ini adalah hari pertamaku masuk kerja. Aku tidak ingin terlambat," sahut Tristan masih sambil mengeringkan rambutnya.
"Eh? Diterima? Kok bisa?"
"Karena mereka tahu aku berbakat."
"Ah berbakat membuat orang sakit, ya? Kenapa kakak meninggalkan alarm yang sangat nyaring kalau sudah pergi mandi!?"
"Em aku lupa kalau memasang alarm, aku mendengarnya tapi aku sedang membasuh kepala. Jadi kuputuskan untuk kudiamkan saja," sahut Tristman.
Sebuah pekerjaan baru, sebuah tantangan baru untuk Tristan yang cukup lama menganggur. Tristan kali ini mengajak sang adik untuk ke kota, namun Tasya kembali menolak.
Sebelum berangkat kerja, Tristan kembali memperingatkan adiknya itu mengenai perasaan palsunya pada Jine.
"Jika aku memberitahunya kalau aku hanya sedang melakukan riset, maka itu tidak akan seru. Aku membutuhkan sampel yang nyata sehingga kisah yang kutulis akan benar-benar merasuk pada jiwa si pembaca."
Jawaban Tasya selalu menjelaskan, namun walau bagaimanapun hal itu sangat tidak baik, karena pada dasarnya itu adalah sebuah kebohongan.
"Kamu tidak takut dia benar-benar mencintaimu? Kamu tidak mencintainya, lalu apakah bersikap romantis itu tidak berlebihan?"
"Aku hanya mencoba mendalami peran, Kak. Percayalah, ini tidak akan berlarut. Aku akan menyelesaikan ini semua segera."
Tristan menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Rasaya tiada hari tanpa membahas hubungan adiknya dengan bocah mahasiswa yang cukup menggemaskan.
Tristan berangkat ke kota tanpa sebelumnya sarapan karena dia sangat antusias dan tidak ingin terlambat walau hanya sedetik. Sementara itu Tasya harus membuat sarapan sebelum dia kembali pergi ke kafe merah muda untuk melanjutkan pekerjaan.
Sedikit kurang beruntung, saat Tasya sedang hendak mengambil sebuah wadah untuk membuat adonan bakwan dilemari atas, kalungnya tersangkut di lemari tersebut dan membuatnya kesulitan.
Beberapa kali mencoba untuk melepaskanya, Tasya nyaris tercekik karena lehernya yang tertarik saat ia tidak lagi berjinjit.
Terpaksa harus ditarik paksa, hal itu membuat kalungnya putus dan liontinnya terpental jauh ke lantai.
"Argh!" hanya memgangi bagian lehernya yang sedikit lecet, Tasya mengabaikan wadah yang belum sempat ia ambil.
Detik berikutnya ia segera mengambil liontinnya yang rupanya pecah. Tasya menarik napas panjang karenanya.
Sebuah retakan cukup besar pada liontin itu membuatnya penasaran, saat ia mencoba untuk membukanya, sebuah fakta mengejutkannya hingga ia terduduk lemas.
.
.
Sementara itu, di perusahaan Ottogile, lima teknisi baru telah datang dengan pakaian rapi dan berbaris untuk mendengarkan arahan dari ketua bengkel.
Tristan cukup menonjol dari semuanya, dia yang menjadi satu-satunya pria berambut panjang sempat beberapa kali dikira perempuan oleh karyawan lainnya. Hanya saja, tubuh besar dan bidangnya itu tidak dapat dipungkiri kalau Tristan memanglah lelaki.
Seorang lelaki muda berpakaian rapi serba biru memasuki wilayah bengkel dengan didampingi oleh seorang karyawan bagian personalia dan juga manager teknik yang kali ini tidak nampak ceria.
Saat Hendra, kepala bengkel, memperkenalkan Direktur baru di kantornya, segera saja semua teknisi baru menatap sosok pimpinan yang baru saja tiba.
Masih sangat muda, tampan dan berwibawa. Namun sosok Direktur muda itu tidak membuat Tristan merasa nyaman. Terlebih saat keduanya saling bertatap dan Direktur muda itu menyunggingkan senyumnya.
"Selamat pagi. Mulai hari ini hingga beberapa minggu kedepan kalian akan bekerja dibawah pengawasan saya secara langsung. Kalian diwajibkan untuk melakukan yang terbaik dan menyetujui semua peratuan yang ada. Jika ada yang keberatan dengan semua itu, bisa angkat tangan sekarang." Suara lelaki berpakaian biru terdengar jelas oleh para teknisi baru.
"Dilarang berkelahi, dilarang berkata kasar, dilarang membawa masalah pribadi ke tempat kerja. Apa kalian mengerti?'
"Mengerti, Pak!" semuanya berteriak nyaring, kecuali Tristan yang sejak beberapa detik lalu ia telah mengepalkan kedua tangannya.
"Lama tidak bertemu, Tristan." Sapa Yunan sebagai Direktur Muda dengan ramah. Lelaki berambut cepak itu kembali menyunggingkan senyum sebelum akhirnya dia kembali ke perannya yang harus menjaga sikap tenang dan berwibawanya.
Perasaan menyesal tiba-tiba merambati tubuh Tristan. Namun dia sangat membutuhkan penghasilan untuk saat ini, sangat banyak dana yang dia perlukan untuk segala sesuatunya.
Sosok Yunan yang tidak pernah ia bayangkan akan bertemu seperti ini, membuatnya harus menjadi sosok yang benar-benar professional, tidak melibatkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan.
Bukan hanya kejutan tentang hal itu, Tristan juga mendapat kejutan dari tamu yang datang menyapa Yunan.
Hanya dari kejauhan, namun cukup jelas dapat lelaki gondrong itu lihat dan dengar. Seorang perempuan berambut panjang dengan mengenakan pakaian resmi serba ungu meghampiri Yunan dan berbincang.
Mereka sebelumnya juga sedikit berbincang dengan Hendra, namun hanya sebentar lalu kembali hanya berbincang berdua.
Adhitama Group, Dinara.
Dua kata yang terdengar dan membuat Tristan teringat akan kisah dari Tasya kemarin.
Jika diamati, perempuan itu memang sangat berkelas, jelas kalau dia adalah putri seorang konglomerat.
Namun Tristan segera menggelengkan kepalanya, dia menepis pikiran yang sempat memikirkan 'mungkin' kisah dari Bik Rus itu benar.
"Ayahku ulang tahun lusa. Aku ingin memberikannya kado, dan kuharap pula beliau dapat segera sadar," ucap Dinara pada Yunan.
Pendengaran Tristan kembali menangkap kalimat itu. "Argh sial. Kenapa aku jadi memikirkan kisah dari Tasya. Tapi ini terdengar sangat mungkin, hanya saja … bagaimana bisa?" gumamnya.
Ia yang sedang dihadapkan dengan sebuah mobil dengan kerusakan parah, hanya mampu mendengkus karena pikirannya yang tidak dapat fokus.
Telinganya masih saja mendengarkan percakapan yang tidak jauh di belakangnya.
Detik berikutnya, dia mendengar ponselnya bordering. Segera diambil dan diintip olehnya pesan dari sang adik.
"Kakak tahu tentang hal ini?" tulis Tasya dalam pesannya. Adik perempuannya itu mengirimkan foto liontin yang pecah dan terbelah yang menampakkan foto dua orang asing di dalamnya.
.
.
Bersambung.