Chereads / HARTA KARUN KEHIDUPAN / Chapter 14 - Makan Malam Jine

Chapter 14 - Makan Malam Jine

Jine tiba di rumahnya saat Papa dan Mama sedang duduk santai di halaman belakang seraya menunggu pelayan menyiapkan makan malam.

Masih dengan penampilan yang belum mandi, lelaki muda berkucir itu segera menghampiri dan memeluk kedua orangtuanya yang sudah lama tidak ia temui.

"Aaa Mama. Aku rinduuuu," rengeknya manja seraya memeluk dan menempelkan kepalanya pada bahu bundanya.

Mama mengusap pelan kepala putra semata wayangnya itu. Namun tidak dengan Papa yang justru menepuk cukup keras bahunya hingga Jine mengaduh.

Terlalu disibukkan dengan urusan bisnis sejak belia, pasangan itu tidak memiliki keturunan selain Jine alias Jejen sehingga membuat anak semata wayangnya itu tumbuh menjadi pribadi yang sangat mandiri namun cukup manja kepada kedua orangtuanya.

"Papa dengar kamu sekarang rajin masuk kuliah, Jen. Tapi nilaimu tidak ada kenaikan sejak awal. Apakah ada kendala?" tanya Papa yang perhatiannya kembali terarah pada tabletnya.

Pria berkacamata itu masih mengurus sedikit pekerjaan yang baru ia tinggalkan. Sudah tidak heran lagi bagi Jine jika dia harus berbincang dengan sang ayah yang bisa dikatakan jarang menatapnya. Dia hanya mengagumi kalau ayahnya itu cerdas karena dapat menyelesaikan banyak hal dalam sekali waktu.

"Ah itu karena aku konsisten, Pa. Jika aku adalah anak yang standar di awal lalu menjadi sangat cerdas menjelang kelulusan, maka itu akan aneh, bukan?" jawab Barry yang masih duduk dengan bersandar manja pada bundanya.

"Kamu tidak memiliki jawaban lain?" tanya Ben.

"Emm gimana?" Barry mengerutkan dahinya.

Papa menarik napas panjang, dia lalu melepas kacamata dan menatap putranya lekat. Kedua manik mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat. Sangat mirip, Papa juga harus mengakui kalau penampilan fisik dan sebagian sifat anaknya itu diwarisi dari dirinya.

"Kamu juga menggunakan jawaban itu tahun lalu. Apa kamu tidak memiliki yang lain yang lebih baru?" tanya Papa lagi.

"Ohh itu … ya karena memang itu alasannya. Lagipula Papa juga menanyakan pertanyaan yang sama," ujar Jine yang segera mengubah posisi duduk dan menggaruk kepalanya.

Mama tertawa karena putranya itu, memang selalu membuatnya menggelengkan kepala.

"Ah kamu ini tidak pandai berbohong rupanya. Apa kamu lupa kalau ayah memiliki ingatan yang sangat bagus dan ketelitian yang tidak dapat ditandingi?"

"Kamu seharusnya mengakui saja kalau kamu terlalu banyak menghabiskan waktu untuk berpacaran dan tidak fokus kuliah," imbuh Mama.

"Ahh tidak begitu, Ma. Kami bahkan hanya bertemu seminggu sekali saat libur," ujar Jine segera menatap bundanya.

Mendadak suasana hening.

Ah sial. Jine segera mengatupkan kedua bibirnya, dia mengutuki dirinya yang dengan mudahnya keceplosan mengenai hal yang belum ingin dia bahas.

"Kamu memiliki pacar?" Papa tertarik dengan kalimat Jine barusan.

"Ah apa aku ada berkata begitu? Tidak. Aku hanya menyambung kalimat Mama yang selalu saja menyudutkanku seolah aku benar-benar berpacaran. Padahal aku tidak mungkin melakukan itu, 'kan?" Jine memandangi kedua orang tuanya, manik mata mereka saling bertemu dalam waktu cukup lama.

"Yunan memberitahuku tentang kamu yang berboncengan dengan seorang gadis beberapa waktu lalu," ujar Papa. "Apa kamu bisa menjelaskannya?"

"Tentu, dia temanku. Ah ayolaahh kenapa aku seperti di siding seperti ini? Aku tidak melakukan kejahatan hanya dengan berteman seorang gadis, 'kan?" Jine meninggikan suaranya. Dia sudah semakin kesal karena selalu saja topic ini yang menjadi pembahsan tiap kali kedua roangtuanya pulang.

Suasana masih belum nyaman.

Belum sempat Jine kembali berbicara, dua orang tamu telah datang dan membuat mereka menghentikan percakapan segera.

Kakeknya yang merupakan Pemilik Greensoft Property, bersama dengan Om Yunan Baskara datang karena memang diundang oleh Papa dan Mama untuk makan malam hari ini.

Jine tidak begitu antusias dengan kedatangan kakek dan Omnya itu, tidak begitu istimewa karena mereka sering bertemu walau hanya sebentar-sebentar.

"Hey, kamu masih belum mandi rupanya. Pergi kemana saja bersama kekasihmu tadi? Apa itu menyenangkan?" celetuk Yunan menggoda keponakannya.

Jine berdecak. "Sangat menyenangkan," sahutnya.

Tidak berbasa-basi lagi dia segera berpamitan untuk mandi sebelum pelayan memanggil untuk makan malam.

Topik pembicaraan kali ini adalah tentang Yunan yang baru saja mendapatkan kursi di perusahaan yang diakuisisi oleh Greensoft Property, yaitu Ottogile.

Yunan bercerita mengenai perubahan kecil yang mulai dia lakukan di tempat kerjanya yang baru karena sebelumnya tempat itu cukup kacau di tangan Direktur yang salah. Mereka juga banyak membahas tentang bisnis yang diurus oleh David dan Laura (Orangtua Jine) di Findlandia.

Menarik. Jine menyimak dengan seksama dan sesekali ia Nampak mengangguk.

Gerakan tubuh bocah berkucir itu menarik perhatian Yunan hingga membuatnya iseng untuk bertanya.

"Kamu memahami permbicaraan kami?" tanyanya pada Jine yang sedang mengunyah makanan.

"Emm, dalam proses," sahut Jine singkat. Dia sama sekali tidak menampakkan wajah 'bingung'nya.

Yunan tertawa samar. "Jika kamu tertarik dengan bisnis, maka simaklah baik-baik. Kamu juga harus melek teknologi untuk dapat lebih memahami semuanya," tambah Yunan.

"Tidak perlu mengkhawatirkanku. Khawatirkan saja dirimu yang bisa saja kehilangan kursi jika aku sudah mamahami tentang bisnis," sahut Jine. Dia mengunyah dengan memicingkan matanya pada Yunan.

"Baiklah. Aku akan sangat menunggu waktu itu tiba," sahut Yunan yang juga menyuap makanan. "Tapi kukira kau akan menjadi seorang pengacara," imbuhnya.

"Ahh aku bisa saja menjadi pengacara dan pembisnis sekaligus," celetuknya.

Seketika membuat Yunan tertawa.

"Jangan bicara omong kosong. Beruntung Papa tidak memaksamu untuk berkuliah bisnis," sahut Papa yang berhasil membuat Jine diem. Dia mendnegkus, kesal sekali karena selalu merasa terpojok dalam pembahasan bisnis.

"Ah Jen, kau berkuliah di kampus Ungu, 'kan? Apakah sudah ada perubahan sejak DInara memegang kendalinya?" tanya Yunan. Semua orang menjadi tertarik dengan topic ini.

Jine terdiam sejenak, dia lalu berusaha untuk mengingat sosok wanita yang dimaksud oleh Omnya itu.

"Untukku, aku tidak merasakan perubahan apapun. Namun dari segi bangunan dan fasilitas, kurasa mereka sudah semakin lengkap dan menyetarai kampus ibu kota," jawabnya. "Kenapa? Kamu Om sedang memantau kinerja kekasihmu?" tanyanya balik.

Yunan nyaris tersedak mendengar pertanyaan dari bocah itu. "Kekasih apanya!" segera saja Yunan mengambil air minum.

"Aku hanya penasaran dengannya yang juga disibukkan dengan perusahaan milik keluarganya, namun dia juga sangat antusias untuk mengurus kampus. Kadang aku merasa kasihan karena dia terlalu lelah karena hal itu."

"Apakah dia putri Adhitama?" tanya Papa yang sedari tadi menyimak.

Om Yunan mengangguk.

"Apakah ayahnya sudah sadar? Dia mengurus semua pekerjaan ayahnya sekarang?" sambung kakek yang juga tertarik.

"Dia bilang Om Satrio yang membimbingnya. Saying sekali ayahnya masih belum bangun hingga sekarang," jawab Yunan.

"Emm begitukah … dia sangat gila bekerja kalau begitu. Sangat mirip dengan ayahnya," imbuh Papa.

"Jadi … apakah keluarga kita dengan keluarga mereka sedekat itu? Papa mengenal Pak Adhitama? Begitupun dengan Om Yunan yang berkencan dengan putrinya? Jadi bisakah aku studi kasus di perusahaan mereka untuk tugas kuliahku? Aku tidak mengenal mereka jadi, aku ingin meminta bantuan."

.

.

.

Bersambung.

***