Di sebuah rumah mewah di salah satu kawasan perumahan elit di kota, seorang pria tua sedang duduk di tempat tidur sambil memakan potongan buah apel yang disuap oleh anak bungsunya.
Sesekali pria tua itu terbatuk karena penyakit tuanya.
Sang anak laki-laki memberikan air mineral apsa ayahnya, dia jelas sangat menyayangi pria yang berambut perak itu.
"Kamu sudah menemukan anak itu?" tanya pria tua dengan suara seraknya.
Sang anak mengangguk. "Rupanya kedua orangtua angkatnya telah meninggal dan hanya hidup bersama kakak laki-lakinya."
"Apa dia keluarga yang mampu?"
"Kurasa tidak. Beberapa tahun belakangan kehidupan keduanya cukup memprihatinkan namun masih berlangsung baik."
"Hmm ...." pria tua itu mengangguk pelan sambil mengunyah.
"Berikan aku anggur," ucap kakek itu.
"Ayah lupa peringatan dari dokter? Usiamu, keadaan kesehatanmu ...,"
"Ahh bawel sekali kamu, Satrio. Aku minta buah anggur. Bukan Anggur Merah aka Wine," omel kakek tua sambil terbatuk
Putra bungsunya hanya menyeringai dan segera mengambil buah yang diinginkan sang ayah.
"Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya pada Dinara?" tanya kakek lagi.
"Aku harus menemukan kunci brankas Mas Harry. Setelahnya aku bisa membiarkannya pergi tanpa membawa apapun."
"Untuk Adhitama Group? Apa kamu sudah menentukan langkah?"
"Ahh ... itu ...." Belum sempat Satrio memberikan tanggapan, pintu kamar telah diketuk oleh seorang pelayan yang segera masuk bersama dengan seorang perempuan muda yang sempat menjadi bahan pembicaraan.
"Selamat malam, Kakek ...." Dinara menghampiri pria tua yang seketika tersenyum lebar melihat kehadiran cucu tunggalnya itu.
"Hai cucu kakek yang paling cantik. Kamu terlambat, Sayang. Kakek sudah makan malam bersama Om kamu yang sangat bawel ini," ucap pria tua yang masih duduk dan disuap buah.
Dinara tertawa kecil. Sementara Satrio hanya mendengkus dan menahan omelannya yang kesal karena disebut bawel oleh ayahnya.
"Bagaimana pekerjaanmu? Kamu terlihat sangat sibuk belakangan ini?" Tanya Kakek. Dia mempersilahkan DInara untuk duduk dan memijat pelan lengan tuanya.
"Sangat sibuk namun juga sangat baik, Kek. Om Satrio memberiku banyak dukungan dan bantuan. Beruntung Yunan juga sangat tidak pelit ilmu."
"Ah mengenai Yunan. Kurasa dia memang lelaki yang baik dan sangat berbakat. Apa kamu menyukainya?" tanya Kakek lagi.
Dinara belum sempat menjawab namun Satrio sudah menyela terlebihdulu. "Ah apa ayah tidak melihat api asmara yang terpancar dimata gadis ini," sahutnya.
"Jangan berlebihan, Om. Kami hanya rekan," ujar Dinara.
"Emm kuharap begitu. Tapi semua orang membicarakan kedekatan kalian yang tidak terlihat sebagai 'hanya rekan'. Kalaupun itu benar, aku mendukung. Hanya saja ... kamu akan menjadi lebih sibuk karena selain mengurus pekerjaan juga harus mengurus banyaknya mata dan berita yang menyorotimu."
Dinara tertawa. "Wah sejak kapan Om Satrio mempedulikan omongan orang," tawa Dinara polos sekali.
Perbincangan mereka mulai meluas hingga membahas mengenai perkembangan program kampus dan kerjasama Adhitama Group dengan Greensoft Property.
"Aku ada memikirkan suatu hal, Dinara. Sesuatu yang kuyakini akan membantu dan membuat kinerjamu semakin baik," ucap Satrio serius. "Kamu harus memegang kampus ungu sepenuhnya dan menjadi lebih focus dengan pembangunannya, baik secara infrastruktur maupun sumber daya manusianya."
"Tapi aku tidak bisa naik begitu saja menjadi kepala pimpinan kampus, bukan?"
"Siapa bilang? Apa kamu lupa kalau kamu adalah putri tunggal pemiliknya? Harry Adhitama?" sahut kakek menyela.
"Tapi kukira aku hanya memiliki jabatan tinggi di kantor utama. Kampus adalah bentuk kerjasama, 'kan?" ujar Dinara lagi.
"Aku akan mengurusnya untukmu jika kamu mau," sahut Satrio kemudian.
DInara seketika mehela napas panjang. "Lalu apa yang akan terjadi selanjutnya? Apa aku akan menjadi direktur kampus ungu? Dengan begitu, apakah itu artinya aku menjabat dua jabatan yang sama di dua kantor? Aku tidak yakin akan sanggup, Om. Kampus sedang membutuhkanku sepenuhnya, sementara kantor juga membutuhkanku untuk mengurus keuangan serta pemasaran."
Hening beberapa detik.
"Aku akan memegang Adhitama Group untukmu. Lagipula, aku memiliki kemampuan dari ayahmu yang diturunkan oleh kakek kami. Semuanya akan berjalan dengan baik." Suara Satrio sama sekali tidak terdengar bercanda. Dia bahkan yang biasa menatap Dinara lembut, kini menatapnya tajam.
"Seperti yang kamu inginkan, kamu bisa fokus dengan kampus untuk sementara waktu. Bukankah selama beberapa waktu terakhir, aku yang mengurus pekerjaan ayahmu? Hanya saja, sekarang aku perlu mempelajari pekerjaanmu juga," ujar Satrio lagi.
"Om Satrio akan sangat sibuk," ucap Dinara.
Satrio menelan ludahnya, sempat ia lirih sang ayah. Dia ingin mengatakan sesuatu yang terasa mengganjal di lidahnya, namun dia masih harus menahan diri dan memainkan peran dengan baik.
"Adhitama Group adalah tim kuat. Namun tidak dengan kampus ungu yang sering mengalami perubahan struktural karena system yang kurang bagus. Sekarang setelah kamu ikut bergabung lalu menjalin kerja sama dengan Greensoft Property, kampus itu semakin bagus sistem di dalamnya. Jadi … apa kamu masih mengkhawatirkanku?"
"Tidak," jawab Dinara cepat. "Om Satrio kalau sedang bicara panjang seperti ini sangat mirip dengan ayah. Aku seketika merindukannya karena kalian nampak sama. Terimakasih, Om." Dinara menatap Omnya lekat.
"Kukira aku belum melakukan apapun," ucap Satrio dengana tawa kecilnya.
Dinara kembali berbincang dengan Kakek mengenai buah dan bubur untuk sejenak.
Pandangan Satrio tertuju pada leher keponakannya yang tidak lagi mengenakan kalung masa kecilnya.
"Dinara, apa kamu ingat dimana menyimpan liontinmu?" tanya Satrio.
"Oh itu Bik Rus, Om. Setelah itu putus saat aku bermain dan Om memberiku kalung ini, aku tidak lagi mempedulikannya." Perempuan muda itu menyentuh kalung berlian pemberian Om Satrio kala ia berusia tujuh belas.
"Kamu pernah membuka liontin itu? Kurasa itu benda langka, jadi aku berpikir kalau mungkin bisa diperbaiki lalu kita museumkan."
"Om Satrio bercanda?" Dinara kembali tertawa. "Itu berisi foto lama ayah dan ibu, namun sudah kuambil dan kusimpan di lemari. Kalung itu sekarang tidak lebih dari stainless yang sudah layak disimpan. Tidak perlu di museumkan, haha. Terlalu berlebihan."
Om Satrio menyeringai seraya tertawa kecil. Sudut matanya menangkap tatapan tajam dari sang ayah yang mempertanyakan sikapnya barusan.
Tidak pernah sebelumnya Satrio mempedulikan tentang penampilan keponakannya, namun kali ini sedikit aneh karena bertanya mengenai kalung yang telah bertahun-tahun tidak dikenakan oleh perempuan itu.
"Jadi, kamu menerima saran dariku, 'kan? Kamu harus fokus dengan kampus ungu untuk mewujudkan keinginanmu. Urusan kantor utama, percayakan saja pada Om Satrio. Setelah ayahmu kembali sadar, semuanya akan kujelaskan perlahan namun rinci mengenai semua kemajuan kita." Satrio meletakkan pisau yang baru ia gunakan untuk mengupas apel.
"Emm. Aku akan mengurus kampus." Dinara mengangguk. Nampak polos untuk beberapa saat, Satrio terus tersenyum dengan rasa puas dalam hatinya.
Ada sedikit rasa bebas dalam benaknya setelah mendengar kesediaan dari keponakannya itu.
.
.
Bersambung.