Sepuluh menit berlalu. Hasil tes darah sudah keluar. Laporannya menunjukkan jika Amanda sudah siap untuk melakukan transfusi darah dengan Pak Maliki, ayah kandungnya.
Betapa bahagianya mereka berdua memberi harapan yang baik. Tanpa menunggu waktu lagi, Amanda sudah tak sabar melakukan transfusi itu. Ia segera memasuki ruangan dimana ada Pak Maliki yang sudah berbaring di sebelahnya.
Melihat ayah kandung yang tidak pernah ia ketahui selama hidupnya, membuat Amanda menjadi sedih. Selama ini, ia mengharapkan kasih sayang dari seorang ayah. Saat kini sudah mendapatkan kesempatan mempunyai seorang ayah, mereka malah dipertemukan dengan cara yang tidak membahagiakan.
"Mbak, jangan tegang dan jaga mood, ya. Tidak boleh sedih, nanti yang ada Mbak-nya nggak bisa donor, loh!" tutur salah satu perawat yang ada di sana.
Akhirnya selesai, Amanda merasa lega sudah memberikan hal yang terbaik untuk Ayahnya. Ia keluar dan duduk di sebelah Nia yang sudah menunggunya. Masih harus menunggu hasil dari Dokter dan menunggu kesadaran dari Pak Maliki.
"Semoga saja Ayah segera sadar. Dia sangat merindukan dirimu, Manda," mata Nia berkaca-kaca kala menatap Amanda.
Amanda sendiri merasa malu karena ia tidak pernah mengenal siapa Ayah dan saudari kandungnya. Selama ini, Amanda tak pernah diberi tahu oleh Tamara tentang keluarga kandungnya.
Ia merasa tak enak hati kepada Ayah dan saudari kembarnya. Mulai saat itu, Amada akan berusaha keras agar bisa mengenal keluarga kandungnya.
Tak lama setelah melakukan transfusi darah, Pak Maliki akhirnya tersadar. Pria yang sudah patuh baya ini terus memanggil nama kedua putrinya. Nia sangat bahagia mendengar Ayahnya sudah sadar. Ia segera mengajak Amanda masuk ke ruang inap Pak Maliki.
Perlahan, Amanda melangkah. Air matanya mulai jatuh ketika melihat sosok pria paruh baya itu terbaring di tempat tidur. Pak Maliki belum tua sekali. Tapi, karena ia bekerja keras selama hidupnya, terlihat sekali wajahnya 10 tahun lebih tua dari usianya.
"Ayah … ternyata selama ini aku masih memiliki seorang ayah? Tapi aku sendiri malah tidak mengetahui itu. Putri macam apa aku ini?" batinnya sangat tersakiti.
Amanda hanya bisa melihat Pak Maliki dan Nia yang masih berpelukan dari pintu. Ia merasa malu karena tak mengenal siapa mereka. Sekilas, Pak Maliki melihat kehadiran Amanda di pintu.
Dengan suara paraunya, Pak Maliki memanggil Amanda. "Nak, kamu di sini juga?" tanyanya.
Amanda mendekat dengan langkah pelan. Ia masih tidak menyangka jika dirinya memiliki keluarga kandung. Air mata yang jarang keluar pun, hari itu mengalir deras di pipinya.
"Ayah, Manda lah yang mendonorkan darahnya ke Ayah. Darahku hanya memiliki kecocokan 40% denganmu, Yah …." jelas Nia dengan wajah menyesal.
"A-ayah …."
"…."
Amanda tak bisa berkata apapun, ia hanya bisa berlari dan memeluk Pak Maliki dengan erat. Batin mereka terhubung. Amanda tidak merasakan canggung sedikitpun dengan Pak Maliki, meski mereka belum pernah bertemu dan mengenal.
"Apa kabarmu, Nak?" tanya Pak Maliki menyentuh kedua pipi Amanda.
"Seperti yang Ayah lihat. Saya baik-baik saja, oh bukan saya. Tapi Manda sehat-sehat saja, Ayah." banjir air mata di pipi Amanda.
Nia sedikit tertawa karena tata bahasa Amanda yang masih baku. Namun, itu tidak membuat Nia dan Pak Maliki merasa bahwa Amanda orang lain. Tetap di kemudian hari, Nia akan mengajarkan bahasa yang baik dan benar kepada Amanda.
Banyak yang mereka bicarakan. Amanda juga berjanji akan menemani mereka sampai Pak Maliki sehat. Tamara juga sudah menyiapkan semua berkas pemindahan sekolah Amanda ke sekolah yang sama dengan Nia.
Mereka akan sekolah jadi satu, mengingat hubungan mereka sebelumnya tidak pernah akrab, Amanda tidak keberatan jika sekolah di sekolahan swasta.
Tiba-tiba, dengan grusa-grusu Endin masuk memberikan kabar jika Nia harus ke sekolah sekarang juga. Sebab, guru bahasa Inggris memintanya untuk mengumpulkan tugas.
Diketahui, meski Nia sangat pandai tentang agama, ia susah untuk belajar bahasa Inggris. Nilai bahasa Inggrisnya sangat lemah, itu kenapa guru bahasa Inggris selalu memberinya hukuman.
"Heh, kamu tidak bisa pelajaran bahasa Inggris?" tanya Amanda.
Nia hanya tersenyum dengan senyuman bodohnya. Pak Maliki mengetuk kepala Nia. Memang Nia tak bisa dengan pelajaran bahasa Inggris. Namun, dia sangat cerdas jika menyangkut agama.
"Aku tidak bisa kumpulin hari ini, siapa yang akan jaga Ayah," kata Nia dengan khawatirkannya.
"Yah, gimana dong, Nia? Aku sudah bilang janji kepada Pak Guru. Ayolah, pikirkan caranya," desak Endin.
"Biar aku yang berangkat. Kamu jaga Ayah saja, pastikan jika Ayahku cepat sembuh, bagimana?" usul Amanda.
"Bagaimana bisa?" elak Endin.
"kita kembar, kalau aku pakai penutup kepala seperti Nia, pasti semua akan mengira bahwa aku ini adalah Nia," jelas Amanda.
"Tidak, itu namanya curang. Dosa besar, karena sama dengan berbohong juga. Namanya tidak jujur, dan Allah sangat tidak suka kejujuran," sela Pak Maliki.
Tapi, berkat Amanda, akhirnya Pak Maliki setuju dengan idenya itu. Amanda mengatakan bahwa yang dikatakannya tidak merugikan siapapun. Nantinya, pasti juga Amanda akan masuk ke sekolah tersebut. Dan Amanda akan menjelaskan semuanya. Endin juga akan menjelaskan bagaimana keadaan di sekolah agar Amanda tidak ketahuan jika dirinya sedang menyamar jadi Nia.
Nia dan Pak Maliki sudah sepakat, Amanda segera mengganti pakaiannya dengan seragam sekolah. Ia juga mengenakan hijab dan terlihat sangat cantik. Endin juga mengajarkan cara bicara Nia sehari-hari.
"Ingat, bicara saat diperlukan saja, ya. Jangan bicara kalau tidak penting. Takutnya, nanti kamu akan keceplosan. Aku hanya tidak mau sahabatku dapat masalah, oke? Aku kasihan dengannya, dia juga sering di bully di sekolah," celetuk Endin.
"Dia di bully?" tanya Amanda.
"Iya. Dia begitu lemah lembut, sampai-sampai dibully setiap hari hanya diam saja. Ahh, aku kasihan dengannya," ucap Endin.
"Aku iri sekali dengan Nia. Dia memiliki sahabat yang baik. Sedangkan aku? Ah, memang semua sudah jalan takdir yang Tuhan berikan padaku," gumam Amanda dalam hati.
"Lihat saja nanti, aku akan membuat pembully itu menjadi kecut. Siapa suruh dia membully saudariku!" lanjutnya dengan hati yang teguh.
Akhirnya mereka sampai ke sekolah. Endin mengantar Amanda ke kantor dan bertemu dengan guru bahasa Inggris. Sepanjang perjalanan, Endin terus saja mengingatkan Amanda untuk tidak gegabah.
"Diingat baik-baik, oke? Jangan sampai kamu melakukan kesalahan. Aksen kamu juga masih kental dengan aksen orang barat. Jadi jangan bicara jika tidak diminta bicara," kembali Endin mengingatkan Amanda.
"Iya, aku tau, Endin," jawab Amanda dengan senyuman.
Saat masuk ke kantor, tak sengaja Haykal berpapasan dengan Amanda yang menyamar sebagai Nia. Biasanya, Nia akan menyapa Haykal. Namun karena gadis yang berpapasan dengannya bukan Nia, Amanda hanya melihat sebentar dan memutar bola matanya. Merasa aneh, Haykal pun heran dengan Amanda yang ia ketahui sebagai Nia tersebut.