Amanda terdiam sejenak. Dia baru ingat suatu hal. Hari itu, minggu yang akan datang adalah hari istimewanya. Ia seharusnya mengikuti seminar di Jepang bersama dengan Tamara dan Barack. Tapi, semuanya sirna karena dirinya sudah bersuami dan tinggal di desa bersama dengan suami dan saudari kembarnya.
"Kok, diam? Kamu nggak suka, ya?" tanya Haykal.
"Em … suka, aku akan bersiap nanti. Apapun itu, pasti Ustadz juga ingin kebaikan untukku, bukan? Aku akan lakukan itu," jawab Amanda dengan nada lirih.
"Baiklah kalau begitu, kita ke pom bensin dulu. Kita ganti baju, hari ini … aku ingin mengajakmu berbelanja. Kebetulan, aku baru gajian dari usaha onlineku, alhamdulillah sekali," Haykal menunjukkan bukti transfernya.
"Wah, Alhamdulillah … that's your money, Ustadz. Apakah, aku harus melihat itu?" tanya Amanda.
"My money, it's your money. Your money, only yours. So, that's the understanding of the household finances," jelas Haykal.
"True, aku pernah mendengar itu. Oke, bawa aku makan makanan enak hari ini. Ayo kita ganti baju, kebetulan sekali aku juga membawakan kamu baju ganti, Ustadz!" seru Amanda memberikan tas kecil kepada Haykal.
Haykal tersenyum, Amanda sangat baik. Dia bahkan tidak mempermasalahkan apapun tentang Haykal. Pemikirannya dewasa, jadi itu mengapa Haykal lebih tertarik dengan Amanda dibandingkan dengan Nia.
Masih di sekolah, Nia dan Endin saat itu masih di perpustakaan. Entah apa yang mereka lakukan di sana, tapi memang setiap senin mereka ada di sana ketika waktunya pulang sekolah. Masuklah Tania dan Aida. Mereka meminta Nia mengikutinya sampai ke belakang sekolah yang saat itu sudah sepi.
"Kalian kenapa membawa kita ke sini?" tanya Endin.
"Diskusi," jawab Tania.
"Diskusi apa?" tanya Nia.
"Anak-anak, kalian pegangin si cewek sok tau ini!" seru Tania.
Datanglah sekitar lima siswi yang bukan dari sekolah itu. Mereka terlihat siswi yang tidak tertib. Baju dikeluarkan dan tidak memakai jilbab. Dua dari mereka memegangi tangan dan tubuh Endin. Kemudian sisanya, mulai melakukan kekerasan kepada Nia.
Sementara itu, Tania dan Aida merekam aksi tersebut. Ketiga siswi itu menendang perut Nia. Memukul wajahnya dan ketika Nia terkapar, salah satu dari ketiganya menginjak paha dan perut Nia sampai Nia pingsan.
Nia memang selalu tidak melakukan perlawanan. Ia hanya memohon ampun kepada Tania dan istighfar agar ada yang membantunya.
"Hentikan!" teriak Endin.
"Aku mohon hentikan semua ini. dia sudah terkapar, hampir pingsan. Tolong lepaskan kami!" mohon Endin.
"Tania, Aida. Tolong lepaskan kami, apa kesalahan kami kepada kalian berdua?" Endin berusaha untuk memohon agar mereka mau memerintahkan siswi berandal itu saat itu juga.
Tania memberi kode kepada Aida untuk mengeluarkan tepung dan telur busuk. Lalu, disiramlah ke tubuh Nia hingga mengeluarkan bau busuk yang sangat menyengat.
Biarpun Nia memohon sampai menangis darah, Tania dan Aida sama sekali tidak memperdulikannya. Mereka malah asik memotret dan memvideokan aksi bejat siswi suruhannya.
"Aku minta maaf jika aku punya salah. Tapi tolong lepaskan aku, aku mohon …." pinta Nia dengan suara parau.
"Tolong hentikan semua ini. Aku mohon hentikan!" jerit Endin.
Plak!
Tamparan tangan Tania begitu kerasa mendarat di pipi Endin. Bukan hanya kepada Endin saja, Tania juga menampar dan memukul Nia yang sudah lemas itu.
"Dengarkan aku baik-baik. Ini semua aku lakukan untuk membuat pelajaran kepada nih cewek, agar tidak terus mendekati Kak Devan. Kak Devan itu milikku!" hardik Tania.
"Dan jika kamu mendekatinya lagi … aku tidak akan pernah segan untuk membuatmu koma di rumah sakit. Camkan itu!" ancamnya.
"Dan lagi, kalian juga harus peringatkan bule kampung itu, supaya tidak caper dengan Ustadz Haykal. Ustadz Haykal hanya untukku. Atau aku juga akan membuatnya kesulitan dirinya!" Aida juga menghardik Nia, supaya mengingatkan Amanda.
Endin kesal melihat Nia hanya diam saja. Endin yakin jika kekerasan itu mereka lakukan karena Amanda dekat dengan Ustadz Haykal. Endin semakin membenci Amanda.
Setelah puas menghardik Nia dan juga Endin, mereka meninggalkannya begitu saja. Dengan tertawa puas, Tania dan Aida memberikan sejumlah uang tepat di depan Nia dan Endin. Kemudian, Nia pun pingsan.
"Nia!"
"Nia, bangun! Bertahanlah!"
"Aku harus minta bantuan dengan siapa? Ah, aku harus menelpon Amanda!"
"Bukankah gara-gara dia, kami jadi seperti ini? Dia harus bertanggung jawab!"
Sudah berkali-kali Endin menelpon Amanda, tetap saja Amanda tidak menjawab telponnya. Rupanya, Amanda mengganti mode senyap di ponselnya. Hal itu tentu saja membuat Endin semakin kesal kepada Amanda.
Tak ada harapan lain, Endin berlari meninggalkan Nia terkapar di belakang sekolah. Mencari bantuan dengan satu sepatu di kakinya. Dirinya tidak ikut dalam pembullyan, namun setelah Tania dan para ajudannya pergi, ia melemparkan sepatu miliknya ke arah Tania dan Aida.
"Aku harus minta bantuan ke siapa? Para guru sedang rapat. Sudah tidak ada murid kelas 10 maupun kelas 11 di sini," gumam Endin semakin cemas.
"Apa aku minta tolong kepada kakak kelas? Mereka masih ada di kelasnya masing-masing soalnya. Iya, aku akan mencobanya!"
Tak menyerah, Endin berlari mencari bantuan kepada kakak kelas yang masih belajar. Takdir mungkin memang menginginkan Devan dekat dengan Nia. Tidak sengaja Devan dan Endin bertabrakan di depan toilet khusus murid kelas 12.
"Aduh!"
"Hati-hati, woy!" bentak Devan.
"Maaf, saya terburu-buru. Ma … Kak Devan? Kebetulan sekali, ayo tolong aku, Kak!"
Tanpa izin Endin menarik tangan Devan untuk segera mengikutinya. Awalnya Devan menepis dan menolak ajakan tak jelas Endin, setelah Endin jelaskan jika Nia pingsan di belakang sekolah, Devan langsung panik dan segera berlari menuju lokasi.
Terlihat dirinya sangat khawatir kepada Nia, selama ini memang antara Devan dan juga Nia tidak pernah akur. Devan selalu kasar kepada Nia, ia juga sering kali menghina Nia. Namun, ia sendiri bahkan menyukai Nia sejak Nia masuk di sekolahan itu.
"Kamu hubungi kembarannya. Aku akan membawanya ke rumah sakit," pinta Devan masih berlari.
"Dia tidak bisa dihubungi, Kak!" jawab Endin.
Devan syok melihat tubuh Nia yang dilumuri tepung dan telur busuk. Tanpa memperdulikan baunya, Devan mengangkat tubuh Nia dan segera membawanya ke rumah sakit. Kemudian, meminta Endin untuk melapor kejadian itu ke kepala sekolah.
Nama Tania dan Aida juga diseret oleh Endin ketika melapor. Namun, kepala sekolah terlihat enggan untuk menangani kasus pembullyan tak wajar tersebut. Itu semua karena orang tua dari Tania dan Aida sangat terhormat.
"Pak, jangan pilih kasih seperti ini. Nia juga sering mengharumkan nama sekolah ini. mengapa di saat dirinya seperti ini, bapak malah terlihat acuh?" protes Endin.
"Sebaiknya, kamu minta Nia melupakan kejadian ini, Endin. Soal biaya rumah sakit, pihak sekolah yang akan menanggungnya."
Tentu saja pernyataan kepala sekolah membuat Endin emosi. Tak adil bagi Nia jika seperti itu. Ia pun berniat ingin menghubungi Amanda lagi. Karena Amanda lah yang mampu membantu Nia saat ini.
Apa yang akan terjadi? Apakah Amanda akan membalas pembullyan itu? Apa Amanda hanya akan diam saja?