"Lihatlah, pecundang ya tetap saja akan menjadi pecundang, hahaha …." tawa dari ketua geng tersebut.
"Anjani, To'i, uuu namanya sama Nia, Khotimah, Lilik. Nama cantik, wajah cantik, hati busuk kelakuan berandalan!" desis Amanda.
"Heh, maksudmu apa mengabsen nama kita? Berani lu sama kita semua?" dengus Lilik.
"Dengar, ya. Jika lu berani sama kita, lu akan habis saat ini juga!" hardik Anjani.
Tanpa banyak bicara, Amanda langsung membereskan mereka. Dari ke lima siswi itu, yang terkuat adalah Anjani. Amanda sempat di pukul di wajahnya sampai bibirnya berdarah.
Dengan bringas, Amanda menendang perut Anjani. Mendapati lawannya tersungkur, Amanda langsung menginjak dan terus memukul Anjani sampai lemas.
Devan yang saat itu masih sibuk merekam langsung memisahkan antara Anjani dengan Amanda. Sebab, perkelahian keduanya sudah hampir membuat mereka babak belur. "Gue akan laporkan lu ke polisi, Nia!" teriak Lilik.
"Cih, masih kurang sadar juga? Perkenalkan, namaku Amanda. Aku kembaran dari Nia yang sudah kalian bully itu," Amanda bahkan meludah.
"Dengar, kembaranku saat ini masih terbaring lemas di rumah sakit. Cepat akui perbuatan kalian ke sekolah, atau kalian akan berurusan dengan polisi,"
"Aku tunggu 24 jam, jika salah satu kalian tidak ada yang mengaku dan memberitahukan siapa perusuh kalian. Bukti pembullyan kalian akan masuk di polresta, bye!" tukas Amanda.
Ia meninggalkan kelima siswi itu di sana. Meminta Azzam, sang pemilik cafe untuk mengirim kelima siswi itu ke kantor polisi dengan bukti video pembullyan mereka.
Amanda tidak akan pernah main-main dengan itu, ia tetap melaporkan kejadian naas yang menimpa saudarinya. "Hm, dia lumayan juga. Aku tertarik dengannya." batin Azzam.
Di luar cafe, Amanda langsung pamit hendak pulang. Devan mencegahnya, ia masih perlu jawaban tentang dirinya yang sudah menikah dengan Haykal, guru agamanya.
"Tunggu!" seru Devan.
"Apa lagi, bencong?"
"Kok bencong, sih? Aku diam, karena aku tidak tega memukul perempuan," alasan Devan.
"Kamu bilang kamu tidak tega memukul perempuan, tapi kamu tega melihat orang yang kamu cintai … tepar di rumah sakit. Kamu itu cowok, apa bencong?" sulut Amanda menggunakan helmnya.
"Kamu, da-dari ma-mana kamu tahu kalau Nia … aku, itu, em …." ucap Devan gugup.
Amanda hanya tersenyum sinis, menepuk lengan Devan, lalu memacu motornya dan cepat. Ia akan segera pulang karena perasaannya sudah tidak enak. Haykal telah menunggunya di rumah. Sebelum pulang, Amanda membeli martabak dulu untuk suaminya.
Sementara itu, Devan masih diam dan berdiri tegak di parkiran Cafe sembari bergumam, "Apa yang kamu katakan itu benar Manda. Aku jatuh cinta dengan saudarimu sejak setahun yang lalu."
"Saat itu, dia menolongku ketika aku jatuh dari motor. Wajah yang kalem, senyumannya yang manis dan akhlak yang sangat mulia membuatku jatuh hati kepadanya," imbuhnya.
"Tapi … aku tak pantas untuknya, itu mengapa aku selalu usil dengannya, agar aku selalu bisa dekat dengannya."
Devan pulang ke rumahnya. Hari memang belum larut, namun sejak pulang sekolah Devan memang belum pulang. Ibunya terus saja mengomelinya karena Devan main tanpa pulang dulu.
"Devan, kamu dari mana?" tanya Ibunya. Namun Devan tidak menanggapinya.
"Devano! Devan, Devan, bisa tidak kalau orang tua sedang bertanya, bicara, kamu itu jangan diam saja!" Ibunya mencegah Devan masuk ke kamarnya.
"Gue nggak butuh perhatian, lu!" jawab Devan dengan membentak Ibunya.
Bagi seorang ibu, jawaban yang seperti itu memang sangat menyakitkan. Namun, semua itu pantas ibunya dapatkan, karena di masa lalu, ayah dan ibunya tidak pernah menganggap Devan ada.
Kedua orang tuanya telah lama bercerai. Sejak Devan kecil, kedua orang tuanya tidak pernah memperhatikan dirinya. Bahkan sangat jelas sekali di ingatan Devan, Orang tuanya baru memperhatikan dirinya akhir-akhir tahun setelah ia lulus sekolah menengah pertama. Semua itu karena Nenek Devan memberikan warisan yang cukup besar kepadanya.
Sementara itu, Amanda baru saja sampai di rumahnya. Haykal sudah menunggunya di depan rumah, dengan kaki yang di tumbangkan.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh," salam Amanda.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Beli martabaknya kemana saja, Amanda? Belanda?" tanya Haykal dengan lembut.
"Em, aku …." Amanda bingung mau bicara apa dengan Haykal.
Ketika di jalan, Amanda hendak jujur apa yang sudah ia lakukan di luar. Tapi ketika sudah di depan Haykal, terasa kaku bibir Amanda.
"Itu bibir, kenapa bisa berdarah? Kamu berkelahi, jatuh atau bagaimana?" melihat ada darah kering sedikit di ujung bibir Amanda membuat Haykal panik.
"Ayo, masuk!" serunya dengan menarik tangan Amanda.
Haykal menaruh martabak yang Amanda bawa ke meja. Lalu, ia segera mengambil alat obat dan mulai mengobati luka di ujung bibir istri kecilnya. "Kamu berkelahi? Dagu kamu juga lebam, hah?"
Pertanyaan suaminya diabaikan oleh Amanda. Ia malah terus memandang wajah suaminya dari dekat.
"Ustadz Haykal ini, jika dilihat dari dekat memang berbeda. Bibirnya, uuh … seakan ingin sekali aku menggigit bibir itu."
Amanda malah berperang sendiri dengan hati bersih dan pikiran kotornya. Sampai tidak sadar jika Haykal terus memanggil namanya.
"Manda, Amanda!"
"Manda. Ck, astaghfirullah hal'adzim,"
"Amanda Syafara Zoetmulder!" tegas Haykal.
"Ah, iya. Itu namaku!" teriak Amanda, langsung berdiri.
Haykal menatap dengan tatapan heran, lalu tertawa. Baru kali ini Amanda juga membuat Haykal tertawa terpingkal-pingkal. Reflek, Haykal tiba-tiba mengecup kening istri kecilnya.
Cup!
Membuat jantung Amanda berdegup kencang. Haykal masih tersenyum manis, dan menggerakkan alisnya, kode bertanya 'ada apa' dengan Amanda.
"Ustadz mencium keningku?" celetuk Amanda merubah suasana.
"Em, saya … saya akan makan martabaknya. Eh, sebelum itu aku akan mengambil madu, aku tadi habis buat teh madu," Haykal gugup.
Haykal bergegas ke dapur, ia menyentuh botol madunya dan hendak menyimpannya di tempat semula. Di susul lah oleh Amanda dan suaranya mengagetkan dirinya.
"Aku boleh minta madunya?" tanya Amanda.
"Oh, i-iya boleh," jawab Haykal masih gugup.
"Kenapa Ustadz jadi gagap begitu? Ustadz sehat, 'kan?" Amanda mendekati Haykal.
Haykal mengangguk, Amanda mengambil botol madu tersebut dan membukanya. Meneteskan madunya ke jarinya, lalu dengan berani mengoleskan madu tersebut di bibir Haykal.
Kemudian, Amanda memberanikan diri mencium bibir Haykal. Bukan hanya mencium, Amanda juga mengigit kecil bibir bawah suaminya. Haykal hanya bisa diam dan malah membuka matanya lebar-lebar.
Cup, cup, cup.
Begitu bunyi permainan bibir Amanda. Dengan pelan, tangan Amanda meraih kedua tangan Haykal dan meletakkannya di pinggulnya. Masih dengan permainan bibinya.
Sekitar beberapa menit, Amanda menyudahi permainan bibir itu. Amanda menduga jika Haykal memang belum pernah menyentuh seorang perempuan.
Meski dirinya juga belum pernah merasakan bibir lelaki, tapi di Belanda dulu, ada pelajaran edukasi tentang hubungan percintaan di usia remaja. Video ciuman juga di putar oleh guru di sana.
Ekspresi Ustad Haykal kek mana itu.