Adara menghembuskan napasnya lelah, tetapi tersenyum kemudian ketika melihat keranjang yang tadinya penuh berisi bunga kini telah habis tak tersisa.
Adara masuk ke dalam rumah dengan gembira sambil memegang keranjang yang sekarang berisi lembaran uang, melihat sekeliling ruang tamu kemudian masuk ke dalam kamar untuk memegang keranjangnya.
"Tabunganku pasti sudah lumayan, aku ingin menggunakan sebagian uangnya untuk membeli bahan masakan yang enak-enak untuk Ayah dan Ibu," gumam Adara mengecek tempat uangnya kemudian mengambil sebagian uang tersebut.
"Tapi, mereka pasti akan bertanya darimana aku mendapatkan uang untuk membeli bahan masakannya. Aku harus jawab apa?" gumam Adara lagi diakhiri dengan tanya.
Adara menaruh telunjuknya di dagu sebagai ciri khasnya yang sedang berpikir, hingga akhirnya sebuah ide terlintas. Tetapi, tidak ada salahnya kan jika harus sedikit berbohong?
Adara mengangguk kemudian tanpa kata lagi langsung membawa uang tersebut ke pusat desa. Di sana ia akan membelanjakan uang tersebut untuk membeli bahan masakan yang akan ia masak untuk Ayah dan Ibunya.
Senyumannya begitu manis, hampir semua paman dan bibi penjual di pusat desa disapanya dengan ramah.
"Paman, berikan tiga potong ayam dan ini uang untuk membayarnya," ujar Adara berhenti di salah satu tempat penjual.
"Kemana bunga yang biasa kau bawa?" tanya paman tersebut sambil menyiapkan tiga potong ayam pesanan Adara.
"Ah, bungaku. Sudah habis terjual, ada yang memborongnya tadi bahkan membayarnya dua kali lipat. Aku mendapat banyak uang hari ini," jawab Adara bercerita.
Paman itu tersenyum, "Baguslah, lalu apa besok akan berjualan lagi?" tanya Paman itu sambil masih menyiapkan pesanan Adara.
Adara mengangguk, "Tentu saja, tetapi mungkin besok aku akan membeli bibit bunga untukku tanam di rumah," jawab Adara lagi sambil menerima pesanannya yang sudah siap.
"Terimakasih, Adara," ujar paman tadi ketika Adara menerima ayam yang tadi ia siapkan.
"Sama-sama paman, aku ingin ke tempat lain untuk membeli bahan masakan yang lain," sahut Adara pamit yang direspon dengan anggukan dan senyuman manis paman penjual ayam.
Adara mencari penjual bahan masakan lain dan seramah tadi dia bersikap, kemudian setelahnya dia berjalan pulang ke rumah untuk memasak bahan masakan yang sudah ia beli sambil menunggu Ayah dan Ibunya pulang dari ladang.
Tetapi, saat akan sampai dirumah. Anak-anak seusia Adara menghalangi jalannya, pakaian mereka terlihat kotor. Tentu saja, karena mereka baru saja pulang dari ladang orangtuanya untuk membantu kedua orang tua mereka.
"Hei, Tuan Putri! Habis menghabiskan uang orangtua ya?"
"Cih, tidak tau malu!"
"Iya, bukannya membantu orang tua malah sibuk menghabiskan hasilnya."
Adara menahan kesal mendengar ujaran anak-anak seusianya itu, kalau mereka tidak suka mengadu maka Adara pasti bisa dengan bangga berkata bahwa dia juga bisa menghasilkan uang.
Adara pernah mengatakan bahwa dirinya bisa menghasilkan uang dengan cara membantu paman dan bibi yang berjualan di pusat desa, tetapi mereka malah mengadu ke Ayah dan Ibu membuat Adara tidak diizinkan untuk melakukannya lagi.
Adara hanya bisa memaklumi ucapan anak-anak seusianya itu, mungkin mereka iri padanya karena tidak diizinkan mengerjakan apapun sedangkan mereka dituntut untuk membantu orangtua mereka.
Adara memilih untuk segera masuk ke dalam rumah begitu sampai, kemudian memasak bahan masakan yang tadi ia beli di pusat desa. Sambil sedikit bersenandung, Adara memasak dengan gembira.
Selesai memasak, Adara menunggu kedatangan orangtuanya di teras rumah sambil memegang bunga matahari favoritnya. Mata Adara memandang jenuh jalanan, sambil menanti Ayah dan Ibunya yang tak kunjung datang.
"Kapan Ayah dan Ibu datang?" tanya Adara yang dijawab dengan hembusan angin yang lewat.
"Seharusnya Ayah dan Ibu sudah pulang di waktu sekarang," ujar Adara sambil masih menatap jalan dengan perasaan sedikit gelisah.
Biasanya, Ayah dan Ibunya sudah pulang sebelum matahari terbenam. Tetapi, sekarang bahkan matahari sudah hampir tertidur di sana. Lantas kenapa Ayah dan Ibunya belum pulang? Wajarkan jika Adara khawatir?
Hari mulai gelap, Adara yang semakin cemas pun memutuskan untuk pergi menghampiri ke ladang. Adara masuk ke dalam rumah kemudian ke kamarnya untuk mengambil kain tebal agar dia tidak kedinginan, setelahnya Adara pergi meninggalkan rumah menuju ladang tempat yang orangtuanya tuju pagi tadi.
Dengan lentera di tangannya, Adara berjalan melenusuri jalanan yang gelap menuju ladang. Bahkan rasa takut yang biasa muncul ketika Adara berjalan dalam kegelapan itu sirna, perasaannya didominasi oleh rasa khawatir tentang kedua orangtuanya.
Berjalan melewati beberapa rumah yang berjarak, kemudian kembali ke jalanan gelap hingga akhirnya Adara sampai ke ladang. Sudah lama ia tidak kemari di siang hari, tetapi Adara terpaksa kemari di malam hari untuk mencari orangtuanya.
"Ayah!" pekik Adara sambil berjalan mengitari ladang yang ditanami sayuran.
"Ibu!" pekiknya lagi masih terus mengitari ladang.
"Ini sudah gelap, kalian di mana?!!" pekik Adara lagi sambil terus mencari.
Hingga tiga putaran ladang juga melewati sela-sela tanaman, masih saja tidak menemukan orangtuanya.
Adara semakin cemas, "Kemana kalian?" tanyanya dalam gelap, hanya ada lentera sebagai sumber cahaya juga rembulan malam dan bintang.
Setelahnya, Adara memutuskan untuk kembali ke rumah. Barangkali orangtuanya sudah pulang dan melewati jalur lain ketika pulang hingga tidak berjumpa dengannya.
Adara berusaha untuk berpikiran baik dan menyingkirkan pikiran buruk yang hinggap. Lalu, sampailah dia di depan rumah.
Pintu rumah yang terbuka membuat Adara tersenyum senang, "Ayah! Ibu!" serunya sambil melangkah masuk ke dalam rumah.
Hanya ada keheningan yang menyambut Adara ketika dia masuk ke dalam rumah, senyum yang semula ada itu sirna dalam sekejap.
"Ayah dan Ibu belum pulang? Lalu, siapa yang membuka pintu rumah?" tanya Adara pada udara kosong.
Adara menatap sendu ruangan kosong tanpa orang selain dirinya, hingga tatapannya terhenti pada secercah surat yang tergeletak di atas meja.
"Apa itu?" tanya Adara sambil mendekati meja kemudian duduk untuk membaca surat tersebut.
"Kau harus segera menemui aku di perbatasan bukit binatang kepala tujuh," ujar Adara membaca isi surat tersebut sambil benaknya bertanya-tanya.
Tanpa banyak kata lagi, Adara segera bersiap untuk pergi ke sana. Karena perjalanan dari rumahnya ke bukit binatang kepala tujuh itu memakan waktu setengah hari, maka Adara harus membawa sedikit persiapan.
Kemudian Adara pun memasuki kamarnya, tetapi karena sedikit kehilangan fokus membuat Adara salah memasuki kamar dan bukannya membuka lemarinya sendiri malah membuka lemari milik Ibunya.
Pemandangan pertama yang terlihat oleh mata Adara adalah sebuah pakaian mewah berwarna emas dan sebuah kotak kayu tua. Adara ternganga sejenak melihat keindahan pakaian berwarna emas tersebut, kemudian menggeleng.
"Pakaian milik siapa itu? Dan kotak kayu tua itu?" tanya Adara masih menatap pakaian mewah tersebut kemudian Beralih menatap kotak kayu tua.
Brakkk.
"Hah!" Adara memekik sambil memegang dadanya, terkejut ketika kotak kayu tua itu terjatuh tepat di samping kakinya.
Sebuah mahkota keluar dari kotak kayu tua itu dan sekarang berada tepat di depan kaki Adara.
"Mahkota?" gumam Adara heran melihat Mahkota tersebut kemudian memutuskan untuk mengambilnya.
"Mahkota ada di lemari Ibu? Ibu adalah orang yang baik. Tidak mungkin mencuri, tetapi Apakah mungkin kalau Ibu seorang ratu?" gumam Adara bertanya pada entah siapa sambil memperhatikan Mahkota yang sekarang ada di tangannya.