Adara membuka lebar mulutnya melihat banyak makanan berjejer di atas meja makan yang dihiasi emas lalu juga minuman yang diisi dalam sebuah tempat besar itu sepertinya tidak akan habis-habisnya.
Raja yang melihat senyuman Adara merasakan jantungnya tak tenang. Sungguh manis dan tidak ada duanya.
"Rajaku, Permaisuri akan segera datang."
"Baiklah. Sembari menunggu Permaisuri kembali, mari kita bicarakan tentang-"
Sumi melotot dan terbatuk-batuk. Sehingga mengalihkan pembicaraan yang ada saat ini.
"Ibu, ayo diminum dulu. Ini airnya," kata Adara yang kemudian mengusap punggung Sumi.
Sumi pun meneguk habis air itu dan tersenyum sembari mengucapkan terima kasih.
"Terima kasih sayang," kata Sumi.
"Ah Ibu, jangan berterima kasih. Sudah kewajiban aku sebagai seorang anak untuk berbakti kepada orangtuanya bukan. Iya kan Ayah?" tanya Adara pada Panca yang sedang melamun.
"Iya, benar. Apa yang dikatakan oleh anak kita memang benar dan tidak pernah salah."
Sang Raja merasa kehadirannya tidak dianggap. Dia pun memanggil Adara, meminta pendapat mengenai istananya yang megah dan juga sangat bagus ni.
"Bagaimana, apa kau betah berada di istana ini?" katanya.
Adara melihat sekeliling. Desain yang bagus, dilapisi oleh emas yang menyebabkan warna dinding cerah keemasan lalu juga. Dia pun menarik napas.
"Ada apa? Apa ada yang kurang?"
"Betul, Raja. Istana sebesar ini tidak terlalu memiliki etika yang seharusnya. Para pekerjamu tidak seramah warga desaku," kata Adara.
"Oh begitu ya?" Raja pun merebahkan badannya di kursi yang menjadi kebanggaannya.
Seorang wanita yang memakai mahkota berwarna emas itu memasuki kawasan meja makan.
Semuanya memberikan hormat tanpa terkecuali. Dengan keterpaksaan Adara, Sumi serta Panca ikut membungkuk.
Wanita yang berumur delapan tahun lebih tua dari Adara itu tidak melemparkan senyuman sedikit pun.
Wajahnya terkesan galak dan juga garang. Tidak heran jika para pekerja begitu ketakutan ketika dia memasuki meja makan.
Dia berdehem, lalu menanyakan siapa mereka. "Rajaku, siapa orang-orang dekil, kumuh ini. Kenapa mereka berada di meja makan istana kita?" tanyanya.
"Jaga ucapanmu, Permaisuri. Mereka adalah tahu kehormatanku, ah tidak. Bukan mereka, tapi gadis muda ini." Dia menunjuk Adara yang sedang melototi gelas berwarna merah darah di depan posisi sang permaisuri.
Permaisuri itu mendengus kesal, dia menatap tajam ke arah Adara yang tersenyum.
"Apakah dia istrimu, Raja?"
"Benar. Dia istriku. Permaisuri."
"Kau sungguh cantik. Pantas saja Raja mencintaimu," kata Adara memuji.
"Kau benar, Adara. Karena kecantikannya itu aku menikahinya."
"Oh begitu ya, Raja." Adara mengangguk.
Raja terus memperhatikan Adara ketika acara makan malam. Hingga seorang pelayan datang dan membisikkan sesuatu padanya.
Sang Raja terlihat kurang tenang dan mulai gelisah. Hal itu ou. Menjadi pertanyaan oleh Sumi serta Panca.
"Suamiku, apa kau melihat raut wajah dari Raja bohongan itu."
"Dia terlihat tidak tenang dan juga tengah memikirkan sesuatu," balas Panca.
"Apa ini menyangkut tentang Ratu dan juga Raja kita?" Mata Sumi berkaca-kaca.
Semoga saja apa yang dipikirkan olehnya adalah benar. Jika Raja dan Ratu masih hidup, itu berarti ada kemungkinan besar kerjaan Qalshar bisa diambil alih lagi.
Terlebih lagi Adara sudah menginjak usia 16 tahun. Dia sudah bisa untuk memimpin kerajaan.
Acara makan malam riuh. Ketika Permaisuri merendahkan Adara. "Apa kau tidak memiliki rasa malu?" ujarnya.
"Rasa malu dalam hal apa?"
"Huf, susah ya berbicara dengan rakyat jelata. Apa-apa selalu tidak memiliki rasa malu. Ya ya, enggak diragukan lagi."
Sumi tidak terima Adara diremehkan. Dia pun membantah ucapan dari Permaisuri.
"Maaf jika saya tidak sopan, Permaisuri." Belum selesai Sumi berbicara, ucapannya sudah dipotong oleh Permaisuri yang angkuh itu.
"Hei budak! Kau tidak pantas untuk berbicara denganku. Statusmu sangat rendah, rakyat jelata!" Makinya.
Adara tidak terima dengan perlakuan buruk itu. Dia pun menyanggah apa yang dikatakan oleh Permaisuri.
"Maaf, kau tidak berhak memaki Ibuku. Meksipun kami berasal dari keluarga yang tidak mampu. Tapi bukan berarti kau bisa memakinya," senggak Adara.
Sang Raja diam. Kepalanya dipenuhi oleh beban pikiran yang cukup besar. Ditambah dengan perdebatan yang terjadi di antaranya sekarang ini semakin membuat masalah kacau dan tidak bisa dikontrol.
"Lancang sekali kau wanita rendahan. Beraninya memotong ucapan dari Permaisuri kami," kata wanita renta yang dipercaya menjadi kepala asisten istana.
"Adara, sudah cukup sayang. Hentikan dan jangan dilawan lagi. Kamu harus sadar jika kita tidak berada di desa, melainkan tempat lain," kata Panca mengingatkan.
"Ayah, memangnya kenapa kalau tidak ada di desa. Apa sementang-mentang dia adalah istri dari Raja. Jadi bisa menilai orang lain seenaknya saja," bantah Adara.
"Quinsa, tolong jaga emosimu."
"Tapi, Bu."
Sumi menggeleng. Adara pun berhenti. Dia meminta agar Adara untuk meminta maaf. Sumi tidak ingin keselamatan Adara terancam sebelum dia menemukan keberadaan Ratu dan Raja serta juga orang-orang yang menjadi kepercayaan Raja terdahulunya.
"Istriku, kenapa kau sangat yakin jika masih ada orang-orang yang menjadi kepercayaan dari Raja kita?" tanya Panca.
"Entahlah. Tapi aku memiliki rasa keyakinan begitu besar. Suamiku, kita harus segera memutari istana ini dan mencari keberadaan pimpinan kita."
"Kau benar. Namun kita tidak boleh gegabah. Kita harus memikirkan sesuatu dan tentu saja tidak akan melibatkan Adara dalam permasalahan besar ini."
"Ya, kau benar. Aku hampir saja melupakan soal Tuan Putri. Dia sudah besar dan layak menjadi seorang pemimpin selanjutnya. Tapi aku merasa sedih dan juga kasihan," kata Sumi sedih.
Tangan Panca mengelus punggung tangan Sumi, dia akan melakukan segala cara agar kedua wanitanya ini merasa aman dan tidak berada dalam bahaya.
Melihat Adara tertidur pulas membuat keduanya bahagia. "Apakah seperti ini rasanya memiliki seorang anak?" kata Sumi.
"Istriku, akan ada masanya kita memiliki seorang anak dari rahimmu sendiri. Mungkin saja Tuhan sedang menguji kita dengan ini. Tapi percayalah, Tuan Putri adalah anak putri kesayangan kita selamanya."
"Kau benar. Dia akan selalu menjadi putri kecil kita. Walaupun dia-" Sumi mulai terisak. Dia tidak bisa membayangkan betapa hancurnya hatinya.
"Jangan diteruskan. Ayo kita kembali ke kamar dan membiarkan dia beristirahat. Kejadian di meja makan tadi membuat emosi Adara tidak terkontrol. Aku takut jika dia akan bertentangan dengan Permaisuri," ucap Panca dengan rasa kecemasan yang besar.
Berbeda dari situasi kamar Adara, kamar Permaisuri tengah ribut. Terlebih lagi wanita itu dihasut oleh pelayannya untuk segera mencari cara menyingkirkan Adara.
"Permaisuriku, hamba lihat jika gadis itu berniat untuk merebut kekuasaan Anda."
"Apa? Raja berniat untuk menjadikan dia sebagai selir lagi?" Permaisuri melemparkan kendi berisi air ke dinding. Dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
"Aku pastikan jika gadis rendahan itu harus meninggalkan istana ini," katanya.