Adara harus kembali melewati jalanan gelap bersama dengan lentera di tangan dan juga sedikit makanan yang ia simpan dalam kain yang digendongnya.
Setelah bertanya-tanya tentang Mahkota yang ia temui di lemari Ibunya, Adara memutuskan untuk segera bersiap. Berpikir bahwa Mahkota itu dan pakaian berwarna emas adalah barang berharga, membuat Adara memutuskan untuk membawanya.
Jadi, kain yang Adara bawa berisi sedikit makanan juga pakaian mewah berwarna emas yang sudah dilapisi kain berserta mahkota.
Adara juga tak lupa membawa sedikit sisa tabungannya untuk bekal perjalanan, meskipun ia tau dalam perjalanan menuju tempat yang ia tuju tersebut tidak mungkin dapat menemukan paman dan bibi yang berjualan seperti di pusat desa.
Adara menarik napas dan menghembuskan, jarak yang sudah ia tempuh sekarang belum pernah ia tempuh sebelumnya.
Beruntungnya, Adara adalah gadis yang tidak sungkan untuk bertanya pada warga yang ia temui tentang jalan mana yang harus dilalui agar sampai ke bukit binatang kepala tujuh.
Entah sudah berapa orang yang ia tanyai, sekarang Adara merasa bingung karena ada persimpangan sedangkan yang sebelumnya ia tanya tidak memberi tau bahwa ada persimpangan.
"Aku harus ke mana?" tanya Adara sendirian. Adara yakin malam sudah semakin larut.
Kemana ia harus melangkah? Dan bagaimanakah kondisi Ayah dan Ibunya sekarang? Adara khawatir, tetapi bingung dan takut salah jalan.
Adara belum pernah ke bukit binatang kepala tujuh, tetapi kenapa orang yang membawa orangtuanya itu meminta Adara datang ke sana? Karena lelah, Adara memutuskan untuk istirahat sejenak sambil berharap agar orangtuanya baik-baik saja.
Adara mengambil makanan yang ia bawa dan memakannya. Sebelum duduk, Adara mencari tempat tersembunyi. Bersembunyi di balik tanaman rimbun agar aman dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Sekarang, Adara menatap langit yang dipenuhi bintang. Adara menarik dan menghembuskan napasnya, "Apakah Ibu seorang ratu?" tanyanya kemudian terdiam lama memandang rembulan malam.
"Artinya, aku seorang tuan putri?" tanya Adara lagi lalu mulai berpikir.
Kemudian, Adara menaruh telunjuknya di dagu setelahnya dia berkata "Apa itu alasan Ibu tidak mengizinkan aku mengerjakan apapun selama ini?" diakhiri dengan nada tanya diakhirnya.
"Lalu, Ayah?" gumam Adara bertanya tiba-tiba mengingat Ayahnya, "Dia raja?" tanyanya setelah berpikir bahwa jika Ibunya Ratu maka Ayahnya Raja.
"Aku tidak tau... Akan ku tanyakan jika sudah berjumpa dengan Ayah dan Ibu," ujarnya kemudian, karena rasa lelah setelah berjalan dalam jarak yang begitu jauh membuat mata Adara terpejam dengan sendirinya.
Suara beberapa lelaki dewasa membangunkan Adara, ditatapnya sekitar. Masih gelap ternyata, tetapi... Suara yang berasal dari luar tempat persembunyiannya membuat Adara penasaran.
Mereka, dengan mengitari api unggun sedang menikmati makanan yang ada di tangan masing-masing. Adara hanya diam di tempat persembunyiannya sambil berusaha untuk tidak bersuara.
"Perjalanan ke Bukit Binatang Kepala tujuh masih jauh, membuatku merasa lapar sekali setelah jarak yang begitu jauh kita tempuh," ujar salah satu dari mereka membuka obrolan.
Adara melotot kemudian merasa bahwa sepertinya para lelaki dewasa yang jumlahnya lima orang itu bisa dijadikan teman, tetapi Adara tidak boleh gegabah.
"Aku tidak mengerti, kenapa Raja memerintahkan lima prajurit ke Bukit Binatang Kepala Tujuh itu. Apa tujuan nya," tanya lelaki lain.
Prajurit? Benak Adara berputar, kenapa prajurit diperintahkan ke sana oleh Raja? Kira-kira mereka bisa dijadikan teman perjalanan tidak?
Adara mengintip dari celah dedaunan dan terlihatlah lima orang itu dengan pakaian prajurit bersama atributnya yang lengkap, juga ada kuda yang diikatkan talinya ke pohon.
Adara menarik napas dengan gugup kemudian memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya.
Para prajurit tadi yang menyadari adanya pergerakan dari salah satu semak-semakpun mengambil sikap waspada, dengan pedang yang siap menebas kalau-kalau yang muncul adalah binatang buas.
"Bukan binatang buas!" pekik Adara yang berpikir bahwa para prajurit itu berpikir bahwa dirinya binatang buas, karena sebuah pedang hampir mengenai wajahnya.
"Hey, siapa kau?" tanya satu prajurit yang pedangnya hampir mengenai wajah Adara.
"Ak--aku Adara. Aku sepertinya seperjalanan dengan kalian," ujar Adara membuat kelima prajurit itu mengernyit heran.
"Maksudnya?" kompak mereka bertanya.
"Ah, maksudku... Hem, aku tersesat di sini. Aku bingung harus mengambil jalan yang mana di persimpangan ini untuk menuju bukit binatang kepala tujuh," jawab Adara menjelaskan dengan sedikit gugup karena dia belum pernah bertemu dengan prajurit kerajaan yang entah kerajaan mana.
"Baiklah, apa tujuanmu ke sana?" tanya salah satu dari mereka lagi.
"Aku... Ingin jalan-jalan ke sana," jawab Adara berbohong, kebohongan ini terlintas begitu saja.
Prajurit itu terlihat tidak percaya, tetapi tidak mau ambil pusing dan juga sepertinya mereka baik. Mereka saling tatap, kemudian menatap Adara kembali.
"Benarkah ingin jalan-jalan?" tanya salah satu dari mereka.
Adara mengangguk.
"Darimana asalmu?" tanya yang lainnya.
"Dari... Dari desa Pavila," jawab Adara, untuk kali ini Adara memilih untuk jujur.
Mereka mengangguk kompak, "Ke mana tadi tujuanmu?" tanya salah satunya
"Bukit Binatang Kepala Tujuh," jawab Adara menyebutkan dengan tenang.
Mereka mengangguk bersamaan setelah saling tatap, "Baiklah, jangan gugup dan takut," ujar salah satu dari mereka.
"Benar, kau benar. Kita bisa jadi teman seperjalanan, tujuan kami ke sana," sahut yang lain.
"Kami tidak akan macam-macam, melainkan akan menjagamu seperti putri kami sendiri," ujar satu dari mereka.
Adara tersenyum senang.
"Karena aku memiliki putri yang sepertinya kau seusia dengannya, maka aku akan anggap kau sebagai putriku. Jadi, apakah kau sudah mengisi perutmu," ucap satu dari mereka yang seperti lebih tua daripada yang lain setelah Adara memperhatikannya dengan seksama.
Adara menunduk, "Aku tidak akan merepotkan kalian. Aku sudah makan dengan bekal yang kubawa," ujarnya kemudian.
Mereka berlima tertawa pelan kemudian kembali duduk dengan mengajak Adara duduk juga, mereka bercerita satu sama lain untuk mengistirahatkan tubuh karena lelah dalam perjalanan tadi.
Tepat saat matahari mulai terbit, mereka mematikan lentera yang mereka bawa sebagai penerang jalan. Kemudian, mereka melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kuda yang para prajurit itu bawa.
Adara bersama dengan lelaki yang katanya memiliki putri yang seusia dengannya, mereka bersama-sama memacu kuda menuju bukit binatang kepala tujuh dengan tujuan yang tidak saling mereka beritahukan.
Meski mereka banyak bercerita, Adara memutuskan untuk memendam alasan sebenarnya perjalanannya dilakukan. Bersyukurnya Adara karena para prajurit itu tidak lagi bertanya, jadi Adara tidak perlu melakukan kebohongan lagi.
Mereka sampai di bukit binatang kepala tujuh. Di saat matahari belum terlalu terik, Adara memutuskan untuk berhenti karena sudah sampai. Tetapi, para prajurit itu menahannya dan meminta agar Adara mengikuti mereka menemui sang Raja.
Adara ragu, tetapi perasaannya mengatakan bahwa tidak ada salahnya untuk ikut.
Akhirnya, Adara memutuskan untuk setuju kemudian mereka melanjutkan perjalanan untuk menemui Raja.
Sambil menuju tempat Raja menunggu prajuritnya, mata Adara tak tinggal diam. Terus memperhatikan sekeliling bukit tersebut, karena barangkali ia menemukan orangtuanya.
Tetapi, nihil. Tak ada, hingga akhirnya kuda berhenti tak jauh dari sebuah kerumunan yang Adara duga sebagai tempat Raja menunggu lima prajuritnya itu.
"Ayo, ikuti kami," ujar salah satu prajurit itu mengajak Adara.
Adara tak paham, hanya mengikuti sambil memeluk erat kain yang berisi pakaian berwarna emas serta mahkota dan juga beberapa lembar uang.