Hanif masih mendengarkan dengan sangat antusias.
Kemudian sang ibu dengan penasaran menanyakan lagi kepada sang ulama bahwa Muhammad bin Idris Asy Syafi'i yang manakah yang maksud? ulama tersebut pun menjawab bahwa ia merupakan ulama besar yang berasal dari kota mekah. Sang Ibu pun Terkejut mengetahui bahwa guru ulama tersebut merupakan anaknya. Kemudian sang ulama menyampaikan kepada ibunya imam syafi'i bahwa ia ingin berpesan apa kepada sang anak? Sang ibu pun menjawab bahwa ia telah memperbolehkan sang anak untuk pulang ke rumahnya.
Sesampainya sang ulama tersebut di Irak ia langsung menyampaikan pesan tersebut kepada sang guru. Imam syafi'i yang mendengar kabar tersebut langsung bergegas untuk pulang ke mekah. Mendengar kabar sang imam ingin pulang penduduk irak sangat sedih, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika sang imam ingin pulang, masyarakat serta sang murid pun telah menyiapkan bekal kepada sang imam. Karena sang imam telah menjadi ulama besar di irak ia pun menerima bekal yang sangat banyak, ratusan ekor unta telah diterimanya dari masyarakat dan muridnya disana.
Sesampainya sang imam di pinggir kota mekah, ia pun memerintahkan sang murid untuk me memberitahukan sang ibu bahwa anaknya telah berada di pinggir kota mekah. Sang ibu bertanya apakah yang ia bawa? sang murid pun menjawab dengan bangga bahwa sang imam membawa ratusan ekor unta dan harta lainnya. Mendengar itu sang ibu pun sangat marah dan ia tidak memperbolehkan sang anak untuk pulang.
Dengan rasa bersalahnya sang murid kembali menjumpai sang guru dan menyampaikan bahwa sang ibu marah dan tidak memperbolehkannya pulang. Mendengar berita itu sang imam sangat ketakutan dan menyuruh sang murid untuk mengumpulkan seluruh orang-orang miskin di kota mekah, kemudian ia memberikan seluruh harta yang ia bawa hingga yang tersisa hanya kitab-kitab dan ilmunya. Kemudian sang imam memerintahkan sang murid untuk memberitahu sang ibu tentang hal ini, setelah mendengar kabar tersebut sang ibu pun memperbolehkan sang imam untuk pulang.
Cerita-cerita seperti ini sangat populer dalam kitab-kitab klasik, salah satunya diabadikan dalam Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali yang diterbitkan pada abad ke-12.
Sebuah syair dari Al-Busti (400 H) bisa mewakili bagaimana ulama-ulama dahulu sangat menjunjung tinggi ilmu.
Ya khādimal jism, kam tusqa bihidmatihi
Litathlubarribha mimmā fihi khusran
Aqbil alanaffsi, wastakmil fadhōilaha
Fa anta, binnafsi la biljismi insānun
Wahai budak raga! Betapa susah payah kau melayaninya!
Engkau ingin mengejar keuntungan darinya, tetapi hanya kerugian yang kau dapati.
Berpalinglah kepada pikiran, genapkanlah kesempurnaannya:
lantaran pikiran, bukan raga, engkaulah manusia
Manusia sempurna karena akal pikirannya. Akal pikiran yang sempurna tentu diberi asupan gizi yang sempurna pula. Asupan gizi yang dimaksud tentu saja adalah ilmu dan hikmah. Fatah Musali berkata "alaisa maridh idza muni'a thoam wa syarbu wa dawa' yamutu? Kadzalika qalbu idza muni'a anhulhikmah wal ilmu tsalatata ayyam yamutu" ("bukankah bagi seorang yang sakit dan tidak diberi makan, minum, dan obat-obatan akan segera meninggal? Demikian pula hati. Tiga hari saja tidak digelontor ilmu dan hikmah ia sekonyong-konyong akan mati").
Sadar akan derajat dan kemuliaan Ilmu, ulama-ulama terdahulu memiliki tradisi mengembara untuk mencari ilmu. Mereka rela bertandang ke lokasi-lokasi nan jauh dari tempat domisili demi mencari ilmu.
Al-Bukhari (256 H) adalah pengembaranya pengembara ilmu. Kegigihannya dalam belajar ilmu hadis dimulai sejak usia enam belas. Ia keluar masuk perkampungan, menyusuri sekian ratus kota, berkenalan dari satu negara ke negara lain demi belajar dan sekaligus mengumpulkan riwayat-riwayat Nabi Muhammad.
Perjalanan yang paling spektakuler ia tempuh antara Mesir sampai Khurasan. Perjalanan yang melelahkan, namun membahagiakan. Pengembaraan panjangnya berbuah manis. Kegigihannya menuai hasil. Ia sukses mengumpulkan tidak kurang dari enam ratus ribu hadis yang tujuh ribu di antaranya masuk ke dalam kitab yang disusunnya, Shahih Bukhari.
Ketangguhan menempuh perjalanan jauh dalam pengembaraan mencari ilmu pernah dilakukan juga oleh Imam Baqi bin Makhlad. Ia menempuh jarak yang sedemikian panjang, membentang antara Mesir dan Syam (dalam geografi saat ini terletak di sekitar Suriah).
Seperti diterangkan dalam kitab Tadzkiratul Huffadz, ia menghabiskan waktu selama empat belas tahun untuk pengembaraan pertama. Sementara pengembaraan kedua ia lakoni dari Hijaz (sekitar Makkah) menuju Baghdad, Irak. Episode ini menelan waktu dua puluh tahun usianya (hlm. 630).
Al-Ghazali, sarjana brilian di antara sarjana-sarjana Muslim klasik, memiliki cerita yang tidak kalah heroik. Kisah kegigihannya mencari ilmu adalah sejarah kesedihan dan kepahitan.
Terlahir dari keluarga yang kurang berada, Al-Ghazali berangkat ke sekolah dengan uang saku yang pas-pasan. Sekali waktu, ia mengemukakan pengakuan yang sangat mengejutkan bahwa motivasinya berangkat ke sekolah adalah agar mendapatkan makanan. Sebab di rumah ia tidak pernah menjumpai makanan selezat hidangan di sekolah.
Ia belajar dengan sangat tekun, sampai akhirnya bertemu Imam Juwayni, ahli fikih yang sangat populer. Juwayni di kemudian hari berhasil menggembleng Al-Ghazali menjadi sosok ulama yang sangat disegani keilmuannya.
Imam Ghazali seorang Ulama besar dalam sejarah Islam, bergelar Hujjatul Islam yang banyak hafal hadist Nabi SAW. Beliau dikenal pula sebagai ahli dalam filsafat dan tasawuf yang banyak mengarang kitab-kitab, bahkan Imam Ghozali sendiri yang memiliki gelar Hujjatul Islam itu merasa belum puas meskipun sudah memiliki banyak karya ilmiah.
Suatu ketika Imam Al Ghazali menjadi imam disebuah masjid . Tetapi saudaranya yang bernama Ahmad tidak mau berjamaah bersama Imam Al Ghazali lalu berkata kepadanya ibunya :
"Wahai ibu, perintahkan saudaraku Ahmad agar shalat mengikutiku, supaya orang-orang tidak menuduhku selalu bersikap jelek terhadapnya".
Ibu Al Ghazali lalu memerintahkan puteranya Ahmad agar shalat makmum kepada saudaranya Al Ghazali. Ahmad pun melaksanakan perintah sang ibu, shalat bermakmum kepada Al Ghazali.Namun ditengah-tengah shalat, Ahmad melihat darah membasah perut Imam. Tentu saja Ahmad memisahkan diri.
Seusai shalat Imam Al Ghazali bertanya kepada Ahmad, saudaranya itu : "Mengapa engkau memisahkan diri (muffaragah) dalam shalat yang saya imami ? ". Saudaranya menjawab : "Aku memisahkan diri, karena aku melihat perutmu berlumuran darah."