Hanif merenung lalu membaca soal renungan.
"Setidaknya ada dua landasan yang bisa dijadikan rujukan untuk bisa dicatat sebagai amal kebaikan, jadi teringat sebuah kisah sebagaimana tercatat dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah pernah berkisah tentang tiga orang pria pada masa pra-Islam yang terjebak dalam sebuah gua. Cerita dimulai ketika hujan turun dan mereka berteduh dalam gua di suatu gunung. "Bleg!" Tiba-tiba saja sebongkah batu besar jatuh menutup mulut gua dan mengurung ketiga laki-laki tersebut. Mereka tak cukup tenaga untuk menggeser batu raksasa itu. Yang paling bisa mereka lakukan hanyalah berdoa.
"Coba ingat-ingat amal baik kalian yang betul-betul tulus karena Allah, lalu berdoalah lewat perantara amal tersebut. Semoga Allah memberi jalan keluar," kata salah seorang dari mereka. Sesaat kemudian temannya mengadu kepada Allah dan mulai menyebutkan amal perbuatan baiknya. "Ya Allah ya Tuhanku, aku mempunyai dua orang tua yang sudah lanjut usia, juga seorang istri dan beberapa orang anak yang masih kecil. Aku menghidupi mereka dengan menggembalakan ternak. Apabila pulang dari menggembala, aku pun segera memerah susu dan aku dahulukan untuk kedua orang tuaku. Lalu aku berikan air susu tersebut kepada kedua orang tuaku sebelum aku berikan kepada anak-anakku. Pada suatu ketika, tempat penggembalaanku jauh, hingga aku pun baru pulang pada sore hari. Kemudian aku dapati kedua orang tuaku sedang tertidur pulas. Lalu, seperti biasa, aku segera memerah susu dan setelah itu aku membawanya ke kamar kedua orang tuaku. Aku berdiri di dekat keduanya serta tidak membangunkan mereka dari tidur. Akan tetapi, aku juga tidak ingin memberikan air susu tersebut kepada anak-anakku sebelum diminum oleh kedua orang tuaku, meskipun mereka, anak-anakku, telah berkerumun di telapak kakiku untuk meminta minum karena rasa lapar yang sangat. Keadaan tersebut aku dan anak-anakku jalankan dengan sepenuh hati hingga terbit fajar. Ya Allah, jika Engkau tahu bahwasanya aku melakukan perbuatan tersebut hanya untuk mengharap ridla-Mu, maka bukakanlah suatu celah untuk kami hingga kami dapat melihat langit!" Doa tersebut terkabulkan. Allah subhanahu wa Ta'ala membuka celah lubang gua tersebut. Namun, satu pun dari mereka bertiga belum ada yang bisa keluar dari celah tersebut. Salah seorang dari mereka berdiri sambil berkata, "Ya Allah ya Tuhanku, kepada putri pamanku aku pernah jatuh cinta layaknya seorang pria yang begitu menggebu-gebu menyukai wanita. Suatu ketika aku pernah mengajaknya untuk berbuat mesum, tetapi ia menolak hingga aku dapat memberinya uang seratus dinar. Setelah bersusah payah mengumpulkan uang seratus dinar, akhirnya aku pun mampu memberikan uang tersebut kepadanya. Ketika aku berada di antara kedua pahanya (telah siap untuk menggaulinya), tiba-tiba ia berkata; 'Hai hamba Allah, takutlah kepada Allah dan janganlah kamu membuka cincin (menggauliku) kecuali setelah menjadi hakmu.' Lalu aku bangkit dan meninggalkannya. Ya Allah ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau pun tahu bahwa aku melakukan hal itu hanya untuk mengharapkan ridhla-Mu. Oleh karena itu, bukakanlah suatu celah lubang untuk kami!" Dan inilah kisah yang memiliki alur yang sama dengan Hanif yaitu tentang pembiaran nafsu syahwat yang tidak jadi dilakukan karena takut pada Alloh SWT.
Kemudian setelah itu Allah pun membukakan sedikit celah lagi untuk mereka bertiga. Tapi lagi-lagi mereka masih belum bisa keluar dari gua. Giliran seorang teman lagi yang berdiri lalu memanjatkan doa: "Ya Allah ya Tuhanku, dulu aku pernah menyuruh seseorang untuk mengerjakan sawahku dengan cara bagi hasil. Ketika ia telah menyelesaikan pekerjaannya, ia pun berkata, 'Berikanlah hakku!' Namun aku tidak dapat memberikan kepadanya haknya tersebut hingga ia merasa sangat jengkel. Setelah itu, aku pun menanami sawahku sendiri hingga hasilnya dapat aku kumpulkan untuk membeli beberapa ekor sapi dan menggaji beberapa penggembalanya. Selang berapa lama kemudian, orang yang haknya dahulu tidak aku berikan datang kepadaku dan berkata; 'Takutlah kamu kepada Allah dan janganlah berbuat zalim terhadap hak orang lain!' Lalu aku berkata kepada orang tersebut, 'Pergilah ke sapi-sapi dan para penggembalanya itu dan ambillah semuanya untukmu!' Orang tersebut menjawab, 'Takutlah kepada Allah dan jangan mengejekku!' Kemudian aku katakan lagi kepadanya, 'Sungguh aku tidak bermaksud mengejekmu. Oleh karena itu, ambillah semua sapi itu beserta para pengggembalanya untukmu!' Akhirnya orang tersebut memahaminya dan membawa pergi semua sapi itu. Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah mengetahui bahwa apa yang telah aku lakukan dahulu adalah hanya untuk mencari ridla-Mu. Oleh karena itu, bukalah bagian pintu gua yang belum terbuka!' Akhirnya Allah pun membukakan sisanya hingga mereka dapat keluar dari dalam gua yang terhalang batu besar tersebut.
Hadits tersebut mengungkap pesan bahwa doa yang disertai tawasul melalui amal saleh memiliki faedah yang nyata. Memprioritaskan berbakti kepada kedua orang tua dibanding yang lain, keberanian untuk keluar dari godaan berat berbuat zina, dan kewajiban memenuhi hak buruh, sebagaimana dipaparkan dalam kisah tersebut adalah contoh dari sekian banyak kebajikan lain yang mampu menjadi "solusi" tatkala kita dalam situasi terdesak. Hanya saja, amal-amal baik apa pun tentu tak berarti apa-apa kecuali tujuan pokoknya hanya untuk mencari ridha Allah, dan semoga dikemudian kelak sikap Hanif seperti ini bisa dijadikannya sebagai amal kebaikan untuk bisa meraih kemenangan di dalam hidupnya amin ...
Selanjutnya kisah yang juga bisa dijadikan rujukan perbuatan Hanif dalam merelakan haknya duduk dan kemudian memberikannya kepada orang lain itu juga mirip-mirip dengan perbuatan salah satu sahabat nabi Muhammad Saw yang rela memberikan makanannya untuk tamu meskipun dia dan keluarganya membutuhkan makanan itu.
Adalah Abu Thalhah Al-Anshari, salah satu sahabat nabi yang rela kelaparan demi menghormati tamunya yang datang ke rumahnya.
Suatu hari ada seorang musafir laki-laki yang mendatangi masjid Nabawi. Ia datang pada mulanya untuk melakukan salat di masjid Rasulullah itu. Sesudah ia salat ia memohon izin untuk bertemu Rasulullah di rumahnya.
Tidak lama kemudian ia pun bertemu dengan Rasulullah. Seketika musafir itu menanyakan kepada Rasulullah akan ketersediaan makanan di rumahnya karena ia belum makan dalam beberapa hari.
Akhirnya Rasulullah menanyakan kepada seorang istrinya tentang persediaan makanan di rumah. Adakah persediaan makanan untuk hari ini wahai istriku tanya Rasulullah. Istrinya pun menjawab: tidak ada wahai Ayah.
Mendengar itu Rasulullah pun pergi ke rumah istrinya yang lain menanyakan makanan untuk sang tamunya itu. Namun sama, jawaban istri yang kedua ketika ditanya ketersediaan makanan juga menjawab tidak ada.
Beliau pun pergi ke rumah istri-istri yang lain. Akan tetapi sama saja, tidak ada makanan yang tersedia sama sekali di antara para istri nabi itu untuk sekadar memberi makan tamu musafirnya.
Akhirnya Rasulullah pun pergi ke masjid Nabawi menanyakan kepada para sahabatnya akan siapa yang memiliki ketersediaan makanan.
Setelah beberapa lama akhirnya berdirilah sahabat Abu Thalhah Al-Anshari. Saya bersedia untuk menjamu tamu ini wahai Rasulullah. Biarlah musafir ini makan malam bersama keluargaku. kata Thalhah.
Mendengar jawaban Abu Thalhah Rasulullah pun tersenyum. Akhirnya tidak lama tamu itu pun diajak Abu Thalhah menuju rumahnya. Dan sesampainya di rumah, ketika tamunya itu sudah duduk di ruangan tamu, Abu Thalhah menanyakan ketersediaan makanan pada Umu Salamah istrinya itu.
Adakah ketersediaan makanan malam ini? tanyanya.
Tidak ada. Kecuali untuk makan malam anak-anak malam hari ini. jawab Umu Salamah.
Mendengar itu Rasulullah pun pergi ke rumah istrinya yang lain menanyakan makanan untuk sang tamunya itu. Namun sama, jawaban istri yang kedua ketika ditanya ketersediaan makanan juga menjawab tidak ada.
Beliau pun pergi ke rumah istri-istri yang lain. Akan tetapi sama saja, tidak ada makanan yang tersedia sama sekali di antara para istri nabi itu untuk sekadar memberi makan tamu musafirnya.
Akhirnya Rasulullah pun pergi ke masjid Nabawi menanyakan kepada para sahabatnya akan siapa yang memiliki ketersediaan makanan.
Setelah beberapa lama akhirnya berdirilah sahabat Abu Thalhah Al-Anshari. Saya bersedia untuk menjamu tamu ini wahai Rasulullah. Biarlah musafir ini makan malam bersama keluargaku. kata Thalhah.
Mendengar jawaban Abu Thalhah Rasulullah pun tersenyum. Akhirnya tidak lama tamu itu pun diajak Abu Thalhah menuju rumahnya. Dan sesampainya di rumah, ketika tamunya itu sudah duduk di ruangan tamu, Abu Thalhah menanyakan ketersediaan makanan pada Umu Salamah istrinya itu.
Adakah ketersediaan makanan malam ini? tanyanya.
Tidak ada. Kecuali untuk makan malam anak-anak malam hari ini. jawab Umu Salamah.
Mendengar itu akhirnya Abu Thalhah meminta ke istrinya agar menyibukkan anak-anaknya dengan bermain, sehingga mereka akan lelah dan kemudian tidur dan mereka pun lupa untuk makan malam pada hari itu.
Tidak lama kemudian makanan dikeluarkan. Sebelum Abu Thalhah menemui tamu di depan dan membawa makanan, ia meminta pada istrinya agar disediakan piring kosong di depannya supaya terlihat dirinya juga makan.
Demikian itu agar sang tamu tidak canggung ketika makan bareng dengan Abu Thalhah. Hal itu juga dilakukan olehnya sebab memang tidak ada makanan lagi kecuali untuk tamunya itu. Pada saat itu Abu Thalhah juga meminta maaf karena lampu rumahnya mati sebab kehabisan minyak.
Keesokan harinya pasangan suami istri itu mendatangi Rasulullah, dan Rasulullah pun langsung mengapresiasi atas apa yang dilakukan oleh keduanya. Rasulullah bangga dengan Abu Thalhah dan Ummu Salamah yang sudah memuliakan tamu walau harus mengorbankan diri dan keluarganya.