Chereads / Musafir Hub (Perjalanan Cinta) / Chapter 25 - Tersentuh

Chapter 25 - Tersentuh

Rupanya Pak Sopir itu tersentuh hatinya setelah melihat ketekunan Hanif dan Naila dalam menjalankan ibadah, meski dalam kondisi yang serba darurat.

"Bapak yang jadi imam ya?" ujar Hanif menawarkan.

"Ah, kamu ada-ada aja, lha wong aku doa sholat aja belum lancar kok malah suruh jadi imam, udah situ saja, aku ngikut." Dan akhirnya mereka pun langsung sholat berjamaah di pinggiran jalan hutan Saradan itu.

Begitu usai sholat Pak Sopir itu berkata, "Tapi tadi itu aku tidak wudu lho, terus kira-kira gimana sholat ku?" Hanif yang masih belum cukup pengertiannya untuk menjawab pertanyaan tersebut akhirnya mengedipkan matanya pada Naila sebagai isyarat agar supaya Naila yang menjawab, dan untungnya Naila pun juga langsung tanggap.

"Dalam keadaan yang mendesak boleh Pak seseorang melakukan sholat dengan kondisi seadanya meskipun belum memenuhi syarat dan rukunnya yang terpenting ada niatan untuk terus belajar dan berusaha memperbaiki," ujar Naila terdengar cukup bijak dalam memberikan jawaban.

Sholat lima waktu adalah ibadah yang wajib dikerjakan umat Muslim. Namun, tak sedikit yang masih malas mengerjakannya dengan berbagai alasan. 

Nah, agar tetap bersemangat menjalankan ibadah sholat, berikut beberapa cara yang bisa di terapkan tiap-tiap orang untuk memotivasi diri agar lebih giat beribadah, 

Yang pertama tentu adalah niat, segala sesuatu harus diawali dengan niat. Dengan niat yang sungguh-sungguh, apa yang dicita-citakan dapat segera tercapai, termasuk soal urusan beribadah.

Lalu kemudian berdoa kepada Allah.

Berdoalah kepada Allah SWT supaya dipermudah dan diringankan ketika hendak beribadah, agar Allah senantiasa meridhoi niat yang sedang kamu usahakan, sehingga kemudahan selalu menyertai langkahmu. 

Selanjutnya berkumpul dengan orang-orang yang Sholeh yang teguh dalam menjalankan ibadah dalam kondisi bagaimana pun.

Lingkungan bergaul atau teman sangat menentukan untuk memotivasi mu lebih bersemangat dalam beribadah. Maka, pilihlah lingkungan yang lebih kondusif dengan berkumpul bersama orang-orang saleh, agar kebaikan mereka bisa menular ke kamu. 

Lalu tidak kalah pentingnya lagi adalah menggunakan pakaian yang nyaman dalam beribadah.

Memakai peralatan sholat dengan yang nyaman dan berkualitas baik juga bisa menambah semangat beribadah lho. Misalnya sajadah, baju koko, peci atau bagi kaum Hawa, mukena.

Jadi pada dasarnya semua umat beragama meyakini adanya tuhan. Setiap agama juga pasti memiliki ritual ibadah sebagai bentuk penghambaan dan untuk menjaga hubungan ruhani dengan tuhan yang disembahnya. Sebagai makhluk yang lemah dan penuh kekurangan, tentu tabiat manusia adalah menyukai segala bentuk kemudahan dalam beraktivitas, termasuk kemudahan dalam aktivitas ibadah.

Sebagai agama yang membumi, Islam menyadari realitas tersebut. Namun agama Islam memiliki karakter dan prinsip yang tidak dimiliki oleh agama-agama terdahulu, bahkan agama-agama yang masih eksis sampai hari ini. Islam menganut prinsip 'memudahkan dalam beribadah' (raf'ul ḫaraj). Sebuah prinsip 'mahal' yang berasaskan kasih sayang untuk pemeluknya, yang jarang dimiliki oleh agama pada umumnya.

Agama Islam sudah diformat oleh Allah swt dengan aturan-aturan yang tidak akan pernah lapuk dimakan zaman. Sampai kapan pun, Islam akan selalu relevan. Oleh karena itu, syariat yang ada di dalamnya dibangun atas dasar kemudahan. Dengan kemudahan itu, Islam bisa tetap eksis sampai kapan pun.

Semua umat beragama meyakini adanya tuhan. Setiap agama juga pasti memiliki ritual ibadah sebagai bentuk penghambaan dan untuk menjaga hubungan ruhani dengan tuhan yang disembahnya. Sebagai makhluk yang lemah dan penuh kekurangan, tentu tabiat manusia adalah menyukai segala bentuk kemudahan dalam beraktivitas, termasuk kemudahan dalam aktivitas ibadah. Sebagai agama yang membumi, Islam menyadari realitas tersebut. Namun agama Islam memiliki karakter dan prinsip yang tidak dimiliki oleh agama-agama terdahulu, bahkan agama-agama yang masih eksis sampai hari ini. Islam menganut prinsip 'memudahkan dalam beribadah' (raf'ul ḫaraj). Sebuah prinsip 'mahal' yang berasaskan kasih sayang untuk pemeluknya, yang jarang dimiliki oleh agama pada umumnya.

Agama Islam sudah diformat oleh Allah swt dengan aturan-aturan yang tidak akan pernah lapuk dimakan zaman. Sampai kapan pun, Islam akan selalu relevan. Oleh karena itu, syariat yang ada di dalamnya dibangun atas dasar kemudahan. Dengan kemudahan itu, Islam bisa tetap eksis sampai kapan pun. Syekh Dr. Ahmad Ath-Thayyib menjelaskan, "Syariat Islam sudah diformat untuk mengatur situasi dan kondisi umat muslim sepajang roda kehidupan. Oleh karena itu, hukum-hukum syariat yang berlaku dibangun atas dasar 'memudahkan', bukan 'memberatkan'. Sebagaimana firman Allah, 'Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu,' (QS. Al-Baqarah [2]: 185) dan hadits Nabi, "Mudahkanlah dan jangan kalian persulit. Berilah kabar gembira, jangan membuat orang lari" (HR Bukhari dan Muslim).

Jika kita bandingkan syariat Bani Israil (umat Nabi Musa), kita akan menemukan perbedaan yang sangat kontras dalam praktik ibadah yang dilakukan oleh umat Islam (umat Nabi Muhammad). Dalam syariatnya, Bani Israil harus mengeluarkan zakat sebesar seperempat dari harta yang mereka miliki. Jika punya harta sebanyak 100 juta saja, berarti harus membayar zakat sebesar 25 juta. Bani Israil juga wajib melaksanakan shalat sebanyak 50 waktu dalam satu hari satu malam. Cara Bani Israil bertaubat juga sangat ekstrem, yaitu dengan cara bunuh diri.  

Kita umat Islam cukup membayar kewajiban zakat fitrah sebesar 2,5 sampai 3,0 kilogram. Shalat juga hanya diwajibkan lima waktu dalam sehari semalam, dan bertaubat cukup dengan menyesali dosa serta berjanji untuk tidak mengulanginya. Anehnya, sudah sebegitu ringan, masih saja kita malas-malasan untuk shalat dan jarang, atau bahkan belum pernah bertaubat kepada Allah swt. Ini yang perlu kita benahi dalam diri kita.   Mengutip Syekh Ar-Rahmani, Syekh Abu Daud Sulaiman al-'Ujaili menuturkan,

"Cara menghilangkan najis bagi umat Islam merupakan keistimewaan umat itu sendiri. Allah swt berfirman, 'Janganlah Engkau bebankan kepada kami,' (QS. Al-Baqarah [2]: 286), maksudnya adalah (jangan membebani) sesuatu yang memberatkan kami (umat Islam) dalam bentuk beban-beban yang terlalu berat sebagaimana yang dulu dialami Bani Israil. Cara bertaubat mereka dengan bunuh diri, zakat mereka dengan mengeluarkan seperempat dari harta yang dimiliki, mensucikan najis dengan memotong bagian yang terkena najis, dan melalukan shalat sebanyak lima puluh waktu dalam sehari semalam. (Sulaiman al-'Ujaili, Hasyiyatul Jamal, juz I, hal. 266).

Senada dengan al-'Ujaili, menurut Ibnu Hajar, dulu Bani Israil jika bagian tubuhnya terkena najis, konsekuensinya adalah memotong bagian yang terkena najis itu. Kita umat Islam cukup mencuci bagian yang terkena naji dengan air saja. (Ibnu Hajar, Fathul Bari, juz II, h. 311).   Termasuk di antara keistimewaan yang dimiliki umat Islam adalah, jika melakukan dosa, mereka tidak langsung menerima siksa. Bahkan jika melanggar aturan syariat karena tidak sengaja atau karena lupa, maka tidak terhitung sebagai dosa. Berbeda dengan Bani Israil, begitu mereka melakukan dosa, meskipun tidak disengaja atau lupa, maka seketika itu juga siksa turun, plus hukuman tambahan yaitu haram untuk makan minum sesuai kadar dosa yang mereka perbuat. (Syekh Tsana'ullah al-Madzhari, Tafsir al-madzhari, juz I, h. 427).

Sebagai umat Muslim, mari kita syukuri nikmat kemudahan beribadah kepada Allah swt dengan meningkatkan kuantitas serta kualitas ibadah. Bayangkan, jika syariat Bani Israil diadopsi total oleh umat Islam, setiap kita nyeker dan menginjak najis, habis sudah kaki kita dipotong karena sering menginjak najis. Mungkin orang akan berpikir dua kali untuk memelihara ayam di rumah, karena pasti akan lebih sering menginjak kotoran ayam.

Akan tetapi ada sebagian kalangan sufi yang kadang memilih jalan ekstrim dalam menjalankan ibadahnya, bahkan tidak jarang cara yang mereka lakukan itu menurut orang umum adalah sebuah perbuatan yang berat bahkan malah bisa jadi sebuah penderitaan dalam beragama.

Akan tetapi para sufi memaknai penderitaan ini sebagai wijhat min al-ta'arruf atau cara Tuhan menyingkapkan diri agar dikenali lebih dekat lagi, memperdalam kecintaan pada Ilahi, dan tidak tergoda pada kemolekan duniawi. Dampaknya, banyak kisah-kisah sufi yang menjalankan puasa sepanjang hidupnya, ibadah sholat malam dalam jumlah rakaat yang banyak, bahkan dalam praktek menjalani hidup mereka memilih untuk tetap membiarkan dirinya hidup dalam keadaan miskin, kemalangan, dan tersiksa.

Bahkan gambaran umum kita tentang sufi didominasi oleh bayangan laki-laki tua berpakaian compang-camping yang sudah tidak melirik dengan kemewahan dunia.

Dalam beribadah Islam memberikan tuntunan para penganutnya dengan taysir (Kemudahan) dan maslahat.

Ujian iman dalam Islam salah satunya melalui penderitaan. Tidak dikatakan beriman manakala seorang muslim dalam hidupnya ditempa terlebih dahulu dengan berbagai penderitaan. Dalam QS. al-Baqarah ayat 155-157 dan al-Taghabun ayat 11 menjelaskan bahwa Allah memberikan penderitaan berupa sedikit ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta untuk menyeleksi hamba-hamba-Nya. Allah berjanji akan mengangkat derajat manusia yang mampu menerima cobaan berupa derita dengan sabar, tenang, dan ikhlas.

Para sufi memaknai penderitaan ini sebagai wijhat min al-ta'arruf atau cara Tuhan menyingkapkan diri agar dikenali lebih dekat lagi, memperdalam kecintaan pada Ilahi, dan tidak tergoda pada kemolekan duniawi. Dampaknya, banyak kisah-kisah sufi yang tetap membiarkan dirinya hidup dalam keadaan miskin, kemalangan, dan tersiksa. Bahkan gambaran umum kita tentang sufi didominasi oleh bayangan laki-laki tua berpakaian compang-camping.

Ibadah itu tidak boleh dengan menderita, harus dengan kemudahan dan kenyamanan.

Kesan penderitaan sebagai alat ukur kualitas keimanan dalam perkembangannya membuahkan sikap keagamaan yang cenderung aneh. Rasa-rasanya semakin menderita semakin dekat dengan Tuhan. Akhirnya mereka kadang membuat-buat penderitaan dalam beragama. Ada orang yang tetap memaksakan puasa saat bepergian, enggan melaksanan salat jamak saat dalam perjalanan, dan melakukan sembahyang salat lengkap dengan sajadah dan mukena di tengah-tengah keramaian terminal. Ketaatan yang keras kepala ini sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan kualitas keimanan.

Padahal Nabi Saw pernah menegur sahabat yang beribadah secara berlebih-lebihan. Sebagai generasi terbaik dalam periode umat Islam, kehidupan para sahabat sangat lekat dengan aktivitas Nabi sehari-hari. Oleh karena itu, wajar saja jika mereka sangat merasakan betul 'aura nubuwah' dalam diri Rasulullah. Sehingga menjadi wajar semangat ibadah mereka terlihat luar biasa. Andai Nabi menyuruh shalat sepanjang malam dan puasa tiap hari pun, bagi mereka yang betul-betul beriman saat itu, bukan masalah.

Dalam satu hadits riwayat Imam al-Bukhari dikisahkan, suatu hari datang tiga orang sahabat ke istri-istri Nabi. Mereka semua penasaran dengan laku ibadah Nabi. Sebagai orang yang tinggal serumah, istri Nabi tentu lebih tahu detail aktivitas Nabi, termasuk dalam hal ibadah.   Kunjungan tiga sahabat itu tidak diketahui oleh Rasulullah. Begitu mereka mendengar penjelasan apa dan bagaimana ibadah Nabi, mereka heran, ternyata ibadah Nabi tidak sesuai dengan ekspektasi yang mereka bayangkan. Dalam pandangan mereka, sebagai Nabi yang tentu memiliki tingkat spiritualitas tinggi, ibadahnya pasti luar biasa. Tapi realitasnya tidak demikian.   Mereka pun berkesimpulan, "Wajar Nabi ibadahnya sedikit begitu, ia kan sudah dijamin mendapat ampunan dari Allah. Kalau kita? Ya tetap harus berlomba dalam beribadah. Siapa yang ibadahnya paling hebat, dia lah yang pahalanya terbanyak," hemat mereka.

Sejurus kemudian, mereka bertekad untuk beribadah dengan lebih melangit lagi. Ada yang berjanji akan melaksanakan shalat malam selamanya. Ada pula yang bersikukuh untuk berpuasa setiap hari. Bahkan, ada juga yang mantap menyatakan untuk membujang seumur hidup demi fokus beribadah. Tekad 'konyol' mereka ini sampai ke telinga Rasulullah. Segeralah Rasulullah menemui mereka. "Apa betul kalian yang berkata demikian?" Nabi mengawali. "Demi Allah, aku adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Tapi tidak selamanya juga aku shalat malam, tidak setiap hari pula aku berpuasa, dan aku juga tetap menikahi wanita!" Lanjut Nabi. "Siapa yang tidak menyukai sunnahku, ia bukanlah dari bagianku!" tegas Nabi.

Berkaitan hadits di atas, Ibnu Hajar menjelaskan, ibadah yang dilakukan dengan terlalu berambisi, justru bisa menyebabkan rasa bosan. Kalau sudah bosan, semangat ibadah turun. Lain lagi jika ibadah dilakukan dengan sewajarnya (tidak malas-malasan, juga tidak berlebihan), hasilnya adalah ibadah dikerjakan dengan konsisten. (Ibnu Hajar, Fathul Bari, juz IX, h. 7)   Secara  gamblang, sabda Nabi di atas menegaskan bahwa bersikap moderat adalah bagian dari sunnah rasul. Termasuk dalam persoalan ibadah. Jangan sampai alih-alih berlomba mendapat pahala, justru mencelakakan diri sendiri dan tidak dianggap mengikuti ajaran Nabi Muhammad Saw.