Naya masih terdiam dan tetap membatu. Hanya kedipan mata dan tarikan nafasnya yang terlihat hidup di sana. Dengan cepat Seno merapikan baju tidur Naya setelah selesai mengolesi semuanya.
"Jika kamu belum bisa menerima pernikahan kita … aku paham itu. Tapi yang harus kamu ketahui adalah menikah tidak akan menghalangi kamu untuk menggapai cita-citamu selama ini," Seno berusaha membuka pikiran Naya yang memandang pernikahan akan menghalangi citanya.
Naya masih terdiam.
"Dua pekan lagi aku tidak akan berada di sampingmu, jadi aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengurusmu. Meski rasa tak terima akan pernikahan kita masih bersemayam di hatimu," Seno terus mengoceh pada Naya yang sejak tadi memalingkan wajahnya.
Lalu ia menarik selimbut itu perlahan menutupi tubuh mungil istrinya dan sebelum ia benar-benar pergi ke kamarnya ia tatap wajah Naya yang terlihat pucat itu.