"Enggak usah tahu tentangku, enggak usah sok baik juga."
"Okay, mulai detik ini juga kita berlakukan itu."
Rigel segera pergi dari samping Leandra dan membersihkan dirinya, setelah itu pun ia langsung beristirahat karena akhir-akhir ini pasiennya cukup banyak.
Leandra heran mengapa Rigel seperti itu, seingat Leandra ia tidak mengatakan hal-hal yang menyinggungnya. Akan tetapi, ia tidak tahu jika Rigel yang lelah itu mengikuti apa yang Lea mau tidak mempertanyakan apapun kegiatan yang ia lakukan.
Mentari pagi sudah menampakkan cahaya, memasuki kamar melewati jendela dan menyelinap diantara dedaunan.
"Rigel," panggil Lea pelan.
"Kamu tetap antar aku ke kampus 'kan?"
Rigel menganggukkan kepalanya. Tidak biasanya mereka banyak diam, karena hampir setiap bertemu mereka selalu berdebat.
Kini Leandra sudah diantarkan ke kampus dan Rigel kembali ke rumah sakit. Benar-benar aneh perlakuan Rigel pagi ini. Lea pun bingung apa yang sebenarnya terjadi.
"Murung banget, kenapa Lea?"
Leandra masih diam.
"Ada masalah apa?" tanya Renza langsung pada intinya.
"Aku enggak apa-apa kok."
"Enggak, kamu pasti ada masalah. Ceritalah," pinta Alcie.
"Rigel aneh banget dari semalam dan pagi ini."
"Anehnya?"
"Dia jadi hemat bicara, aku tanya juga kadang dijawab kadang hanya anggukkan saja."
"Kalian ada masalah apa sebelumnya?"
"Enggak ada apa-apa kok. Aku cuma bilang sama dia enggak usah sok baik, dan mau tahu segala urusanku, gitu saja enggak ada yang aneh 'kan?"
"Lea, kamu harusnya enggak begitu. Gini deh dia itu berusaha memperlakukanmu dengan baik itu namanya," papar Renza menjelaskan.
"Jadi aku harus gimana?"
"Gimana Ren?"
"Coba sapa dia, minta maaf kalau perlu."
"Ogah! Ngapain minta maaf sama dia, aku enggak salah kok."
"Tapi kamu murung dengan sikap dingin dia."
"Enggak tahu ah, aku pusing. Anak baru SMA dinikahkan ya begini."
Leandra sebenarnya juga bingung haru bagaimana, jujur saja ia juga tidak enak jika hanya diam saja ketika bersama Rigel.
Waktu pulang sudah tiba, Leandra diantarkan oleh Renza dan Alcie ke rumah. Namun, sampai pukul tujuh malam Leandra belum memasuki rumah. Ia lupa membawa kunci yang sempat Rigel berikan. Hendak menelepon juga ia malu dan juga takut, akhirnya ia hanya menunggu di kursi hingga tertidur.
Rigel yang baru sampai rumah kaget melihat Lea tertidur di atas kursi. Segera ia bangunkan.
"Lea, bangun. Pindah ke dalam."
"Aaa!" pekik Lea karena terkejut melihat orang di hadapannya.
"Ini aku."
"Oh maaf, kaget soalnya."
"Kamu enggak bawa kunci?"
Leandra menggelengkan kepalanya.
"Masuklah."
Leandra menuruti perintah Rigel, ia segera membersihkan dirinya dan setelahnya ia merasa lapar akan tetapi ia belum memasak apapun. Sebenarnya ia mau masak tetapi karena sikap Rigel yang menjadi dingin, ia menjadi segan melakukan apapun di rumah itu. Bahkan sepanjang hari ini Rigel hanya mengeluarkan beberapa kata saja pada Lea.
Ranjang malam ini benar-benar dingin, tidak ada perdebatan apapun. Bahkan kondisi rumah menjadi sepi sekali. Leandra keluar kamar karena ia merasa lapar. Tetapi ia melihat Rigel sedang berada di dapur akhirnya ia menunggu sampai Rigel tidak berada di dapur.
Sebenarnya Leandra agak risau jika masih tidak ada saling sapa dengan Rigel karena besok hari minggu itu artinya berada di rumah seharian.
"Kamu kenapa belum tidur?" tanya Rigel yang mengagetkan Lea di depan pintu kamar.
"Enggak apa-apa," jawab Lea ragu.
Rigel segera berlalu ke ruang kerjanya tanpa menanyakan apakah Lea sudah makan atau belum, bahkan bertanya lainnya pun tidak.
'Dia kenapa sih? Kalau begini aku pengin pulang rasanya.'
Gerutu Leandra ketika mengulik isi dapur, hingga akhirnya ia memasak nasi goreng tidak lupa ia sisihkan satu porsi untuk Rigel. Hari semakin malam dan waktunya istirahat, namun Rigel tidak kunjung tidur. Ia masih berkutat di ruang kerjanya. Namun tidak lama kemudian ia masuk ke kamar dan tampaknya akan tidur juga, cepat-cepat Leandra berpura-pura tidur. Namun tetap saja, Rigel diam membisu.
Pukul 07.00 WIB
Leandra sudah berada di dapur dan berencana akan memasak sarapan, ia melihat nasi goreng yang semalam sama sekali tidak disentuh oleh Rigel, ia merasa kesal dan bingung pada Rigel. Mereka bertemu di dapur ketika Rigel membuat kopi. Rigel sama sekali tidak menyapa Leandra ataupun meliriknya.
"Rigel," panggil Lea karena ia tidak tahan dengan kondisi dingin tersebut.
Rigel hanya berdeham saja.
"Kamu dengar aku enggak sih?"
"Kenapa Lea?" tanya Rigel seraya memperhatikannya.
Entah angin dari mana tiba-tiba Leandra menitikkan air mata, sontak hal itu membuat Rigel biingun keheranan.
"Kamu kenapa nangis? Ada masalah?"
"Kamu kenapa sih? Aku salah apa sama kamu?"
"Maksudnya?"
"Kenapa sedingin ini? Atau kamu mau berbuat senaknya saja? Atau mau memulangkan aku ke rumah Ibu juga?"
"Lea, jangan berlebihan. Aku enggak ada tegur sapa sama kamu atas kemauanmu sendiri."
"Iya tapi, ah entahlah."
"Okay, aku minta maaf."
Leandra masih menangis saja entah apa yang sebenarnya ia rasakan tetapi rasanya kesal, emosi bercampuk aduk. Rigel menepuk-nepuk pundak Leandra, sebenarnya ingin saja Rigel memeluknya tetapi mana mungkin ia berani melakukan hal tersebut.
"Enggak usah pegang-pegang!"
"Jadi aku biarkan saja nanti kamu semakin marah, aku bingung Lea, aku enggak tahu apa yang kamu rasakan."
Leandra berjalan ke kamar dan sepertinya semakin menangis, sedangkan Rigel menatapnya penuh rasa heran. Rigel mengikuti langkah Leandra.
"Lea," panggil Rigel seraya meraih tangannya dan memeluk tubuh tinggi Leandra.
Anehnya Leandra tidak menolak pelukan dari Rigel saat itu. Ia bersemayam di dada bidangnya Rigel.
"Hey, kamu kenapa Lea? Ayolah jangan begini, aku enggak pernah menghadapi perempuan seperti ini."
Leandra melepaskan pelukan itu dengan cepat.
"Jadi perempuan seperti apa yang kamu hadapi?"
"Perempuan yang hampir setiap menit mengajak debat denganku, itu yang aku tahu. Okay, aku minta maaf atas sikapku yang mungkin buat kamu enggak nyaman. Kalau kamu merasa tidak enak bilang, karena aku bukan dukun atau peramal yang selalu tahu pikiranmu."
"Enggak, mungkin aku yang salah. Maaf."
Leandra menyeka sisa air matanya di pipinya.
"Ini masih pagi Lea, masih jam tujuh lewat dan kita sudah berdebat sepagi ini. Kamu enggak capek apa?"
"Enggak!"
"Kamu mau apa? Apa yang sekarang kamu butuhkan?"
"Makan."
"Okay mau beli atau aku masakkan?"
"Bisa masak?"
Rigel menganggukkan kepalanya dengan mantap.
"Ah enggak usah, aku masak sendiri saja. Awas!" menambrak Rigel yang berada di dekat pintu dan berlalu ke dapur.
Rigel masih benar-benar berpikir keras mengapa istrinya begitu, marah, menangis dan berdebat tiada henti. Ia memutuskan untuk duduk di ruang tengah seraya mengerjakan beberapa pekerjaannya.
"Aww!"