"Kalau kamu mau."
"Jangan-jangan kamu Dokter cabul ya?"
"Jangan ngomong sembarangan kamu, aku enggak pernah aneh-aneh ya."
"Ya sudah sana pergi."
Rigel segera pergi dari kamar tersebut dan melanjutkan pekerjaannya.
Kring!
Panggilan dari Ibunya Leandra.
"Iya, Bu?"
["Sehat, nak?"]
"Biasa, tamu Lea datang. Sakit banget, Bu."
["Tetapi sekarang sudah enggak apa-apa 'kan? Minum air hangat sudah?"]
"Iya barusan Rigel kasih obat sama air hangat, Ibu gimana kabarnya?"
["Syukurlah, Ibu, Ayah dan Leonal baik-baik saja. Kamu enggak ada masalah apapun 'kan sama suamimu?"]
"Enggak, Bu."
["Jangan galak sama suamimu, kasihan dia."]
"Galak apanya sih, Bu. Enggak kok."
["Ingat ya pesan Ibu, jangan buat suamimu marah apalagi sampai tidak bertegur sapa, jangan pokoknya."]
Deg!
Ibunya seperti tahu saja apa yang terjadi pada kehidupan anaknya.
"Kenapa enggak boleh, lagian kalau kesal gimana, Bu?"
["Sekesal apapun itu tetap bertegur sapa, enggak boleh bermasalah sama suamimu. Kalau mau mandi siapkan bajunya atau mau kerja siapkan baju kerja dan keperluannya apa saja."]
"Ribet banget sih, Bu. Memang mengurusi sendiri enggak bisa ya?"
["Ya tentu bisa, tetapi itu 'kan bentuk dari perhatian seorang istri. Kamu masak enggak?"]
"Kadang saja."
["Ya sudah selagi suamimu menerima semua itu, tetapi bersikaplah lebih ramah dengan suamimu, coba buka hatimu. Ibu juga menunggu cucu dari kalian."]
"Ah Ibu apaan sih."
Tidak lama dari itu panggilan telepon Ibunya selesai dan Leandra melanjutkan mengompres perutnya seraya berbaring. Perlahan sakitnya mereda setelah ia beristirahat. Ia memikirkan apa yang sudah Ibunya katakan, seolah mengetahui apa yang terjadi saja Ibunya berpesan sedemikian rupa.
Setelah malam tiba dan tepatnya itu malam senin, artinya mereka bersiap dengan aktivitasnya kembali. Setelah Leandra membersihkan dirinya, sore itu ia kembali berbaring seraya memainkan ponselnya dan entah mengapa kepalanya terasa berat dan tertidur dengan posisi ponsel itu tepat di samping pipinya.
Rigel yang masuk ke kamar akan mandi tidak memperhatikan Leandra jika ponselnya berada sangat dekat dengan kepalanya. Namun, setelah mandi Rigel mengetahui hal tersebut dan segera mengambil ponsel tersebut. Akan tetapi, Leandra sepertinya terbangun karena pergerakan dari Rigel.
"Ya! Kamu mau ngapain sih!"
"Aku cuma mau ambil ponselmu itu di dekat kepala, enggak bagus untuk kesehatan, Lea."
"Memangnya kamu enggak bisa apa pakai baju dulu," uring Lea karena ia terbangun dan matanya langsung membelalak karena melihat badan atletis suaminya itu, ia menyebutnya dengan roti sobek.
"Memangnya kenapa? Kamu tergoda?"
"Apaan sih, ya enggaklah. Ngapain juga aku tergoda sama om-om."
Rigel segera berjalan ke arah lemari untuk mengambil bajunya. Ia memilih baju mana yang akan ia kenakan.
"Kamu mau makan apa?"
"Makan apa saja."
"Malam ini aku mau pergi, kamu mau di rumah atau ikut?"
"Ke mana?"
"Ada acara di rumah rekanku, kalau mau ikut silakan bersiap."
"Enggak, terima kasih."
Leandra sebenarnya ingin saja ikut karena tidak mau sendirian di rumah. Tetapi ia kalah dengan rasa gengsinya.
Rigel bersiap dengan serapi dan sewangi mungkin. Entah mengapa, parfum laki-laki selalu lebih wangi dari perempuan.
"Kamu mau ke mana sih sebenarnya?" tanya Leandra penasaran karena wangi parfumnya begitu semerbak.
"Bukannya tadi aku sudah bilang. Kenapa?"
"Enggak."
"Kamu kenapa? Bilang saja Lea."
"Wangi banget, puas!"
Rigel tertawa karena akhirnya Lea berbicara jujur.
"Jadi aku enggak boleh wangi apa gimana?"
"Ih apaan sih ya sudah sana kalau mau pergi wangi atau enggak, bukan urusan aku."
Rigel merapikan pakaiannya dan memakai jam tangannya.
"Ya sudah aku pergi, ada apa-apa telepon saja ya, kalau kangen juga bilang saja enggak apa-apa kok."
"Enggak akan," dengan tatapan sinisnya.
Setelah itu Rigel pergi mengendarai mobilnya. Leandra di rumah sendirian dan merasa bosan sebenarnya. Tetapi apa boleh buat. Sekitar 1 jam setelah Rigel pergi listrik pada rumahnya padam seketika, awalnya biasa saja tetapi hujan turun dengan lebatnya. Leandra menjadi takut dan mengharuskan dirinya menghubungi Rigel, walaupun malu.
"Kamu kapan pulang sih?" tanya Leandra dengan cepat.
["Ada apa?"]
"Listriknya mati, hujan lebat."
Rigel terdiam sebentar.
"Rigel!"
["Aku cek ponsel ternyata ada pemberitahuan satu komplek padam listriknya, aku pulang sekarang."]
Segera Rigel memustuskan panggilan tersebut. Leandra sedikit tersenyum akan perlakuan Rigel tetapi ia merinding malam hari yang begitu gelap itu. Ia menunggu Rigel di ruang tamu Karena pikirnya jika ada apa-apa akan mudah keluar rumah.
Tidak lama kemudian suara mobil Rigel terdengar di pekarangan rumah. Sebelum Rigel mengetik pintu rumah, Leandra sudah membukanya terlebih dahulu.
"Assalamualaikum," ucap Rigel kala memasuki rumah.
"Waalaikumsalam, buruan masuk."
Rigel hanya tersenyum saja, meskipun gelap tetapi terlihat jika ia tersenyum.
Duar!!
Suara petir saat itu kuat sekali hingga Leandra kaget dan reflek memeluk Rigel di sampingnya.
Leandra tidak bersuara apapun, tetapi ia memang memeluk Rigel begitu erat.
Rigel menyalakan senter pada ponselnya dan menyinari Leandra yang masih berada di pelukannya.
"Bagaimana nyaman?"
"Biasa saja!" seraya melepas pelukannya dari Rigel.
"Atau nyaman sama orang lain? tetapi jangan sampai."
"Maaf ya walaupun aku urakkan begini, aku enggak pernah yang namanya pelukan sama laki-laki kecuali sama Ayah dan Leonal."
"Dan aku."
"Baru juga, enggak usah kesenangan."
"Enggak kok, sudah 1, 2, 3," Rigel menghitung dengan jarinya seraya menggoda Leandra.
"Shut! Diem bisa enggak?" seraya menutup mulut Rigel dengan telunjuknyanya.
Rigel tetap tersenyum saja dengan perlakuan Leandra, justru ia senang.
Rigel mengunci pintu depan dan melangkah ke kamar.
"Jadi bagaimana?"
"Apanya?"
"Tidurnya."
"Ya tinggal tidur saja."
"Gelap begini?" tanya Leandra.
"Kalau mau hidupkan ponsel besok pagi ponselnya enggak ada baterai gimana?"
"Ya sudah antar aku pipis dulu tapi."
Rigel berjalan di belakang Leandra, mengantarnya ke kamar mandi.
"Jangan lihat!"
"Astaga, enggak Leandra."
Tidak lama dari itu mereka berada di atas tempat tidur dengan suasana begitu gelap.
"Awas ya kamu macam-macam, ini gelap tahu," ucap Leadra mewaspadai Rigel.
"Yang ada tangan kamu itu, tahu-tahu melingkar dibadanku."
"Yeee apaan sih."
"Aku tidur di kamar tidur lain saja, kalau kamu takut aku ngapa-ngapain."
"Ih ya janganlah, Rigel," menggunakan nada yang mendayu seolah sedang bermanja pada Rigel.
"Tumben nadamu begitu, biasanya galak."
"Ya pokoknya kamu di sini saja."
"Tetapi kamu takut juga 'kan?"
"Aku lebih takut gelap sama hujan begini."
"Baguslah denganku enggak takut 'kan?"
"Enggak! Kecuali kamunya berubah."
"Jadi apa?" seraya mengernyitkan dahinya.
"Buaya! Puas kamu."
"Kamu mau tidur apa enggak? Nanti aku tidur duluan takut juga."
"Iya aku tidur, awas ya kamu."
Rigel hanya berdeham saja. Ia masih berdiam diri karena takutnya Leandra belum tidur dan akan membangunkannya kembali.
Benar saja baru 15 menit Leandra tertidur tangannya sudah melingkar pada badan Rigel. melihat tangan Leandra melingkari perutnya ia tersenyum. Tidak mungkin pula Rigel membangunkan Leandra yang baru saja tertidur, akhirnya ia menikmatinya saja.