Chereads / Dokter Tampanku / Chapter 13 - Dirawat Dokter

Chapter 13 - Dirawat Dokter

Suara teriakan dari arah dapur yang jelas terdengar itu suara Leandra. Rigel segera berlari ke dapur.

"Astagfirullah, tanganmu kenapa," segera ia raih tangan Leandra yang berdarah karena sayatan pisau yang cukup dalam.

"Aww, sakit."

Rigel segera mengambil p3k yang tersedia di rumah tersebut. Leandra duduk di kursi ruang makan. Tangannya tersayat sewaktu memotong bahan masakan karena sedikit licin dan melamun maka ia tidak sadar jika sedang memotong sayuran.

"Maaf aku pegang tangannya," seraya mengobati luka tersebut.

Leandra menganggukkan kepalanya perlahan.

"Maaf ya ganggu kamu lagi sibuk 'kan?"

"Enggak apa-apa, lain kali hati-hati. Sudah kita pesan saja makanan hari ini, kamu istirahat saja."

"Pasti om marah 'kan? Aku enggak apa-apa kok."

"Aku bukan Oom kamu. Enggak usah masak, kerjakan saja tugasmu kalau ada tugas."

"Marah?"

"Enggak, Leandra."

"Ih tapi itu mukanya marah."

Rigel menghela napasnya.

"Kamu mau makan apa hari ini?"

"Apa saja."

"Kenapa sih enggak bilang apa yang kamu mau saja, jangan membingungkan laki-laki, Lea."

"Hmm okay, aku mau ayam bakar, sop bola ikan, sambalnya jangan lupa."

Rigel memperhatikan Leandra yang memikirkan menu makannya.

"Begitu 'kan enak, aku enggak perlu nebak. Ya sudah aku pergi dulu."

"Lah kamu pergi?"

"Iya 'kan kamu mau makan, aku mau beli itu."

"Hmm jadi repot, enggak usah deh. Aku pesan saja."

Rigel terdiam dan sedikit kesal menghadapi gadis delapan belas tahun di hadapannya. Ia mengambil jaket dan diberikan pada Lea yang hanya memakai kaos lengan pendek dan celana jeans panjangnya.

"Pakai, kita pergi berdua."

Leandra memakai jaket tersebut dan mengikuti langkah Rigel.

"Eh sebentar ada yang ketinggalan."

"Apa?"

"Dompet sama ponselku."

"Buat apa dompet?"

"Beli makanan 'kan?"

"Enggak usah Lea, kamu itu pergi sama suamimu. Bukan sama orang lain."

Leandra hanya nyengir saja.

Setelah itu akhirnya mereka sampai pada tempat makan, mereka segera memesannya dan dibawa pulang.

"Kamu habiskan semua yang kamu beli ya," ucap Rigel seraya melihat makanan yang ada di hadapan Leandra.

"Siap, enggak harus bayar 'kan?"

"Bayar. Tetapi enggak pakai uang."

Leandra berhenti mengunyah makanannya dan segera menelan makanan tersebut.

"Jangan bilang kamu minta itu ya?"

"Itu apa sih, Lea?"

"Please aku enggak suka sama kamu, aku enggak mau melakukan itu sama orang asing."

"Kamu kenapa sebenarnya. Aku enggak minta dibayar pakai apa-apa, kamu enggak galak sudah cukup."

"Aku galak? Memang iya. Kenapa? Enggak suka? Diceraikan enggak apa-apa tahu."

"Kamu mau baru kuliah semester satu jadi janda?"

"Memang jadi janda juga kalau belum ngapa-ngapain?"

Rigel tertawa karena kepolosan Leandra.

"Bukan begitu, tetapi 'kan statusnya sudah tidak memiliki suami itu menjadi janda. Jangan bahas perceraian enggak baik, sampai kapan pun kalau bisa aku yang buat kamu jatuh cinta, bukan berpisah."

"Yakin banget mau buat aku falling in love."

"Buktinya kamu aku cuekin saja sudah nangis 'kan?"

"Yeee ngarang banget sih, aku nangis bukan karena itu."

"Kalau bukan itu, jadi apa masalahnya?"

"Enggak tahu, mungkin tamuku mau datang jadi marah atau nangis enggak jelas."

"Tamu? Siapa yang mau ke sini?"

"Bukan orang."

"Hantu?"

"Bukan juga, kenapa jadi tamu ke rumah sih, tamu ke dalam diriku."

Rigel mengernyitkan dahinya berpikir apa yang sebenarnya dimaksud istri kecilnya.

"Kamu mikir banget sih."

"Iya kalau memang ada tamu bilang, takutnya nanti enggak ada siapapun di sini kamu takut."

"Astaga bukan orang atau hantu Rigel, tamu datang bulan maksudku."

Rigel menghela napasnya. Kebetulan saat itu mereka sarapan di ruang tengah, karena Rigel menyelesaikan pekerjaannya.

"Makanya kamu enggak usah banyak mikir, nanti nangis."

"Eh mau tanya boleh?"

"Apa?"

"Kamu dokter spesialis 'kan?"

Rigel menganggukkan kepalanya.

"Ambil apa?"

"Bedah Saraf."

"Loh kok sama, ngapain kamu ambil itu."

"Ya memang aku mau mengambil itu dari dulu. Kenapa kamu marah-marah?"

"Ah enggak asik kamu," Leandra mengerucutkan bibirnya dan segera menghabiskan sarapannya.

"Asik kok, nanti prakteknya bisa berdua."

"Praktek apa? Macam-macam 'kan?"

"Praktek bedah, Lea. Enggak mungkin macam-macam, yang kita lihat itu kepala manusia bukan yang lainnya."

"Ya kali saja kamu ngajak praktek yang lain."

"Praktek apa?"

"Enggak."

Rigel hanya menggelengkan kepalanya saja.

Setelah selesai sarapan Leandra membereskan semuanya dan duduk di ruang tengah seraya memainkan ponselnya. Akan tetapi ia merasa kepalanya berat dan perutnya sakit sekali.

"Kamu punya obat sakit kepala enggak?"

"Ada, kamu sakit kepala?"

"Sama sakit perut ada?"

"Mana yang lebih sakit, perut atau kepala?"

"Dua-duanya."

Rigel menatap Leandra cukup menghela napasnya dan masuk ke dalam ruang kerja, lalu keluar membawa beberapa obat.

"Minum yang ini, kalau masih sakit bilang."

Leandra segera meminum obat yang diberikan oleh Rigel. pusingnya cukup reda akan tetapi sakit perutnya tidak, ia meringis kesakitan.

"Perutmu masih sakit?"

Leandra menganggukkan kepalanya.

"Biasanya pakai obat apa?"

"Enggak ada, guling-guling saja di tempat tidur."

"Memang sembuh?"

"Enggak tapi ya begitu, aww!"

Rigel menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia meraih ponsel dan sepertinya menelepon seseorang.

["Kenapa, Bro?"] tanya Andre rekan dokternya, tetapi ia mengambil spesialis kandungan.

"Ini si Lea sakit perut, katanya sih tamu datang bulannya datang, itu gimana?"

["Sakitnya gimana?"]

"Ya mana aku tahu Ndre, yang jelas dia kesakitan."

["Sampai nangis?"]

"Hampir sih, jadi bagaimana? Bagian saraf enggak ada materinya."

Andre hampir tertawa karena Rigel.

["Okay, suruh istirahat saja, minum air hangat, atau kompres perutnya pakai air hangat juga."]

"Perutnya dikompres, berpengaruh ya? Kalau kagak mau gimana?"

["Astaga Rigel ya kamu paksa, buka saja apa salahnya sih, terus kamu kompres perutnya."]

"Dipegang saja kagak mau, apalagi sampai aku kompres perutnya.

["Hah! Kamu belum begitu berarti?"]

"Ah sudahlah terima kasih infonya, pertanyaanmu enggak penting."

Segera Rigel matikan panggilan seluler tersebut, ia kembali ke ruang tengah dan mendapati Leandra terkulai lemas dan sepertinya pingsan.

'Hah, pingsan nih anak.'

Karena tidak mungkin ia merawatnya di sofa maka terpaksa menggendongnya ke kamar. Ia bingung haruskah mengompres perutnya atau tidak, karena ia tidak berani takutnya dikira lancang. Akhirnya Rigel ke dapur memasak air panas dan membawanya ke kamar. Ia mencoba membangunkan Leandra yang akhirnya tersadar.

"Minum air hangat dulu," seraya memberikan segelas air hangat pada Leandra.

"Makasih, eh sebentar kok aku di kamar? Kamu gendong aku ya?"

"Iya, maaf. Habisnya kamu pingsan di sofa, enggak mungkin aku biarkan di sana."

"Oke aku sudah enggak suci lagi."

"Hah?"

"Iya badanku saja sudah kamu pegang."

"Aku hanya gendong kamu ke sini saja, kompreslah perutmu pakai air hangat ini."

"Kamu ngapain di sini, mau lihat perutku juga?