Sebulan pertama Eric melakukan pengobatan di Jerman, hubungan Eliza dan Eric baik-baik saja, komunikasi mereka juga lancar. Hampir setiap hari mereka melakukan panggilan video sekedar melepas rindu. Eliza juga kerap meminta foto terbaru Eric.
Dari penampilan fisiknya, Eric banyak berubah. Mulai dari tubuhnya yang kurus, kulitanya yang pucat dan kepalanya yang plontos. Eliza mencoba menerima itu semua dan menyemangati segala proses pengobatan yang akan dilakukan Eric.
Eliza sebenarnya ingin sekali mengetahui laporan kesehatan Eric, tapi Eric tidak pernah mau memberikan, selalu ada saja alasan yang diberikannya. Padahal Eliza juga ingin melihat hasil evalusi dokter yang menangani Eric.
***
Hari ini puskesma tempat Eliza magang akan mengadakan acara perpisahan. Setahun sudah berlalu, Eliza dan Karin sudah menyelesaikan masa internship dengan baik, sekarang mereka akan pamit. Acara perpisahan dilakukan sore hari, agar tidak mengganggu jam pelayanan. Eliza sudah selesai mengemasi semua barang-barangnya, dia sedang menuggu Karin yang masih merapikan mejanya.
Eliza duduk sambil membuka foto-foto di telepon genggamnya. Dia melihat foto secara acak, mulai dari fotonya sendiri sampai foto-foto Eric yang baru dikirim subuh tadi.
"Itu siapa El?" tanya Karin yang ternyata sudah ada belakang Eliza.
"Yang mana? Ini?"
"Iya."
"Eric."
"Hah? Eric? Kok beda?" Karin penasaran, dia mengambil telepon seluler Eliza dan melihat lebih dekat lagi. "Oh iya, ini Eric. Dia kok kurus banget El?"
"Iya, mungkin efek kemo terapi."
"Kemo? Dia kanker?"
Eliza mengangguk lemah, "Ya, kanker paru."
"Ya ampun, stadium berapa?"
"Stadium lanjut, aku juga baru tahu bulan lalu kok Rin. Kirain dulu hanya sakit paru biasa."
"Dia gak pernah cerita sama kamu?"
"Enggak, dia seperti menutupi itu dari aku. Katanya gak mau aku kepikiran gitu."
"Ehmm, terus kamu tahunya gimana?"
"Ibunya yang ngomong semua."
"Ooh, terus hubungan kalian?"
"Ya masih lanjut."
"Oh ya? Kamu baik banget…"
"Ehmm, kamu masih menunggu dia untuk sembuh El? Masih ada harapan untuk dia sembuh?"
Eliza mengangkat kepalanya dan menghela nafasnya, "Semoga saja Rin. Aku juga gak tahu. Tiap aku tanya perkembangan kesehatannya, dia gak pernah mau cerita. Dia hanya bilang kalau keadaanya sekarang lebih baik dibanding sebulan lalu. Tapi aku lihat dari kondisi fisiknya, aku rasa dia gak baik-baik saja sih."
"Terus perasaan kamu sama dia gimana?"
"Aku gak tahu, ya aku sedih saja dia sakit. Rasanya tuh setengah dari mimpiku hancur."
"Ya gak boleh gitu dong, kamu gak boleh menyerah sama mimpimu sendiri."
"Terus gimana Rin, satu kakiku sudah pincang. Gimana aku mau lari buat kejar mimpiku?"
"Gak gitu dong El, kalian itu kan masih sebatas pacaran. Kamu gak bisa ibaratkan kalian jadi satu tubuh, kamu sebagai kaki kanan, Eric sebagai kaki kiri atau sebaliknya. Kalian masih punya tubuh masih-masing, jadi kamu masih punya kesempatan, tenaga dan kekuatan untuk mengejar mimpimu."
"Tapi Eric gimana?"
"Ya kamu dukung semampu kamu saja, tapi jangan sampai mengorbankan mimpimu dong."
"Dia selama sehat saja, tergantung banget sama aku. Apalagi kondisi seperti ini, aku gak tega sama dia Rin…"
"Ehmmm… sekarang aku tanya deh El, kamu itu sama Eric kasihan atau cinta?"
Eliza hanya membuang pandangannya jauh, dia tidak ingin menjawab pertanyaan Karin. Karena untuk sekarang, Eliza juga bingung dengan perasaannya.
"El, kita untuk ukuran perempuan kan sudah masuk kategori berumur ya. Pasti akan ada tuntutan dari orang tua dan lingkungan untuk segera menikah, kamu siap gak?"
"Maksudnya Rin?"
"Gimana ya ngomongnya… sebelum hubunganmu sama Eric lebih serius lagi, coba kamu pikirkan 3 pilihan yang aku kasih. Pertama, kamu menunggu Eric sampai benar-benar pulih untuk menikah, tapi kita gak tahu kapan dia benar-benar pulih dengan kondisinya yang sudah seperti ini. Kedua, kamu tetap menikah dengan Eric yang kondisinya seperti ini, itu artinya Eric menjadi tanggung jawabmu seumur hidup yang akan menyita banyak waktumu dan tentunya kamu juga akan sulit meraih mimpimu ke depan. Ketiga, kamu lepas dia."
"Melepaskna Eric? Aku gak punya pikiran seperti itu Rin. Bahkan sedikitpun belum ada muncul niat seperti itu di benakku."
"Ya berarti pilihan kamu tinggal 2, kamu menunggu dia sampai sembuh atau kamu menikah dengan dia dengan keadaannya yang seperti itu."
"Entahlah Rin, aku gak tahu. Semakin aku pikirkan, semakin aku pusing. Sudah ah, jangan dibahas lagi. Anak-anak sudah di depan nunggu kita, yuk…"
Eliza lebih memilih memutus pembicaraan mereka dan bergabung dengan karyawan puskesmas lain. Acara sederhana dilakukan untuk melepas Eliza dan Karin, setahun bekerja di puskesmas itu memberikan banyak kenangan dan pengalaman untuk Eliza. Setelah selesai mereka berpamitan dan pulang.
"El, kamu besok langsung pulang ke Jakarta?" tanya Karin saat mereka ada di parkiran.
"Belum, mungkin lusa. Soalnya aku masih paketin beberapa barang-barangku dulu ke Jakarta."
"Kok dipaketin, kenapa gak kamu saja yang bawa?"
"Repot dong Rin, gak sedikit loh. Besok juga aku mau balikin mobil ini ke Jogja, ini kan mobil Eric."
"Ooh, berarti dua malam ini kamu masih ada di sini dong ya?"
"Ya, mungkin. Memangnya kenapa?"
"Enggak, siapa tahu aku main ke Muntilan besok aku mau singgah ke tempat kamu."
"Ooh... ya sudah kabari saja kalau mau ke sana."
***
Beberapa buku dan barang-barang penting sudah dipaketkan Eliza ke Jakarta, tinggal satu koper yang akan ditenteng Eliza nanti saat pulang ke Jakarta. Besok pagi rencanya Eliza akan ke Jogja, mengembalikan mobil dan kunci rumah pada Mia.
Eliza menyandarkan punggungnya ke sofa untuk beristirahat sejenak. Baru sebentar duduk, terdengar suara pintu diketuk.
"Siapa…" teriak Eliza dari dalam, tidak ada jawaban. Dia menyeret langkahnya ke depan dan membukakan pintu, "Eh, Mas Dirga?"
"Hai El? Ehmm ganggu gak?" tanya Dirga berbasa-basi.
"Ehmm, enggak sih. Masuk Mas…"
Eliza tidak menyangka dia akan didatangi Dirga, karena sebelumnya tidak ada pemberitahuan. Komunikasi mereka memang baik, Dirga kerap mengirimkan pesan pada Eliza sekedar bertanya kabar. Tapi sejauh ini, Eliza hanya membalasnya biasa saja.
"Tahu dari mana aku tinggal di sini Mas?"
"Ehmm, dari Karin."
"Ooh, dia gak ikut?"
"Enggak katanya dia ada urusan sore ini."
"Ooh…"
"Katanya kamu akan balik ke Jakarta ya El?"
"Iya Mas."
"Kapan?"
"Tiketku sih besok sore, tapi besok pagi aku sudah berangkat dari sini."
Awalnya mereka bicara dengan sangat canggung, layaknya mesin diesel butuh pemanasan yang cukup lama untuk bisa tancap gas. Dan setelah beberapa saat, akhirnya mereka bisa menyatukan topik pembicaraan, membicarakan banyak hal dan cukup akrab.
Sekitar jam 5 sore, Dirga pamit pulang. Ketika mobilnya akan meninggalkan pekarangan rumah, mobil Mia masuk. Mia sempat melihat Dirga sekilas, dan melihat bagaimana akrabnya Eliza mengantar Dirga sampai ke depan.