Suasana menjadi hening, wajah Eric juga tertunduk. Eliza memang tahu ada masalah di paru-paru Eric, tapi dia tidak tahu lebih detail karena Eric tidak pernah cerita mengenai pemeriksaan dan terapi serta pengobatan yang dijalaninya. Hati Eliza seakan tidak siap menerima kenyataan, dari cara Ibu Eric menuturkan semua, Eliza menebak ini pasti serius. Apalagi Eric yang dari tadi menunduk, Eliza semakin gelisah, apa yang sebenarnya terjadi dengan Eric.
"Jadi El, sejak pertama kita bawa Eric dulu ke rumah sakit dokter sudah mendiagnosa Eric kanker paru. Eric meminta kami semua tidak memberitahukan kamu masalah ini, membuat pengobatannya terbatas dan akhirnya …" Ibu Eric berhenti sesaat, dia menatap mata Eliza meyakinkan kalau Eliza siap mendengar kabar yang akan diberikan, " Kankernya sudah mencapai stadium 3."
Tubuh Eliza bergertar, dia benar-benar terkejut mendengar kabar buruk tentang Eric, tatapannya kosong.
"Harusnya beberapa bulan lalu atau mungkin sejak pertama tahu Eric mengidap kanker, dia harus menjalni pengobatan secara intensif termasuk kemoterapy. Tapi Eric tidak mau, dia takut kamu curiga. Jadi dia memilih pengobatan secara herbal, namun kenyataannya tidak membuahkan hasil malah jadi semakin parah," tambah Ibu Eric.
Eliza mengehela nafasnya, bulir air matanya mulai mengalir di pipinya. Perasaannya hancur, dia merasa ikut andil dalam penyakit Eric, hanya karena menjaga perasaannya Eric harus seperti ini.
"Kami sekeluarga sudah sepakat, kamu harus tahu ini agar Eric bisa kita bawa berobat ke tempat yang lebih baik lagi, agar Eric tidak ada alasan untuk menolak pengobatan ini semua," sambung Ibu Eric.
"Tapi sebelumnya," sela Pak Roby, Ayah Eric, "Karena semua sudah terbuka, kami juga ingin menyampaikan secara terbuka untuk kamu. Anak kami ini mengidap penyakit yang cukup serius, dan pengobatannya pun cukup serius. Kami membebaskan Nak Eliza untuk memilih ke depannya. Kami tidak memaksa kamu harus tetap di samping Eric. Karena sekarang fokus Eric adalah untuk kesembuhannya dulu…"
"Saya mengerti Om," jawab Eliza lirih.
Suasanya yang tadinya hangat berganti menjadi dingin, kaku dan mencekam. Tidak ada lagi pembicaraan setelah itu. Eric juga memilih diam, tidak ada yang disampaikan pada Eliza. Karena semakin canggung, Eliza meminta pamit.
"Om, Tante saya pamit pulang dulu…"
"Ehmm, biar aku antar ya…" sahut Mia.
Eliza melirik pada Eric, tadinya dia berharap Eric yang mengantarnya pulang. Ada yang ingin disampaikan pada Eric. Tapi Eric hanya diam, Eliza tidak bisa mengartikan sikap bungkam Eric, sangat berbeda dari beberapa jam yang lalu.
"Ya sudah El, yuk…" ajak Mia.
Eliza mengangguk, dia beranjak mengikuti Mia. Saat melewati Eric, dia berhenti dan menatapa Eric, " Kamu harus sembuh, kita pasti bisa lewati ini semua. Kamu harus kuat demi aku, janji ya…" ucap Eliza lirih berlinang air mata.
Eric mendekap tubuh Eliza, Eric ikut menangis, "Aku janji El, aku akan bertahan untuk kamu," ucap Eric bersungguh-sungguh.
Eliza melepas dekapan Eric dan pamit pulang. Perasaannya masih tidak karuan, sepanjang perjalanan pulang bersama Mia dia tidak banyak bicara. Semua terlalu terkesan tiba-tiba, membuat dia merasa tidak siap untuk semua ini.
"El…" panggil Mia.
"Iya Kak…"
"Kamu pertimbangkan apa yang dikatakan Ayah tadi ya."
Eliza diam, dia masih mencoba mengingat apa yang dikatakan Ayah Eric tadi.
"Kamu masih muda, karir kamu juga masih baru dimulai kamu berhak untuk memutuskan apapun yang tebaik buat kamu. Termasuk untuk melepas Eric atau tetap tinggal bersamanya. Kami tidak akan memaksa kamu tetap bersama Eric, walaupun kami masih mengharapkannya. Kamu pasti paham betul mengenai sakit Eric ini, apalagi sudah stadium lanjut. Harapan kesembuhannya berapa, dan bagaimana ke depannya. Kamu juga tentunya gak mau menghabsikan waktu hanya untuk menunggu sesuatu yang tidak pasti kan?"
Eliza paham dengan maksud Mia, tapi dia belum ingin berkomentar lebih jauh.
"Jadi, kamu pikirkan matang-matang. Kami tidak akan menahanmu, tapi kami masih berharap ketulusanmu. Apapun keputusanmu kami akan dukung," tambah Mia.
Eliza mengangguk. Ini bukan keputusan yang mudah untuknya, dia juga tidak tahu sampai berapa lama dia butuh waktu untuk memutuskan ini semua.
***
Sudah beberapa hari ini, Eliza gelisah terus. Dia masih kepikiran dengan Eric. Kepalanya tidak mampu memikirkan ini sendiri, akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi Ibunya.
"Halo El…"
"Iya Bu, Ibu sedang apa?"
"Baru saja selesai makan malam, ada apa El? Suara kamu terdengar berat sekali."
"Iya Bu, Eliza mau cerita."
"Cerita apa Nak?"
Eliza menceritakan semua perihal pertemuan Eliza dengan keluarga Eric, terutama mengenai penyakit Eric dalam setahun terakhir ini.
"Astagfirullahaladzim… jadi Eric kena kanker?"
"Iya Bu, setahun lalu sih memang Eric pernah masuk rumah sakit. Tapi dia gak pernah cerita kalau ternyata seperti ini."
"Ya ampun anak itu menyiksa dirinya hanya karena menjaga perasaanmu."
"Hah? Maksud Ibu?"
"Iya dong El, dia gak mau terlihat lemah di depan kamu. Dia gak mau kamu kepikiran dengan sakitnya."
"Iya sih, tapi kenapa harus gitu sih. Aku kan jadi bingung mau gimana ini, apa coba tujuannya harus sembunyikan ini dari aku."
"Ya dia takut kehilangan kamu El."
"Aduh, terus aku harus gimana Bu?"
"Ya gak gimana-gimana, kamu dukung dia buat sembuh dong. Kan masih ada kemungkinan untuk sembuh…"
"Tapi kemungkinan itu kecil Bu…"
"Terus kenapa memangnya? Kamu ada pikiran untuk meninggalkan dia?"
"Aku gak tahu Bu…"
"El, pikirkan baik-baik. Saat-saat seperti ini, dia sangat butuh dukungan dari kamu. Kamu gak perlu memikirkan hal yang terlalu jauh. Kamu semangati saja dia sebagaimana harusnya…"
"Bu, jadi masalah pernikahan gimana?"
"Ibu sudah bilang, jangan terlalu jauh berpikirnya. Apa yang ada di depan itu dulu yang kamu pikirkan, masalah jodoh itu urusan Allah. Gak usah khawatir masalah itu."
"Hemmm, ya sudah deh Bu kalau memang seperti itu. Aku pikirkan baik-baik dulu."
"Ya, yang tenang pikirnya ya. Mau teman cerita, telepon Ibu saja."
"Iya Bu."
***
Setelah berhari-hari akhirnya Eliza memutuskan untuk tetap bersama Eric. Karena kenangan mereka terlalu banyak, ketulusan Eric juga sangat dirasakan Eliza. Eliza merasa perkataan Ibunya benar, kalau Eric sangat membutuhkan dukungannya sekarang.
Pagi ini Eliza bertolak ke Jogja, dia ingin menemui Eric langsung. Memberitahukan kalau dia akan setia disamping Eric, menunggunya sampai sembuh. Tentunya berita ini membuat Eric semangat, harapannya yang semula hampir sirna kini kembali lagi. Dia menerima tawaran Ibunya untuk melakukan pengobatan di Jerman.
"Tunggu aku ya, aku janji pulang dari sana aku pasti sembuh," ucap Eric dengan yakin.
"Janji ya kalau kamu pasti sembuh."
"Janji El, demi mimpi kita."
Mereka berpelukan, ada secercah harapan kesembuhan di wajah Eric.