Kedekatan Eliza dan Rio semakin menjadi, tak jarang Eliza berbohong pada Eric untuk meminta waktu ke luar dengan Rio.
"Ric, nanti malam aku harus jaga di IGD. Kamu gak usah jemput aku ya…"
"Lagi? Ini sudah malam ketiga loh kamu jaga IGD terus El, kamu gak gantian sama yang lain?"
"Ya gimana, tiap hari pasien banyak banget yang datang, sementara tenaga medisnya terbatas. Gak hanya aku kok, teman yang lain juga begitu."
"Ooh, ya sudah deh. Kamu baik-baik ya, ada apa-apa kabari aku," ucap Eric dengan suara yang melemah.
"Iya Ric."
"Jangan lupa makan, jaga kesehatan."
"Iya kamu juga ya, bye."
Eric sepenuhnya percaya pada Eliza, walaupun hatinya bertentangan dengan Eliza tapi dia mencoba mengalah. Karena Eric sadar, menjadi dokter adalah impian Eliza dari dulu. Dan dia harus bisa memahami keadaan Eliza sekarang.
Dilain tempat, Eliza sudah siap-siap berangkat bersama Rio. Tadi sore, Rio sudah mengabari Eliza kalau mereka akan makan malam di luar. Eliza menyapukan riasan tipis pada wajahnya, dan menata rambut hitamnya.
"El, sudah beres?" Rio muncul di depan pintu ruangan khusus co-ass.
Eliza mengangguk dan tersenyum. Mereka berangkat makan malam ke tempat yang sudah Rio siapkan. Tempat yang cukup romantis, di pinggiran kota Jogjakarta, jauh dari keramaian. Langit yang penuh dengan bintang, temaram kota Jogjakarta menambah syahdu malam itu.
"El, rencana kamu ke depannya apa?" tanya Rio membuka pembicaraan.
"Aku mau fokus buat ujian nanti sih Mas."
"Aku yakin kamu pasti bisa deh."
"Ya semoga saja, aku gak mau mengulang. Mau nya sih langsung beres saja."
"Pasti bisa, setelah itu? Ada rencana untuk ambil spesialis?"
"Maunya sih gitu Mas, mau ambil spesalis anak."
Mereka memang makan malam di tempat yang romantis, tapi yang mereka obrolkan tidak jauh dari masalah profesi. Eliza selalu menghidar ketika diajak Rio berbicara masalah pribadi. Eliza dengan lihai membuat obrolan itu menarik tanpa harus membawa perasaan. Rio juga terlihat menikmati obrolan mereka.
Sekitar jam 10 malam, Eliza sampai di depan kost. Eliza diantar Rio sampai di depan pintu pagar. Saat turun dari mobil, Eliza terkejut mendapati Eric berada di sana. Eric dengan tatapn dingin menatap Eliza.
"Ric, kamu kok di sini?"
"Tunggu kamu," jawab Eric dengan ketus.
"Ehmm…" Eliza kebingungan.
"El, kenapa?" Rio menghampiri Eliza.
"Enggak kok Mas. Ehmmm, makasih ya sudah diantar. Sampai jumpa besok Mas…"
Secara tidak langsung Eliza mengusir Rio, Eliza paham kalau Rio masih berlama-lama berdiri diantara dirinya dan Eric akan menjadi masalah besar. Rio dengan penuh tanya akhirnya pergi meninggalkan mereka berdua.
"Kamu dari mana El?"
"Ya dari rumah sakit lah Ric, dari mana lagi memangnya?"
"Berdua sama dia?"
"Ya apa salahnya sih diantar pulang doang? Hanya karena searah saja kok, gak lebih."
"Oh ya?"
"Iya lah. Kamu kenapa sih?"
"Kamu bohong kan El?"
"Bohong? Bohong apanya? Sudah deh Ric, aku capek. Kalau kamu mau berdebat masalah gak penting gini, mending kamu pulang deh," ujar Eliza sambil berlalu dari Eric.
"El, aku tadi dari rumah sakit kok, kamu gak ada di sana," teriak Eric, membuat langkah Eliza berhenti.
Eliza membalikkan badannya, "ke rumah sakit? Ng-ngapain?" tanya Eliza gugup.
"Tadinya aku mau kasih ini buat makan malam kamu. Tapi kata teman kamu, kamu sudah pulang dari sore dengan Dokter Rio," ujar Eric sambil mengangkat bungkusan di tangannya.
"Ehmmm…" Eliza memutar manik matanya, mencoba mencari alasan.
Eric masih berdiri mematung, menunggu jawaban dari Eliza. Hatinya memang hancur melihat orang yang dicintainya jalan dengan orang lain, tapi akan lebih hancur kalau Eliza meninggalkan dia.
"Oke, aku bisa jelaskan Ric. Tapi aku masuk dulu, aku mau bersih-bersih. Tunggu sebentar ya."
Eric mengangguk. Dia duduk di ruang tunggu. Segudang pertanyaan sudah berputar-putar di kepalanya. Dia kecewa,marah, tapi dia tidak punya keberanian untuk marah pada Eliza. Eric terlalu lemah karen cintanya pada Eliza.
Eliza ke luar dari kamarnya, duduk di depan Eric. Eric menatap Eliza dengan tatapan minta dikasihani.
"Ric, kamu jangan berpikir terlalu jauh. Aku dan Rio memang tadi pergi ke luar, kita makan malam bersama. Tapi sumpah kita gak berbuat apa-apa, kita hanya bicara mengenai masalah dunia kedokteran tapi dengan suasan yang berbeda. Itu saja kok," tutur Eliza dengan tenang.
"Kenapa harus di luar bicarain itu? Kenapa hanya berdua? Kenapa kamu harus bohong sama aku? Kenapa El?" Eric mencecar Eliza.
"Tolong dong Ric, kamu jangan seperti anak kecil gini, apa yang salah dengan makan di luar sih?"
"Tapi kenapa kamu harus bohong El?"
"Karena kalau aku bilang sama kamu, kamu pasti gak akan kasih izin kan? Pasti reaksi kamu cemburu gak jelas gini juga kan?"
Eric menatap Eliza dengan sangat sendu, Eliza menghela nafasnya dengan kasar. Hening, sesaat mereka diam.
"Ric, aku jalan sama Rio itu minta bantuan dia untuk persiapan ujian aku nanti. Gak akan lama lagi aku akan ujian dan urus-urus sertifikasi. Itu gak mudah Ric, dan Rio bisa bantu aku. Makanya aku terima tawaran dia makan di luar, itu saja kok. Kami gak ada bicarain topik lain selain itu."
"Memangnya cuma Rio yang bisa bantu kamu? Aku yakin tanpa bantuan Rio kamu pasti lulus ujian itu. Dan masalah sertifikasi itu juga bukan masalah besar deh buat kamu. Aku kenal kamu El, kamu cerdas, kamu pasti bisa dengan kemampuan kamu sendiri."
"Tapi Ric…"
"Oke, katakanlah harus pakai orang dalam, aku bisa kok carikan orang dalam dan buat semua berjalan lancar. Kamu gak harus dekat-dekat laki-laki itu El, itu bukan masalah besar buat aku. Kamu butuh berapa orang dalam? Aku cari sekarang buat kamu!" tegas Eric memotong omongan Eliza.
"Apa-apaan sih Ric?"
"Kamu loh yang apa-apaan? Kamu sudah tahu aku paling gak bisa lihat kamu jalan sama laki-laki lain, dekat sama laki-laki lain, tapi masih saja kamu seperti ini. Mau kamu apa El?"
"Kacau ya kamu… terserah deh!" Eliza mengangkat tangannya dan pergi meninggalkan Eric.
"Kamu mau kemana, tunggu dulu aku belum selesai." Eric menahan Eliza.
"Aku capek, aku lelah. Kalau kamu masih mau ributin masalah ini, kalau kamu mau marah-marah sama aku, aku gak mau. Aku mau istirahat." Eliza menepis tangan Eric.
"Bu-bukan marah El, aku hanya…"
"Sudahlah Ric, aku capek." Eliza masuk dan menutup pintu kamarnya.
Eric hanya bisa memandang pintu kamar Eliza yang sudah tertutup rapat, seperti biasa perdebatan apapun pasti ujungnya Eric yang salah. Bodohnya lagi, Eric pasti merasa bersalah karena terlalu emosi pada Eliza.