Ini sudah hari ketiga, Eliza dan Eric belum ada komunikasi. Mereka sama-sama menahan diri dan menahan rindu. Untuk seorang Eliza, paling pantang mengaku salah apalagi mengakui dia merindukan Eric. Dia lebih memilih menyiksa dirinya dengan perasaan yang tidak menentu dari pada harus mengakui semua itu.
Berbeda dengan Eric, dia tidak akan bisa berlama-lama jauh dari Eliza. Tiga hari ini saja sudah sangat menyiksa hidupnya, dia tidak fokus dalam bekerja. Apapun yang dikerjakannya berakhir berantakan. Akhirnya dia juga yang mengalah.
Siang ini, Eric memutuskan untuk menemui Eliza di rumah sakit, membawakan Eliza hadiah dan juga makan siang. Jam 1 siang, Eric sampai di rumah sakit dan langsung menuju ruangan para co-ass.
"Siang…" Eric mengetuk pintu.
"Siang, cari siapa ya Pak?" Salah satu dari co-ass yang sedang beristirahat menghampiri Eric.
"Eliza ada?"
"Tadi sih ada, mungkin dia sedang ke toilet. Ada perlu atau ada pesan?"
Eric tidak langsung menjawab, tidak mungkin dia menitipkan barang bawaannya. Karena sesungguhnya tujuan kedatangan Eric ke rumah sakit adalah bertemu dengan Eliza.
"Eric…" Eliza tiba-tiba muncul dari belakang Eric.
Eric membalikkan badannya, "El…, ehmm kamu istirahat kan?"
"Aku sudah mau pulang, kemarin aku jaga malam jadi sekarang aku boleh pulang siang," jawab Eliza dingin.
"Ehmm, sudah makan?"
"Nanti saja sekalian beli di jalan."
"Ini aku bawa makanan kesukaan kamu." Eric menyodorkan bungkusan yang ada di tangannya.
Eliza tidak langsung menerima, wajahnya masih cemberut.
"El, sudah dong. Jangan marah terus. Oke, aku minta maaf, aku sudah kekanak-kanakan kemarin. Aku minta maaf ya…"
Eliza masih diam. Mereka menjadi tontonan para co-ass yang sedang beristirahat.
"Aku antar kamu pulang yuk, kamu capek kan? Biar kamu cepat sampai di kost," sambung Eric lagi.
Akhirnya Eliza mengangguk, di dalam hatinya ini yang dia mau. Eric datang dan meminta maaf. Mereka berjalan ke luar, Eric mencoba mengajak Eliza bicara. Awalnya Eliza masih kaku, tapi akhirnya dia melunak juga. Mereka berjalan menuju parkiran dengan sesekali bercanda.
"El…" Seseorang memanggil Eliza dari balik mobil berwarna merah.
Mobil itu milik Rio, dan yang memanggil Eliza juga Rio.
"Sudah mau pulang El?" tanya Rio menghampiri mereka.
"Iya Mas. Mas kok datangnya siang?"
"Iya soalnya, ada janji dengan pasien 10 menit lagi. Kamu pulang sama siapa? Atau mau tunggu aku gak? Pasiennya gak banyak kok, hanya 2 orang. Itu juga hanya konsultasi saja."
"Kok dua orang Mas, biasanya kan pasien Mas banyak."
"Banyaknya sore sih El, kalau jam segini hanya untuk pasien yang sudah buat janji saja atau yang urgent."
"Ooh…"
"Jadi gimana? Mau pulang sama aku gak nanti?"
"Ehemmm…" Eric berpura-pura batuk.
Eliza dan Rio langsung melihat pada Eric. Eric menantang tatapan Rio, seolah mengatakan jangan menganggu kekasihnya.
"Siapa El?" tanya Rio pada Eliza.
"Aku calon tunangannya," sahut Eric dengan tegas.
Mendengar jawaban Eric, air muka Rio langsung berubah. Dia melihat Eliza dan Eric secara bergantian. Layaknya orang yang sedang patah hati, Rio meninggalkan Eliza dan Eric.
"Ric, harus banget ya kamu bilang gitu tadi sama Rio?"
"Memangnya kenapa El? Ada yang salah? Aku kan memang calon tunangan kamu."
"Iya, tapi gak gitu juga dong Ric."
"Terus gimana?"
"Ya cara kamu gitu kekanak-kanakan Ric. Padahal baru saja tadi kamu minta maaf, sudah ribut lagi."
"Terus aku harus gimana? Kamu kasih tahu deh El, cara dewasa sorang laki-laki melihat kekasihnya didekati laki-laki lain. Biar aku gak kekanak-kanakan terus di depan kamu."
"Ck, terserah deh ah," jawab Eliza dengan ketus.
***
Setelah Rio tahu Eliza sudah memiliki kekasih, dia langsung menjaga jarak. Eliza juga menjadi sangat canggung berada di dekat Rio. Untungnya Rio professional, rasa kecewa yang ada di hatinya tidak mempengaruhi nilai Eliza.
Satu setangah tahun berlalu…
Masa co-ass selesai, minggu ini Eliza akan menempuh ujian kompetensi dokter Indonesia. Eliza benar-benar mempersiapkan diri, dia tidak mau gagal. Dia sudah bertekad dia harus bisa mendapatkan gelarnya sebagai dokter. Segala persiapan sudah dilakukan, dan hasilnya memuaskan. Eliza siap untuk tahap selanjutnya.
Sebagai bentuk perayaan, Eric mengajak Eliza kawasan pantai di Gunung Kidul. Kawasan ini menjadi tempat favorit mereka.
"Makasih ya Ric, akhirnya aku bisa lihat laut, gak lihat orang sakit terus," ujar Eliza sambil menggandeng tangan Eric.
"Ada-ada saja kamu El…"
"Oh ya Ric, gimana kerjaan kamu? Lancar kan?"
"Alhamdulillah lancar. Gak ada masalah yang berarti kok, semua masih bisa aku handle."
"Bagus dong..., eh kita duduk di sana yuk Ric…" Eliza menunjuk batu besar yang ada di tepian pantai.
Eric mengikuti Eliza. Beberapa kali Eric menatap Eliza, ada yang ingin disampaikan, tapi Eric masih terlihat ragu.
"Kenapa sih Ric, gelisah banget…"
"Enggak kok. Oh ya El, lusa kamu jadi pulang ke Jakarta?"
"Jadi, aku sudah kabari Ibu juga. Memangnya kenapa Ric?"
"Aku antar kamu ya."
"Ehmm, maksudnya sampai stasiun?"
"Bukan, sampai Jakarta dong."
"Hah? Kamu mau pulang ke Jakarta juga?"
"Iya. Ehmm, El gimana kalau orangtua kita bertemu?"
"Maksudnya?"
"Ya, mumpung kita pulang ke Jakarta kita sekalian saja adakan pertemuan keluarga. Gimana menurut kamu El?"
"Pertemuan gimana? Untuk apa?"
"Untuk kelanjuan hubungan kita dong El, sepertinya sudah wajar deh kita bicara tentang hubungan kita kedepannya."
Eliza terdiam, dia benar-benar terkejut dengan apa yang dikatakan Eric. Mungkin untuk kebanyakan wanita, hal ini akan menjadi sesuatu yang membahagiakan. Tapi tidak untuk Eliza, dia belum siap melangkah kejenjang yang lebih serius.
"Menurut kamu gimana El?" tanya Eric lagi.
"Ehmmm, aku belum ada pikiran kearah sana deh Ric, aku masih fokus untuk internship dulu."
"Ya gak masalah juga El. Satu tahun kan? Selama satu tahun itu kita bisa sambil persiapkan pernikahan kita El," ujar Eric bersemangat.
"Tapi Ric, aku takut nanti gak fokus."
"Gak fokus gimana? Itu gak akan lebih sibuk dari co-ass kan?"
"Please Ric…"
"Huffttt…" Eric menghela nafasnya, wajahnya tertunduk lesu. Dia harus menunggu lagi, entah sampai berapa lama Eliza siap untuk dipinang. Eric juga tidak tahu, apa alasan Eliza selalu menghindar, padahal usianya sudah sangat layak untuk menikah.
"Sampai kapan sih El aku harus menunggu?" tanya Eric dengan lirih.
"Maaf Ric, tapi… kamu tahu aku kan? Aku orangnya perpectsionis, aku gak mau pekerjaan atau apapun yang aku jalani itu setengah-setengah. Aku lebih baik bertahap, internship dulu terus kita omongin masalah hubungan kita kedepannya."
"Oke, kalau memang harus seperti itu," jawab Eric tanpa ekspresi.
"Ric… kamu gak marah kan? Setahun saja kok…" Eliza meraih tangan Eric.
Eric tersenyum, "aku bisa apa El, kalau kamu maunya begini ya sudah aku ikuti."
"Makasih ya Ric."