Sebuah kacamata hitam bertengger manis di mata Ines. Dengan masih mengenakan pakaian yang sama seperti saat berangkat, wanita itu berjalan keluar dari hotel menuju area pantai tanpa alas kaki. Kaki putih mulus bak mutiara laut itu tampak mengayun indah apalagi terkena sinar matahari yang sedikit meredup siang ini.
Dengan mengenakan bando pita merah di atas kepalanya, wajah Ines malah tampak seperti ABG masa kini. Wajah tirusnya memberi kesan imut, anggun, lebih muda, bahkan jika dipakaikan seragam SMA pun rasanya masih pantas.
Hei! Dia sudah berumur 22 tahun. Jangan samakan dengan anak SMA usia 17 tahun dong!
Tapi itu bukan masalah. Bukankah itu baik jika orang lain mengira kita lebih muda dari pada usia aslinya? Malah yang sering ditemui belakangan adalah anak SMA yang muka bak tante-tante kondangan dengan pakaian ketat sana sini, bibir bergincu lima senti, serta bedak setebal 1 inchi. Right?
Aku yakin kalian pernah melihat itu. Atau jangan-jangan itu kalian sendiri? Ah sialan. Aku hanya bercanda, haha.
Baik, balik lagi ke Ines.
Bersama Disha yang mengenakan Denim Frayed Overall atau yang orang Indonesia bilang baju monyet, Ines merangkul tangan asisten barunya itu.
Disha Nathania Ayu. Wanita yang baru memasuki kepala 2 itu mengalungkan sebuah kamera di lehernya. Rencananya, wanita yang hobi memotret keindahan alam ini akan menggunakan liburannya sebaik mungkin. Tentunya untuk koleksi foto-foto estetiknya juga.
Belum ada seminggu Disha bekerja dengan Ines- bos barunya, wanita itu gembira bukan kepalang saat Ines memberitahunya akan diajak liburan.
Siapa sih yang akan menolak rejeki emas itu? Sudah jadi asisten model terkenal, diajak liburan pas baru kerja pula. Nikmat mana yang kamu dustakan?
Pasir putih di G-land menjadi obyek sasaran permainan kaki jenjang Ines dan Disha. Keduanya kini duduk di tepi pantai seraya menatap lurus ke depan, menikmati angin yang berhembus merdu. Dihirupnya dalam-dalam udara di sana, berharap oksigen yang masuk ke paru-paru sesegar pemandangan di sekitarnya.
"Mbak." Panggil Disha, membuyarkan pikiran Ines yang sedang menikmati betapa indahnya bila tiap hari berkunjung kemari.
"Kenapa?"
"Mbak Ines kenapa ngajak aku liburan? Padahal aku kerja belum ada satu minggu. Kenapa nggak sama temen-temen model Mbak yang lain?" Tanya Disha meragu.
Ines hanya tersenyum. "Aku nggak akrab dengan partner seprofesiku. Hanya sekedar kenal, tidak lebih. Lagi pula, aku juga tidak ingin mengenal mereka secara intim."
"Lalu kenapa ngajak aku? Bahkan aku orang baru yang belum Mbak kenal."
"Karena kamu asistenku mungkin?" Tebak Ines. "Entahlah, aku hanya ingin mengajak kamu dari pada yang lain. Mungkin karena kamu anaknya terlihat polos dan nggak neko-neko." Tawanya di ujung kalimat.
Disha terkekeh. Ia membenarkan perkataan Ines. Wanita itu memang terlihat polos, bahkan saat berangkat kemari ia tak pakai bedak apapun. Ya hanya berbekal satu koper berukuran medium serta busana yang ia kenakan saat ini. Itu saja.
Maklumlah, gadis desa. Wanita yang lulus SMA 2 tahun lalu itu memang berasal dari Yogyakarta desa pedalaman yang jauh dari hiruk pikuk kota. Baru selepas tamat SMA, ia merantau ke perkotaan dengan harapan mampu membantu perekonomian keluarga.
"Kenapa nggak sama pacarnya aja? Kan enak kalo bisa healing bareng. Sambil uwu-uwuan kayak anak jaman sekarang gitu to, Mbak."
Ines malah tertawa mendengarnya. "Aku kan nggak punya pacar, Dis."
"Loh, Mas Arsaga yang satu manajemen sama Mbak Ines itu siapa kalo bukan pacarnya?" Tanya Disha penuh selidik. "Hayo? Mbak mau bohongin aku, ya? Dikira aku ndak tau skandal kalian berdua yang booming itu?"
Ines memijit kepalanya, mendadak ia pusing mendengar penuturan Disha. Hal ini tak sekali dua kali ia dapatkan dari orang lain yang tak mengenal baik Saga maupun dirinya.
"Aku dan dia memang punya skandal. Tapi itu tidak benar. Aku dan Saga hanya sebatas rekan kerja, nggak lebih. Dan aku fine-fine aja dengan skandal itu. Saga juga."
Disha tampak tersentak dengan jawaban Ines. Kabar klarifikasi ini mengejutkannya yang selama ini selalu mengikuti pemberitaan Saga Ines di tagar teratas hot issue para model Yogyakarta.
"Serius Mbak? Jadi yang selama ini ada di pemberitaan media itu salah? Terus kenapa Mbak Ines dan Mas Saga diam-diam saja dengan itu? Apa nggak merasa risih? Atau kalian---"
Disha yang pembawaannya cerewet memang tak sabaran dalam menanti sebuah kabar kebenaran. Sementara Ines malah terkekeh diberondong Disha dengan pertanyaan serta spekulasi liar wanita polos itu.
"Serius. We are just work partners, no more. Seperti kataku, kami biasa-biasa aja. Dan tetap melanjutkan pekerjaan kami seperti prosedur yang ada tanpa sibuk mempedulikan skandal itu."
Dahi Disha berkerut sejenak. Ia lantas memicingkan matanya. "Ah aku tau nih kayaknya. Kalian sengaja membiarkan pemberitaan itu tetap mengambang tanpa mau klarifikasi biar pamor kalian naik kan? Hayo, ngaku!"
Aksi selidik Disha yang blak-blakan malah membuat Ines tertawa lebar. Wanita ini benar-benar polos, pikirnya. Bagaimana bisa ia menerka taktik naik pamor di depan orang yang bersangkutan?
Ah, warga desa, apa adanya. Kadang lebih asyik ngobrol dengan mereka ketimbang orang-orang kota.
"Ya mungkin bisa dibilang begitu. Biar beritanya naik terus, biar wartawan selalu meliput kami di setiap pemotretan. Sampai mereka jengah sendiri dengan pemberitaan yang mereka cari tak pernah menemukan hasil, hahaha." Tawanya lebar.
"Emang Mas Saga nggak keberatan, Mbak?"
"Apanya?"
"Ya, keberatan kalau kalian ndak ada klarifikasi, bukankah dia jadi susah buat mendekati wanita lain? Karena kan otomatis mereka pikir Mas Saga itu punya hubungan spesial dengan Mbak Ines. Jadinya mereka ndak berani merespon berlebihan, iya to?" Kata Disha disertai logat jawanya yang sedikit terselip.
"Aku nggak tau seberapa banyak wanita di luar sana yang mengincar Saga, Dis." Ines menghirup udara dalam-dalam sebelum kembali berujar.
"Tapi yang aku tau, Saga mencintaiku."
Kalimat terakhir yang dilontarkan wanita itu cukup membuat Disha melebarkan matanya. Ia benar-benar terkejut mendengarnya.
'Mas Saga cinta sama Mbak Ines? Tapi mereka tanpa ikatan? Pie to?' Batin Disha dalam hati.
"Mas Saga mencintaimu? Terus kenapa kalian ndak jadian?"
"Jadian itu biar apa, Dis?"
"Ya biar ada kejelasan dalam hubungan gitu Mbak. Masa nanya, to?"
Ines tersenyum tipis. Gurat ayunya masih tetap kelihatan. "Dalam hubungan dibutuhkan dua hati, dua cinta. Bukan satu."
Mungkinkah Disha memahami kalimatnya?
Tentu. Meski berasal dari desa, namun pemahaman gadis itu cukup patut diacungi jempol. Ia bukan gadis polos dan bodoh yang perlu validasi banyak-banyak dari setiap kata yang muncul dari mulut seseorang.
"Mbak Ines ndak cinta sama Mas Saga, yo?" Tebaknya dan tepat sasaran.
Ines terkekeh mendengarnya, bukan karena tebakan Disha. Namun karena ia senang sebab tak salah memilih asisten. Cepat, tanggap, dan cekatan.
"Kenapa bisa ndak cinta?" Tanya wanita itu lagi.
"Apa yang membuatku harus mencintai Saga?"
"Ganteng pasti, pengusaha, atletis, bodygoals, dan seprofesi juga dengan Mbak Ines. Pasti nyambung dan serasi banget kalo kalian bersatu. Apalagi usianya yang masih muda tapi bisa menghasilkan pendapatan tak hanya dari satu arah. Dia seorang pekerja keras menurutku, Mbak. Yang kayak gitu serius kamu tolak?"
Asumsi yang berdasar. Namun, fisik bukan alasan paling logis untuk membuat seseorang mencintai seseorang. Cinta dinilai dari hati, bukan materi. Yang dibilang Disha semuanya hanya masuk di akal, bukan di perasaan.
Memangnya manusia bisa memilih untuk mencintai siapa dan dicintai siapa? Tidak kan?
"Saga memintaku menjadi kekasihnya sudah lebih dari 5 kali dan aku tolak. Bahkan dia pernah memintaku menjadi istrinya di kemudian hari, itu sudah 2 kali dan aku tolak juga."
"Astaga, Mbak Ines!" Celetukan Disha sarat akan keheranan. "Tapi... kenapa, Mbak? Orang seserius dia kamu tolak, why? Dia nggak sesuai dengan kriteria pasangan kamu? Atau kamu punya pria idaman lain?"
'Kenapa jadi melebar ke Saga sih?' Batin Ines baru tersadar bahwa sedari tadi mereka membicarakan Saga.
"Nggak, nggak ada. Aku single dan sedang tidak mencintai siapapun."
Saat Disha akan menyahuti perkataan Ines, model cantik itu mengangkat tangannya ke udara seolah tak menginginkan Disha menanggapi lagi.
"Udah ya? Aku lagi nggak pengin bicarain dia. Tujuanku kesini untuk healing, liburan, merehatkan tenaga dan pikiran sejenak dari schedule yang bertabrakan kemarin. Sebelum minggu depan sepertinya aku bakal sibuk lagi di agensi dan Gema Buana Modeling School."
Disha mengangguk. Wanita itu tampaknya mengerti bahwa Ines betul-betul tak ingin membicarakan hal apapun terkait pekerjaannya saat ini.
Setelahnya ia berdiri dan menyusul bosnya yang kini mulai mendekati bibir pantai, bersiap menerima ombak yang sebentar lagi datang.