"Mbak, syalku kemarin mana ya? Perasaan aku taruh di sini."
Suara gaduh siang itu berasal dari salah satu kamar Hotel Slavion nomor 104. Ines dan Disha tengah disibukkan dengan tetek bengek perkoperan sepulang dari pantai. Salahkan saja mereka, tadi pagi belum beberes. Giliran nanti sore mau balik, siang ini malah baru menata koper.
Sesuai jadwal keberangkatan, mereka akan bertolak dari Banyuwangi pada pukul 16.00. Dan berencana check out hotel sekitar pukul 15.00.
"Nggak tau, Dis. Ini sepatu yang kemarin aku pakai pas berangkat juga kemana lagi?"
Ya begitulah, wanita dan segala kericuhannya. Naruh sendiri, lupa sendiri.
"Oh ini! Syukur deh ketemu. Ternyata di kolong tempat tidur, huh!"
Ines menghela napas, sarat akan kelegaan berhasil menemukan flat shoes warna hitam dengan aksen pita di depannya. Dua buah koper itu telah tertata rapi dan tinggal menunggu dibawa keluar. Ines rebahan di atas kasur sembari menatap asistennya yang sedari tadi sibuk menata barangnya sendiri.
"Mbak ih, kok udah selesai to? Mbok bantuin aku, ini loh syalku belum ketemu. Tadi kan aku udah bantu kamu menata koper juga, to? Gantian ayo!" Rengeknya memelas sembari menatap bosnya yang berleha-leha.
Ines memicingkan matanya. "Ya wajar kalo kamu bantuin aku. Kamu kan asistenku, aku gaji kamu ya buat bantu-bantu ngurus keperluan aku dong, Dis."
Skak mat. Perkataan wanita itu memang tak salah. Disha kalah telak dibuatnya. Ia di sini juga ditugaskan untuk membantu Ines mengurus segala kebutuhannya.
Disha menekuk wajahnya. Alhasil wanita itu memilih diam dan mencari sendiri keperluannya. Ya namanya juga bawahan, bisa apa kalau tidak diam?
Lima belas menit berlalu, kedua wanita itu bersiap keluar dari hotel untuk mengunjungi pantai lagi sebelum pulang ke Yogyakarta. Niatnya ingin berpamitan dengan Reinal dan juga Jason.
Sampai di bibir pantai, mereka mendapati 2 pria yang mereka cari berada di atas papan selancar di tengah pantai sana bersamaan dengan ombak yang menggulung.
Ah, shit! Tubuh kekar itu lagi. Kini tak hanya Reinal yang bertelanjang dada, namun juga Jason.
Mata Disha tak berpindah dari pemandangan itu. Disaat Nino mulai menghilang, ia didekati pria seperti Jason yang menyuguhkan tubuh atletis sedemikian rupa. Godaan iman macam apa ini?! Oh- kuatkanlah hati Disha, Tuhan.
Seolah mengerti sedang dipandangi kedua wanita cantik di tepi pantai, Reinal dan Jason malah melancarkan aksinya. Sepertinya mereka telah bersekongkol sebelumnya. Diawali oleh Reinal yang meliuk-liuk di atas papan selancar kemudian menaiki bibir ombak dengan manuver floater. Disusul dengan Jason yang melakukan manuver off the flip atau menyeberangi ombak secara vertikal, seperti bermain skateboard di atas air.
Sesaat setelahnya, ombak besar datang menggulung dari tengah pantai menuju ke tepian. Segera, kedua pria gagah itu melakukan atraksi manuver yang bisa dibilang ekstrem bagi peselancar. Reinal dan Jason tampak hilang ditelan gulungan ombak hingga tak terlihat oleh mata Ines dan Disha. Ternyata, mereka menelusuri perut ombak dengan manuver tube ride. Sebelum ombak luruh ke tepian, keduanya lebih dulu keluar dari dalam gulungan ombak tersebut. Hal itu sukses membuat 2 wanita cantik itu terpana.
Trik surfing tingkat tinggi, sekaligus trik untuk membuat para wanita klepek-klepek.
"Oh my god! Kalian--" Ines tak mampu menyelesaikan kata-katanya saat Reinal dan Jason berjalan menuju ke arah dirinya dan Disha.
"Rei, Jason. Aku kira kalian-- yaampun! Aku ndak nyangka ternyata yang tadi menghilang itu adalah trik surfing. Aku pikir kalian di telan ombak dan--," belum selesai dengan perkataannya, bibir mungil Disha dibungkam jari telunjuk Jason.
"Sssttt." Disha terdiam seketika. "Nggak perlu khawatir. Itu tadi hal biasa bagi aku sama Rei. Ya- nggak seberapa lah, cuma manuver tipis-tipis kok. Biasanya malah lebih wow lagi. Ya nggak bro?" Sahut Jason menyenggol sikut Reinal.
Si pria yang disenggol hanya mengiyakan seraya terkekeh. Sebetulnya yang dibilang Jason tidak sepenuhnya benar. Reinal tau persis bahwa Jason tengah menyombongkan diri di depan Disha untuk menarik hati wanita itu. Padahal manuver yang mereka tunjukkan tadi jarang mereka lakukan. Sebab, untuk melakukannya butuh keberanian serta penguasaan manuver yang tinggi. Beruntung keduanya bisa dibilang profesional. Jadi bohong bila Jason bilang manuver tadi tak seberapa. Reinal yakin jika jantung Jason berdegup kencang takut-takut jika gagal nyawa mereka melayang.
Hahaha dasar pria. Mulutnya licin sekali seperti sehabis dituang pelumas.
"You're a professional athlete, Rei, Jas." Timpal Ines masih mengagumi keduanya.
Sementara Disha terlibat adu pandang dengan Jason. Wanita itu jadi agak merasa bersalah telah mengabaikan pesan dari pria ini. Ah sial! Andai waktu bisa diulang, ia pasti memilih membalas pesan mesra Jason ketimbang nunggu pesan dari Nino.
Sayangnya waktu tak bisa kembali. Jika sudah dilewati, kita hanya bisa menyesali sesuatu yang telah terjadi.
Tiga puluh menit pun berlalu. Mereka berempat menghabiskan waktu yang tersisa dengan ngobrol santai ditemani secangkir kopi di sebuah kedai mini.
"Rei, udah mau jam 14.00. Bisa disemprot Pak Sam nanti kita." Ucapan Jason membuat Reinal gelagapan. Hampir saja ia lupa ada meeting dengan investor proyek mereka.
"Yaudah, mungkin sampai sini aja ngobrol kita. Aku sama Jason seneng banget bisa ketemu kalian berdua."
"Yoi. Hati-hati pulangnya, semoga selamat sampai Yogyakarta. Have fun ladies, see you." Setelah mengatakannya, Jason bangkit berniat meninggalkan tempat itu. Namun langkahnya terhenti ketika menyadari Reinal tak berjalan di sampingnya.
Pria itu malah mendekatkan dirinya di telinga Ines. Membisikkan kata-kata yang membuat hati wanita itu berdenyut merdu.
"Hati-hati pulangnya. Jangan lupa berdoa, jangan lupa kabari aku kalau sudah sampai. Salam rindu dari Reinal Artamafandy, peselancar Banyuwangi."
Oh- apa lagi ini? Seketika perut Ines layaknya dihuni populasi kupu-kupu yang beterbangan kesana-kemari. Seolah ada tangan tak kasat mata yang menggelitiki.
Sepuluh. Sepuluh detik wanita itu terpaku di tempat. Tak berkedip, tak bergerak.
****
Angin berembus menerpa kulit mulus kedua wanita yang tengah berjalan menyusuri tepi pantai. Di beberapa titik, Disha sibuk membidik apapun yang ia lihat.
Hup!
Ines terkejut mendapat pelukan tiba-tiba dari arah belakang. Tangan kekar itu melingkar di perut rampingnya. Ines belum berani menoleh ke bekakang. Wajah pria itu tepat di sebelah telinganya namun tertutup oleh rambut wanita itu yang terurai.
"Aku kangen, Nes."
Deg!
Suara ini... Saga?
Sontak wanita itu berbalik, sekadar memastikan bahwa dugaannya benar. Iya, Saga ada di sana. Menemui pujaan hatinya.
"Kamu ngapain di sini?!" Teriak wanita itu, membuat Disha terhenyak dari kesibukannya.
"Aku kesini buat kamu. Aku kangen--"
"Stop! Alasan kamu nggak berdasar tau nggak?!"
Saga terdiam. Ines menjadi murka padanya seperti sekarang juga gara-gara dia.
"Aku tau kamu masih marah. Aku sadar aku kelewatan sudah mengatakannya hari itu. Tapi please, percaya sama aku Nes. Nggak ada maksud sama sekali buat bilang bahwa--," tenggorokannya tercekat, tak mampu mengeluarkan kata-kata itu lagi. Seketika ia hanya bisa memeluk Ines erat-erat.
Saga mencintai wanita ini. Ia bisa mati kalau Ines terus-terusan marah padanya. Bahkan 2 hari tak bertemu rasanya Saga hampir gila.
Dalam dekapan Saga, Ines bisa merasakan betapa tulusnya pelukan pria itu. Tak bisa dipungkiri, sahabatnya ini mampu membuatnya merasa utuh lagi. Merasa begitu diinginkan dan dicintai. Meski Ines tak mampu mencintainya kembali.
"Mas Saga. Kalian duduk aja mendingan di kursi itu. Malu dilihatin orang-orang." Ujar Disha memecah suasana hangat yang tercipta.
Tak perlu pikir lama, Saga sudah menduga bahwa wanita ini adalah sosok asisten baru yang disebutkan Ines kemarin.
Pria itu diam namun tetap mengikuti arahan Disha. Perlahan ia genggam tangan Ines menuju kursi panjang di sana. Baru beberapa langkah, Saga terperangah mendapati cara Ines berjalan yang tertatih.
"Kenapa?"
"Nggak pa-pa." Jawab Ines ketus.
Tak percaya, pria itu lantas berjongkok dan terkejut melihat lutut Ines dibalut perban.
"Ini kenapa? Kok diperban?"
Dari nada suaranya saja Ines tau pria itu sedang panik. "Cuma jatuh kemarin."
Tanpa disangka, Saga mengangkat tubuh ringan Ines ala bridal style menuju kursi panjang di bawah pohon rindang.
Pemandangan romatis itu tak luput dari mata Disha dan pengunjung sekitar yang melihat keduanya.
****
Habis dikatain, terbitlah dimleyotin😭🤘🏻
Dukung MAKE ME YOURS selalu ya⭐💙