Ines merebahkan dirinya di atas kasur king size miliknya. Kamar bernuansa langit biru itu dimasuki 3 orang; Ines, Disha, dan Saga.
Jangan tanya kenapa Saga bisa ada di kamar itu! Tentu saja karena ia khawatir dengan keadaan pujaan hatinya. Bahkan tadi pria itu memaksa Ines untuk ikut dengannya naik jet pribadi yang ia sewa. Tapi Ines bersikeras menolak, ya karena tak enak dengan Disha.
Padahal hanya luka di kaki, tapi khawatir sedemikian rupa.
"Nggak usah, Ga! Udah mendingan, paling besok juga aku buka perbannya." Tukas Ines pada Saga yang sedari tadi mengompres air hangat di lutut kanannya.
Disha yang melihat itu hanya bisa cengo di tempat. So sweet sekali everybody!
Saga adalah tipikal pria posesif yang akan melarang ini itu pada seseorang yang ia cintai. Pikir Disha begitu. Dan baginya, Ines adalah salah satu wanita beruntung yang dicintai oleh pria posesif seperti Saga.
"Diem aja, biar cepet sembuh juga. Kamu nggak usah naik turun tangga dulu, tiduran aja di kamar. Kalo butuh sesuatu biar aku atau Disha yang ambilin."
'Tuh kan! Gemes banget, berasa punya suami.' Batin Disha. Jujur saja, wanita itu sedikit iri pada bosnya yang punya sosok perhatian padahal Saga hanya teman. Berbeda dengan dirinya, punya pacar tapi nggak pernah diperhatikan.
Memang lebih baik begitu. Punya teman rasa pacar, dari pada punya pacar rasa teman.
"Aku masih marah loh sama kamu." Timpal Ines.
"Kan aku udah minta maaf tadi."
"Nggak mempan."
"Apa perlu aku cium biar mempan?"
'Dahlah, mau pingsan saja hamba. Ndak kuat dengan peruwuan ini.' Batin Disha menggerutu.
"Mbak, Mas. Aku keluar aja ya? Disini kayaknya ndak guna banget. Malah jadi obat nyamuknya kalian berdua aja." Akhirnya kalimat itu keluar juga. Hampir satu jam Disha mencoba mengutarakan tapi tak berani.
"Jangan! Jangan Dis, kamu di sini aja nemenin aku." Cegah Ines spontan.
"Lho kan udah ada Mas Saga to, Mbak?"
"Dia mesum."
Jawaban frontal Ines sontak membuat Saga membelalakkan matanya. What? Mesum katanya?
"Emang aku pernah ngapain kamu?" Ketus pria itu.
"Dih, pura-pura lupa lagi. Kan kamu yang bilang sendiri, kalau deket aku bawaannya sangean mulu. Apa? Mau alasan apa lagi, hah?!" Sungut Ines menantang Saga yang hendak menyanggah.
"Kan maksudnya di saat-saat tertentu doang, Nes." Alibi pria itu dan Ines hanya berdecak mendengarnya.
"Bohong! Kamu dulu pernah bilang kalo lagi berdua di tempat sepi pengin nyosor aku, kan? Dikira aku lupa apa? Ngomong sendiri, ngeles sendiri." Wanita itu balik berdecih.
"Iya emang, tapi kalau kamu lagi sakit kan nggak mungkin aku main cipok gitu aja."
"Bahasanya ih!" Geram Ines.
"Alah emang unfaedah banget aku disini. Kayak lagi liatin pasutri berantem. Udah kalian nikah aja deh cocok banget, Mbak Mas. Aku tak keluar aja wes, dari pada budeg." Disha menyela kemudian mendekati pintu yang kamar Ines yang terbuka.
"Berani selangkah keluar dari kamar, nggak gajian bulan ini!" Ancam Ines tak main-main.
Peringatan itu sukses membuat nyali Disha menciut seketika. Wanita itu mematung di pojokan, tak berani keluar kamar.
****
"Kalau dilihat di agenda terakhirmu, besok schedule 7 jam, malamnya free. Jam 09.00 ke agensi untuk photoshoot sama presentasi brand pakaian. Lalu jam 13.00 ke Gema Buana Modeling School."
Ines memijat pelipisnya saat mendengar penuturan Disha. Sebetulnya kerja 7 jam tidak terlalu padat juga jika dibandingkan schedule pada saat acara nataru bulan lalu. Namun kondisinya berbeda, kakinya tidak bisa diajak berdiri lama-lama. Harus diselingi dengan duduk. Sedangkan Gema Buana, sekolah model tempatnya mengajar para talent, mengharuskan Ines untuk standing sepanjang pelajaran.
"Di Gema Buana aku ngajar basic class atau regular class?"
"Regular class, Mbak. Dengan materinya yaitu pose untuk keperluan runway."
"Runway? Oh my gosh! Ini makan waktu lama dan latihannya harus maksimal." Ines menghela napas sejenak. "Instrukturnya siapa aja?"
"Untuk besok instruktur atas nama Ines Alve dan--"
"Eh, kamu tok Mbak." Imbuh Disha lagi, lantas menatap Ines yang memasang wajah kaget. "Kamu tok besok instrukturnya. Gimana? Bisa? Atau perlu aku bilangin ke Madam Eliza biar diganti instruktur yang lain?"
Ines menggeleng cepat. Dari awal ia sudah antusias ketika mendengar bahwa dirinya menjadi instruktur pose runway. Tak mungkin ia lepaskan begitu saja kesempatan ini. Dan ia juga tak ingin mengecewakan Madam Eliza jika harus mengalihkan tugasnya ke instruktur lain.
"Nggak perlu. Besok aku bisa kok."
"Serius? Kayaknya masih memar tuh, jalannya aja belum benar-benar lurus. Nanti kamu dimarahin Mas Saga lho kalau ngeyel." Wanita polos itu menaik-turunkan alisnya. Lagi-lagi ia menggoda bosnya, untung saja Saga sudah pulang 30 menit yang lalu jadi tidak besar kepala.
"Dih biarin. Nggak takut aku." Wajah cantik itu mengerucutkan bibirnya, sedikit tak senang mendengar ledekan dari Disha, bahkan semenjak Saga pulang.
"Tidur aja Dis. Besok kamu harus ke agensi dulu buat ambil propertiku yang kemarin loh."
Disha menepuk jidatnya, hampir saja ia lupa dengan properti photoshoot milik Ines yang kemarin ketinggalan gara-gara kelalaiannya. Ia lirik bosnya yang sudah bergelung di bawah selimut.
Tidur aja masih cantik. Disha tak berhenti mengamati wajah ayu bosnya. Saat hendak berdiri dari kursi rias, cahaya dari ponsel Ines menghentikan niatnya. Sebuah panggilan masuk dari Saga.
Astaga. Pria itu apa tak bisa menahan rindu sebentar saja? Sedikit-sedikit selalu minta kabar. Disha jadi ragu, ia harus mengangkat panggilan itu atau tidak, ya?
Pasalnya kemarin Ines bilang, ponsel pribadi miliknya boleh dibawa Disha ketika dirinya sedang sibuk. Disha juga diperbolehkan mengangkat atau membalas pesan yang masuk asal bilang dulu ke Ines atau ketika HP itu tak bersamanya.
Disha pikir ini bukan bagian dari privasi Ines, kan? Mau membangunkan pun rasanya tak mungkin. Ia kini menempelkan benda pipih itu ke telinganya, kemudian berjalan keluar kamar agar tidak membangunkan bos cantiknya.
"Mbak Inesnya udah tidur, Mas."
"Loh tumben, baru juga jam 10. Kecapekan dia ya?"
"Iya, makanya jangan dibikin kesel dulu."
Saga berdecak di seberang sana. "Aku mau tanya sama kamu. Ines waktu ke Banyuwangi ngapain aja?"
"Ya liburanlah, masa bertapa?"
Disha dapat mendengar geraman rendah di seberang sana. "Maksud aku ada pria yang genitin dia nggak selama di pantai? Kali aja peselancar di sana pada gatel lihat yang bening-bening."
Hahaha sialan! Saga jadi seperti cenayang saja. Apa semua orang yang lagi bucin mendadak berbakat jadi dukun?
Disha tak berani menjawab, sejujurnya ia bingung. "Aku ndak berani Mas, itu diluar urusanku. Kalau Mas Saga kepo, besok tanya Mbak Ines langsung aja."
Yah, setidaknya ia hanya berusaha profesional sih.
"Disha, tolong! Aku minta kerjasamanya. Kalau kamu bisa memberikan info apapun soal Ines selama ia tak bersamaku, kamu akan aku kasih tip."
'Dasar orang kaya, beraninya main suap! Tau aja kalau orang miskin lemah iman sama cuan, haha.' batin Disha cengengesan.
Tapi di luar dari itu, ia juga sebetulnya ingin Saga dan Ines ada kejelasan. Karena Disha telah nge-ship mereka berdua sejak pertama kali skandalnya heboh di media. Reinal mah lewat kalau dibandingkan sama Saga yang mapan, tampan, terdepan.
****
*Tip = upah*
Tetap dukung cerita ini
Big lov for u, thanks^^