Bruk..
Sebuah suara barang jatuh mengejutkan Ines dan Saga yang membelakangi pintu utama.
Disha berdiri di sana. Wanita itu tampak ngos-ngosan, sibuk mengatur napas. Beberapa properti jatuh ke lantai karena saking banyaknya dan tak ada yang membantunya membawakan itu semua. Namun ia dibuat terperangah kala melihat bosnya malah asik cekikikan mesra di sofa, sementara ia kalang kabut mengejar waktu yang semakin mepet.
"Mbak Ines ngapain? Kok nggak siap-siap? Udah mau jam 09.00 loh ini."
Saga berdecak. "Minum dulu sana! Ganggu orang lagi romantis aja." Ines spontan menggeplak lengan Saga.
What? Disha ganggu katanya?
Wanita itu mencibir lagi. "Kok malah ngatain aku ganggu to, Mas?! Aku cuma mau ngi--"
"Dis, udah." Ines menyela sebelum asistennya ini nyerocos lebih lama lagi. "Propertiku masukin kamar kamu dulu. Terus ke dapur sana minum apa makan terserah. Schedule agensi diundur sampai nanti jam 12.00, makanya kamu tenang."
Disha melongo ditempat. "Loh kok--?"
"Sssttt, diam!" Gertak Saga.
"Nes, Disha udah balik. Ayo kita jalan!" Kedua sejoli itu menarik dirinya dari sofa. Mendekati Disha yang masih mematung di tempat.
Wanita itu pun terheran saat Ines dan Saga keluar dari rumah. Jalan-jalan katanya? Lalu bagaimana bisa schedule Ines tiba-tiba berubah? Apa Saga yang menggantinya? Tapi semalam Saga tak tanya soal schedule Ines ke dirinya.
Ah dasar! Orang kaya songong, posesif, bucin, sialnya ganteng.
****
Kedua anak manusia itu menunggangi sebuah triumph warna hitam milik Saga. Pria itu mengajak Ines pulang ke rumahnya dulu untuk mengganti mobil dengan motornya.
Kuda besi milik Saga meliuk-liuk di jalanan sepi. Maklum, pria itu memilih daerah yang jauh dari pusat kota. Niatnya ingin ngobrol dengan Ines berdua saja di atas motor tanpa turun, tanpa diganggu, tanpa bising.
"Kita lama nggak gini."
Saga tersenyum simpul mendengar penuturan Ines. "Ya kamunya sibuk terus."
Mereka kemudian larut dalam pikiran masing-masing. Kendati demikian, tangan Ines tetap melingkar di perut Saga. Atas perintah pria itu tentunya. Jalanan di Yogyakarta yang mereka lewati kali ini memang cukup sepi. Hanya ada beberapa motor berlalu-lalang yang bahkan bisa dihitung pakai jari. Daerahnya yang jauh dari pusat kota, membuat tempat ini ditumbuhi banyak pohon disekelilingnya. Menambah kesan sunyi dan sejuk pada siapapun yang melintas.
Cocok sekali untuk sepasang anak manusia yang sedang kasmaran.
Ines memilih meletakkan dagunya di pundak lebar Saga. Melirik pria yang fokus di jalanan itu meski terhalang helm keduanya.
"Kamu nggak ada niatan cari topik, Ga?"
Saga tersenyum tanpa menoleh. Ia bukannya tak tau bahwa Ines meletakkan dagunya di pundak kekarnya. "Coba sekarang kamu yang cari topik. Perasaan dari dulu aku terus kayaknya." Godanya.
Ines menghela napas ringan. "Kamu nggak mau nyoba jalan sama wanita selain aku?"
"Hm? Nggak. Atau mungkin belum."
"Balikan sama mantan kamu mungkin?"
Saga malah terkikik. Kenapa pula Ines malah membahas mantannya? "Nanti kamu cemburu."
"Aku nggak cemburu. Emang siapa aku berhak cemburu? Ya paling sih, kehilangan aja."
"Kehilangan kenapa?"
"Karena kalau kamu punya kekasih, berarti aku akan kehilangan kamu di sisi aku. Kamu bakal lebih sering luangin waktu kamu buat dia ketimbang aku." Ines tersenyum kecut mengatakannya. Entahlah, untuk saat ini ia belum sanggup membayangkan.
Namanya juga hidup. Manusia akan selalu mengalami serangkaian kehilangan.
Yang hidup dan yang mati.
Yang datang dan yang pergi.
Yang hilang dan yang kembali.
Saga terkekeh mendengarnya. Ah- bukan, lebih tepatnya bersorak riang dalam hati. "Kenapa kita nggak bersatu aja biar nggak saling kehilangan?"
"Nggak semuanya bisa disatukan, Ga."
"Termasuk aku sama kamu?" Tanya Saga.
"Iya mungkin?" Kata Ines meragu. Wanita itu memang terbiasa menjawab dan berasumsi penuh keraguan.
"Mungkin. Dan kemungkinan itu sendiri ada persentasenya, Nes." Kata Saga kemudian. "Kemungkinan itu terdiri dari: iya 50% dan tidak 50%."
Tak perlu waktu lama bagi wanita di belakang Saga untuk memahami penjelasan semacam itu. "Menurut kamu, persentase kita bersatu 50%, dan tidak bersatu 50%?"
"Ya. Imbang, kan? Karena itulah aku akan tetap berjuang selagi kamu belum memiliki seseorang. Kita ini kemungkinan kan, Nes?"
"Iya, Ga. Kemungkinan-kemungkinan yang tidak mungkin."
Saga terpekur. Baru saja dilambungkan saat Ines bilang merasa kehilangan. Namun langsung dijatuhkan disaat bersamaan ketika Ines bilang, bahwa mereka bersatu adalah hal yang tidak mungkin.
Kenapa manusia suka begitu, ya? Diterbangkan hingga langit, lalu diterjunkan tanpa pamit. Sakit.
Patah hati ke sekian kali. Ketika seseorang yang kamu harapkan selalu menolakmu terang-terangan. Tapi di satu sisi, kadang orang itu memberimu harapan. Yang membuatmu makin optimis untuk tetap berjuang.
Saga berusaha menguatkan hatinya. Ungkapan menusuk seperti ini sudah pernah ia terima sebelumnya. Maka tak patut bila sekarang ia menyerah hanya karena kata-kata itu.
"Kenapa Nes?"
"Apanya?" Wanita itu bahkan kini merebahkan kepalanya di pundak Saga.
"Kenapa kita tidak mungkin?"
Kepalanya terangkat, lalu menggeleng pelan. "Nggak tau. Feeling aja."
"Feeling kamu liar banget. Padahal aku yakin kita bisa." Saga terkekeh, berusaha menutupi perasaannya yang terluka.
"Bisa apa?"
"Bisa duduk berdua di beranda rumah dengan aku menyesap kopi buatanmu di pagi hari sambil melihatmu menunggu sayuran keliling."
Keduanya tertawa. Bayangan semacam itu sudah menari-nari sejak lama di benak Saga. Sejak ia menyatakan cintanya pertama kali ke Ines.
"Itu mah berumah tangga namanya, Ga." Wanita itu masih tertawa, dengan kedua tangan yang tak lepas dari perut sixpack milik Saga.
"Indah banget ya, Nes." Ujar pria itu sembari mengawang-awang jauh.
"Kamu kebelet nikah ya? Buruan cari istri sana!"
"Satu-satunya wanita yang ingin aku jadikan istri barusan bilang; bahwa aku sama dia adalah kemungkinan-kemungkinan yang tidak mungkin."
Ines terdiam. Ia tak tau harus menanggapi seperti apa. Saga sedang membicarakan dirinya.
"Nes?"
"Hm?"
"Aku harus gimana?"
Lagi-lagi wanita itu terdiam. Entah kalimat seperti apa yang harus ia utarakan untuk menjawab pertanyaan Saga. Ines seolah mati kutu saat ini, padahal dulu mampu menolak Saga berkali-kali.
"Nggak gini ngobrolnya, Ga."
"Kenapa?"
"Aku minta kamu buat ngobrolin hal lain. Bukan soal kita."
"Kenapa harus ngobrolin hal lain?" Tanya Saga saat memasuki sebuah gang di daerah tersebut.
"Karena banyak hal nggak jelas di dunia ini yang harus kita obrolin. Kayak kenapa korea selatan sama korea utara itu nggak bisa damai? Atau kenapa ada banyak agama di dunia ini? Atau kenapa kucing sama tikus nggak pernah akur? Dan hal nggak jelas lainnya yang belum kita tau, Ga." Ucap wanita itu sembari mengerucutkan bibirnya.
Sementara Saga hanya tersenyum tipis."Bukannya kita juga nggak jelas, Nes? Lalu kenapa sibuk mengurusi dunia luar bila diantara kita saja tidak ada kejelasan?"
"Kalau tanpa kejelasan saja bisa membuat kita nyaman, kenapa nggak?"
"Yang nyaman itu kamu. Bukan aku." Ujar Saga telak mengakiri perbincangan mereka berdua siang ini.
****
Sesuai judul, DEEP TALK😭🤝🏻
Saga jadi sadboy ga ya? Kok ga tega aing🗿
Reinal apa kabar? Eh, Juan jg belum dateng euy🤪