Chereads / MAKE ME YOURS / Chapter 8 - Dokter Dea

Chapter 8 - Dokter Dea

Sebuah suara asing mendekatinya. Orang itu menepuk pelan bahu terbuka Ines. Dan jika dipantau dari suaranya, ia seorang wanita.

"Mbak? Mbak nggak pa pa?"

Ines mendongak. Seorang wanita cantik berdiri di depannya. Bertubuh kecil dan untuk ukuran wanita, ia tak terlalu tinggi juga. Tapi Ines tak mau menampik, wanita ini betul-betul cantik meski bertubuh mungil.

"Iya, nggak pa pa." Jawab Ines. "Makasih." Ujarnya lagi ketika wanita itu menantu Ines berdiri.

"Lutut kamu berdarah, sebentar." Wanita cantik itu berlari ke arah penjual yang tak jauh dari tempat Ines berdiri. Kemudian ia juga berhenti di gazebo mengambil sesuatu di dalam tas.

"Ah, aku nggak pa pa, kok. Nggak perlu, Mbak." Cegah Ines ketika wanita itu membersihkan darah lukanya dengan kapas.

"Mbak jangan gerak dulu, ya? Lututnya usahakan selalu ditekuk." Ines hanya menatap wanita itu tak mengerti. Ia membiarkan si wanita fokus dengan luka di lututnya.

Dinginnya air kompresan membuat Ines mendesis lirih. Rasanya sedikit perih tapi juga dingin, apalagi diterpa angin kencang pinggiran pantai seperti ini.

Sekitar 10 menit mengompres, wanita itu membebat lutut Ines dengan perban. Sebetulnya letak luka itu sedikit ke bawah, jadi tidak persis mengenai tulang lututnya.

"Kaki kanannya diangkat dulu untuk sementara waktu. Ini bertujuan agar aliran darah tidak mengalir terlalu banyak ke area luka."

Ines masih bengong di tempatnya.

"Oiya, ini aku ada obat pereda nyeri Mbak. Mungkin nanti bisa kamu minum setelah makan. Sifatnya tidak memberi efek banyak bagi tubuh, jadi aman. Obat ini bekerja untuk mengurangi rasa sakit saja." Jelas wanita itu lantas tersenyum menatap Ines.

"Kamu kenapa obatin aku sampai kayak gini?"

Si wanita itu tersenyum lagi. "Aku terbiasa menangani orang sakit. Jadi aku tak bisa melihat orang di dekatku terluka sementara aku diam saja, Mbak."

"Kamu dokter ya, Mbak?" Tebak Ines dan tepat sasaran. Wanita itu mengangguk pelan.

"Namaku Deanita. Biasa dipanggil Dea. Kamu?" Kata wanita itu lagi seraya mengajak Ines berjabat tangan.

"Panggil Ines saja. By the way, makasih ya dok, udah mau repot-repot ngabatin aku sampai diperban dan dikasih obat segala. Aku nggak minta padahal." Keduanya terkekeh.

Mereka terlibat obrolan ringan hingga 20 menit. Wanita cantik itu ternyata adalah seorang dokter muda yang bekerja di sebuah rumah sakit umum daerah di Yogyakarta. Dokter Dea ini merupakan warga asli Bandung dan baru saja mutasi kerja dari salah satu rumah sakit di sana.

"Untuk besok-besok mungkin bisa dikompres air hangat saja setiap pagi, Mbak."

Ines mengangguk paham lalu memasukkan obat pereda nyeri yang diberi oleh dr. Dea tadi.

"Halo. Kenapa Mas?"

"..."

"Oh, oke. Setelah ini aku langsung ke sana."

"..."

"Oke, see you."

Itu merupakan interaksi via panggilan telepon antara dr. Dea dengan seseorang.

"Suaminya ya, dok?" Ines tetap memanggil wanita cantik ini sesuai profesinya. Meski baru kenal, ia rasa tak ada salahnya menghargai orang lain terlebih dahulu.

"Bukan." Dokter Dea menggeleng. "Dia tadi habis menyelam mau lihat pemandangan laut bawah katanya. Terus sekarang udah nunggu di sebelah Hotel Slavion."

"Oh, nginep di Hotel Slavion juga?" Tanya Ines kemudian.

"Nggak kok, Nes. Aku numpang di rumah saudara deket dari sini." Jawab Dea seraya mengemasi tasnya yang tadi ia bawa kemari.

"Kalo gitu aku izin pamit ya, Nes? Udah ditunggu sama tadi yang di telepon. Semoga lutut kamu cepat kering ya."

"Iya makasih dok. Hati-hati." Setelahnya, Ines membiarkan dokter cantik itu berlalu.

****

Sebuah goodie bag berisikan macam-macam makanan itu tengah dibongkar Ines. Wanita itu betul-betul tak menyangka Disha akan membeli makanan sebanyak ini. Padahal nanti juga masih ada makan malam di hotel. Lihat saja, dalam goodie bag tersebut terdapat fettucine carbonara, cheese meat steak, ayam sauce BBQ, capcay, kwetiau goreng, nasi putih, serta 2 botol chocolate milkshake untuk kategori minumannya.

Mendadak lidah Ines kelu untuk mengucap kalimat barang sepatah kata. Apa asisten barunya ini berniat membuatnya kere mendadak? Pesan makanan take away saja sebanyak ini, bagaimana jika makan langsung ditempatnya? Tekor sekoper ia pasti.

"Kamu mau bikin acara bagi makan kaum dhuafa apa gimana?"

"Loh, kok nanya gitu Mbak?"

"Ya kamu beli makan siang doang diborong semua menu. Siapa yang mau makan ini semua?"

Mendapat cibiran dari Ines, wanita polos itu hanya nyengir menampilkan deretan giginya yang rapi. "Ya kita berdua yang makan lah, Mbak. Masakan hotel yang tadi ndak enak. Ini kan bisa buat makan nanti malam jaga-jaga kalo kita laper gitu."

Ines menghela napas berat mendengar penuturan Disha.

"Yaudah bawa masuk ke hotel." Ines kemudian berdiri dan berjalan tertatih-tatih ke arah sandal jepitnya yang tadi tersempar ke arah pantai.

"Loh kakimu kenapa, Mbak?"

****

"Udah di sini aja, Kak. Nanti biar dibawain pelayan hotelnya aja." Disha tersenyum genit pada dua orang bertubuh kekar bak atlet tinju itu. Yang satu membantu membawakan goodie bag berisi makanan bawaan Disha. Sedangkan satunya menuntun Ines berjalan.

Kedua pria tersebut lantas melenggang pergi meninggalkan 2 wanita yang sedang tersenyum simpul. Hingga datang pula 2 orang pelayan hotel untuk membantu keduanya menuju kamar sewa.

"Hah. Capek banget yo, Mbak. Padahal cuma gitu-gitu aja tadi." Disha merebahkan tubuhnya ke kasur king size yang bahkan muat untuk 4 orang.

"Lelaki peselancar tadi ganteng-ganteng buanget. Sampai rasanya aku meleleh lihat senyumannya."

Tak ada tanggapan, Disha berujar lagi. "Laperku kok tiba-tiba hilang yo setelah diantar peselancar itu? Kamu laper ndak, Mbak?"

Masih tidak ada sahutan.

"Mbak?"

Hening.

"Mbak Ines?"

Alhasil, wanita yang semula tidur telentang dengan kaki menjuntai ke bawah itu pun terduduk. Ia menemukan Ines berada di ambang pintu kamar mandi sambil berdiri. Dan- what the hell?! Wanita itu asik senyum-senyum sendiri menatap ponsel sementara dari tadi Disha mengajaknya ngobrol dan tak ada jawaban? Haha, sesuka hati bos.

Penyakit manusia masa kini. Ponsel pintar kerap kali menulikan telinga, bahkan ada pula yang sampai mengalihkan dunia.

"Astaga! Mbak Ines!" Gertaknya dengan suara lantang. Berharap bos cantiknya itu bisa membagi fokusnya dari ponsel.

"Hm?"

"Dari tadi loh aku panggilan, aku ajak ngobrol. Taunya disitu, mana senyum-senyum sendiri lagi. Mas Saga ya?"

Ines menggeleng lemah sambil tersenyum tipis. Kaki jenjangnya melangkah mendekati karpet di bawah kasur, disusul dengan Disha di sana.

Sambil membuka goodie bag, ia berujar. "Aku lagi nggak contact-an sama Saga. Si peselancar yang tadi minta nomor, dia langsung chat aku. Dan- ya gitu deh. Kayak lelaki kebanyakan, sekali kenal langsung perhatian." Ines terkekeh di ujung kalimatnya.

"Mantap emang! Pesonamu memikat hati kaum adam yang melihat, hahaha." Tawanya renyah lantas memasukkan sesuap makanan yang ia buka. Katanya sih udah nggak lapar, tapi tetap aja dimakan.

Dasar wanita. Sifat labil dan moodyan mereka memang tak bisa dihilangkan.

"Peselancar yang tadi bantuin aku juga chat nih, Mbak. Tadi belum aku balas."

"Kenapa?"

"Ndak pengin aja. Aku lagi nunggu chat dari pacarku loh ini, dari tadi pagi dia nggak ada kabar sama sekali."

Alih-alih merasa iba, Ines yang mendengarnya malah terkikik. "Hati-hati pelakor. Lagi marak loh, Dis."

Wanita itu asik memanas-manasi Disha. Dan berhasil tentunya. "Iya juga ya. Ih Mbak gimana kalo dia selingkuh di belakang aku?"

Raut wajah Disha saat ini teramat lucu di mata Ines. Wanita itu cemberut dengan pandangan kosong ke depan. Sedang membayangkan apabila hubungannya dimasuki orang ketiga, mungkin?

Ines tertawa dalam hati. Pacaran emang rumit, salah sendiri terlalu bucin!

"Ya putuslah, kok ribet."

"Mbak Ines ih! Kok malah nyuruh putus to?"

"Mau gimana lagi? Kalo hati kamu baik-baik saja saat lihat dia bahagia dengan yang lain, ya silahkan bertahan. Bakal jadi cinta segitiga nanti." Kekehan terdengar dari mulut Ines, membuat Disha semakin kalang kabut.

Menyudahi hubungan memang sakit. Tapi bertahan dengan adanya orang ketiga jauh lebih sakit.

Wanita 20 tahun itu raut wajahnya sudah memerah hendak menangis. Memikirkan nasib hubungannya yang mungkin saja dihinggapi orang ketiga lantaran belakangan ini pacarnya sering menghilang dan banyak alasan.

Padahal kecurigaan itu belum tentu benar. Bukankah dalam hubungan perlu adanya setia dan saling percaya?