"Disha chat nih, udah sampai rumah katanya."
"Oh."
"Kok tumben sih dia nggak nemuin aku dulu? Apa dia tau ya kalau aku bakal balik sama kamu?"
"Hm."
Ines menoleh pada manusia di sebelahnya. Si pengemudi yang diajak ngobrol hanya memasang muka datar dan sekenanya. Lantas sebuah ide melintas di benak Ines.
"Saga." Wanita itu bergelayut manja di lengan kiri Saga yang memegang kemudi.
Nada bicaranya teramat manja membuat Saga resah tiba-tiba. Bahkan menelan ludah rasanya teramat susah.
"Apa sayang?"
"Najis ih, serius juga."
Saga mengaduh lantaran mendapat satu pukulan di lengan kirinya. Kini tangan wanita itu tak lagi bergelayut di lengan kekar Saga.
"Kok dipukul sih? Orang dibaikin juga."
"Kamu sukanya nyuri kesempatan mulu, heran."
Saga terbahak-bahak. "Kenapa, hm? Lagi ada maunya pasti."
Ines memainkan ujung bajunya. Menggulung-gulung hingga hampir terbuka. "Tadinya sih mau bertele-tele."
Saga berdecak. "Tuh kan. Nggak perlu basa-basi, to the point aja."
Kini Ines beralih memainkan ujung kukunya. Sekian menit berlalu tapi ia tak kunjung mengutarakan isi hatinya. Jujur saja ia takut. Si pria temperamental di sebelahnya ini mudah sekali meledak kalau membahas sesuatu yang tak disukainya. Ines mau membahas Disha.
"Malah diem. Kenapa sih, hey?"
Dagu Ines menjadi sasaran tangkupan tangan kekar Saga. Diangkatnya wajah cantik itu hingga kedua mata mereka bertemu. Ines menurunkan tangan Saga dari dagunya. Alih-alih mengembalikan, ia malah memainkan jemari Saga.
"Baikan sama Disha, ya?"
Ah, mata itu lagi.
Saga sudah hafal tiap kali Ines menampilkan puppy eyes-nya, pasti kemauannya sangat ingin dituruti. Tiga tahun bersama, tapi kelakuannya tak berubah. Tetap begitu sejak dulu.
Sebetulnya Saga mau saja bila disuruh baikan sama Disha. Sejauh ini ia belum pernah bermusuhan dengan yang namanya perempuan bahkan dengan mantan pacarnya sekalipun. Tapi kembali lagi, perangai Disha belum bisa ia tebak dalam-dalam. Belum seminggu mengenalnya, Saga hanya tau kalau wanita itu polos, cekatan, otak lumayan, dan- yah mungkin baru itu.
"Saga ih! Kok nggak dijawab?"
Saga terperangah ketika jemarinya yang semula dimainkan Ines, malah disentak begitu saja.
"Yaelah garang banget. PMS kamu ya?"
Ines mendelik. "Nggak perlu basa-basi! Aku butuhnya kepastian."
Saga tersenyum smirk. Lidahnya ia gunakan untuk mengelap bibirnya yang kering. "Aku juga butuh kepastian. Kalau kita barter aja gimana?"
Ines mengendus bau-bau licik. Tapi tetap saja ia penasaran. "Barter apa maksudnya?"
"Ya barter kepastian. Kamu jadi pacar aku, nah aku mau baikan sama Disha. Adil kan? Gimana? Mau ya?"
Hhh anjay. Bukan Saga namanya kalau tak mencari kesempatan dalam kesempitan.
Mata Ines menukik tajam kala melihat Saga malah menaikkan turunkan kedua alisnya. Apakah barter kepastian seperti itu lucu baginya? Ayolah, ingin sekali Ines timpuk wajah sok keren itu dengan kemoceng. Sejurus kemudian Ines mencubit perut samping Saga.
"Aw... aw aw... aw sakit Nes! Udah eh, aw."
"Bisa nabrak ini kita, Nes. Aw... udah dong."
Pria itu terus memekik lantaran Ines tak kunjung berhenti mencubiti lemak di perutnya. Ah sebetulnya sih bukan lemak, daging lembek saja. Pria macho macam Saga mana punya lemak di perut?
Ines menyudahi aksinya dan langsung memasang wajah datar. Saga memanggilnya tapi ia malah melengos menatap jalanan melalui kaca mobil.
Hahaha merajuk.
"Ngambek. Gitu aja ngambek."
Tak ada suara. Menoleh pun tidak.
"Sweetie."
Masih tak ada suara.
"Iya iya. Nanti baikan deh sama Disha."
Sontak Ines memalingkan wajah dengan senyum mengembang di bibirnya. "Serius?"
"Ya gitu deh."
Wanita cantik itu kembali bergelayut di lengan Saga sebagai ungkapan rasa terima kasihnya. Sementara tangan kanan Saga yang tak lagi memegang kemudi ia gunakan untuk mengelus puncak kepala Ines.
"Gini terus, ya?"
Ines mengangkat kepalanya namun tetap melingkari lengan Saga. "Gini gimana?"
"Manja, ngambek, marah, baikan, manja lagi. Gitu selamanya."
"Ya tergantung." Kata Ines mengerucutkan bibir.
"Apa?"
"Tergantung kita digariskan selamanya atau tidak."
Hahaha, tak perlu dikasih tau Saga sudah sering membaca kalimat itu di buku roman. Tapi yang ia minta hanya kesediaan wanita itu untuk selalu bersamanya.
"Semesta selalu punya cara untuk menyatukan 2 hati menjadi sebuah cerita, Nes."
"Dan semesta juga selalu punya pilihan untuk menjadikan cerita itu lama atau sementara, Ga."
Saga tersenyum. Ia akui Ines memang pandai membalikkan omongan. Ucapannya terkadang sering dibantah dengan kata-kata yang tak kalah puitis dari si model.
Saga menyahut lagi. "Aku akan paksa semesta biar menjadikan cerita kita lama."
"Gimana kalau pada akhirnya kita bukan takdir?"
"Aku akan minta sama Tuhan buat merevisi jodoh biar kita nggak berakhir."
Keduanya tertawa. Jalanan menuju rumah Ines menjadi penontonnya. Yang satu tertawa sebab hanya ingin hadir. Yang satu tertawa sebab merasa getir. Entah mareka akan menjadi takdir atau di tengah jalan malah berakhir.
****
Pantry dapur sedang sesak oleh para maid di rumah Ines. Ini karena Disha memaksa mereka untuk membantunya cara membuat pancake fluffy anti gagal. Meski anaknya cerdas, Disha tak pandai dalam urusan dapur.
"Pantes ribut-ribut dari tadi. Ternyata biang keroknya di sini." Suara Ines menginterupsi orang-orang di sana.
"Eh, udah pulang. Kok sendiri? Mas Sagarong langsung balik?"
"Kok tau aku pulang bareng Saga?"
Disha menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Ya soalnya tadi pas aku ke agensi, aku ngintip kamu lagi bikin video sih. Jadi ya udah aku balik aja, lagian males banget ketemu tuh orang."
"Aku lagi belajar bikin pancake nih, kamu mau cobain Mbak?" Imbuh Disha.
Ines menarik tangan Disha yang sedang berselimut tepung dan seperangkatnya. "Pancakenya nanti aja, ikut aku dulu."
"Hah? Apasih Mbak main tarik aja? Mau ngapain sih?"
Tak ada jawaban, Ines menarik Disha menjauhi pantry, menuju taman bekakang rumahnya. Disha terperangah ketika mendapati Saga terduduk di kursi panjang dengan wajah tertunduk, sepertinya memainkan ponsel. Meski hanya melihat punggungnya, ia tau itu pasti Saga. Memangnya pria mana lagi yang akan dibawa Ines ke rumahnya jika bukan pria itu?
Ketiganya duduk berseberangan. Saga duduk di kursi panjang sendirian. Sementara Ines dan Disha ada di satu kursi yang sama di depan Saga.
Ines menatap kedua makhluk itu bergantian. Saga main ponsel, Disha memalingkan wajah. Haha orang-orang ini memang bikin pusing kepala.
"Saga, Disha. Baikan cepet. Aku nggak mau lihat kalian kayak gini."
Saga memandang si cantik yang tengah berbicara itu. Kalau bukan karena Ines, sesungguhnya ia begitu malas mohon-mohon di depan wanita seperti sekarang ini.
"Dis, aku minta maaf. Kemarin lagi nggak kontrol emosinya, jadi ya meluap-luap gitu aja."
Si empunya malah tertegun. Disha tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Saga meminta maaf padanya? Minta maaf duluan? Pria temperamental itu? Sungguh?
Beberapa opsi ketidakpercayaan berkeliaran di kepalanya. Rasanya susah sekali mengakuinya, tapi ini sungguhan. Model tampan itu tengah memandangi Disha dalam-dalam dengan mata tajam tapi meneduhkan.
Ahh- mau semenyebalkan apapun dia, Saga tetap saja rupawan.