Kuda besi milik Reinal meliuk-liuk di jalanan yang makin sepi. Banyak belokan yang telah kedua sejoli ini lewati. Tiga tahun menetap di Yogyakarta, tak lantas membuat Ines hapal seluruh seluk beluk kota yang masih kental budaya ini.
Hingga kini, Reinal masih enggan memberitahu kemana ia akan membawa Ines pergi. Si pembonceng pun tampak awam terhadap jalan yang dilewatinya.
Tapi ia percaya, Reinal orang baik-baik. Tak mungkin pria itu akan macam-macam dengannya.
Sepanjang jalan tadi, mereka terus saja mengoceh. Dari topik A hingga Z. Dari ghibah tentang hubungan Jason Disha hingga bercerita kegiatan proyeknya Reinal.
"Saga itu siapanya kamu sih sebenarnya? Disha bilang katanya kamu nggak boleh deket sama aku karena dilarang dia."
Reinal mencoba memberanikan diri bertanya mengenai Saga. Sesungguhnya ia sedikit tau soal Saga melalui cerita Disha. Tapi si peselancar ini ingin mendengar langsung dari mulut Ines.
"Rekan seprofesi sekaligus sahabat aku."
"Kalau cuma rekan kerja, kenapa posesif banget sama kamu?"
"Terobsesi mungkin." Ines terdiam sejenak. "Aku sama dia emang deket banget, sampai-sampai orang mengira kami punya hubungan, padahal nggak."
Pacar juga bukan, tapi bertingkah seolah dia orang tuanya saja. Reinal membatin.
Meski belum pernah ketemu, tapi ia yakin si Saga ini pasti orangnya ngeselin. Dari hal-hal yang diceritakan Disha, Saga ini pemarah bila miliknya diusik, posesif, pencemburu, temperamen juga. Hal itulah yang kemudian membawa persepsi Reinal bahwa Saga adalah pria yang buruk.
"Kenapa emang?" Tanya Ines kemudian.
"Nothing." Bohong Reinal, padahal ia berniat cari tau. "Cuma mau memastikan, kalau aku nggak berkencan dengan pacar orang," kekehnya di akhir kalimat.
Ines tertawa mendengarnya. "Memangnya kenapa kalau kencan sama pacar orang?"
"Bisa-bisa dipukulin dong aku nanti."
"Biar aku yang obatin lukanya."
"Kalau masih sakit?"
"Aku tiup biar sembuh."
"Kalau nggak sembuh?"
"Aku cium deh."
"Kalau belum sembuh juga?"
"Aku bakal stay sampai lukanya nggak sakit lagi."
"Yaudah besok aku minta preman buat pukulin aku sampai babak belur."
"Loh, kenapa?"
"Biar kamu stay sama aku."
Ines tertawa terbahak-bahak mendengar gombalan Reinal. Tanpa sadar, tangannya ditarik lebih ke maju lagi oleh Reinal hingga jari-jari kanan dan kirinya bertautan melingkari perut pria itu. Ia rasakan punggung lebar Reinal menempel dengan tubuhnya. Perlahan, ditumpukannya dagu indah itu di bahu si pengemudi. Reinal tau, ia merasakan. Lantas tersenyum lebar seakan habis memenangkan perlombaan.
Dalam 3 tahun terakhir, Ines tak pernah sedekat ini dengan pria lain selain Saga.
****
Ines melepas helm classic hitam miliknya. Beberapa kali ia membetulkan tatanan rambut yang berantakan akibat angin dan rusak ketika helm dilepaskan.
Kedua sejoli itu tiba di salah satu tempat wisata di sebelah selatan Kota Yogyakarta. Seribu Batu Songgo Langit, Bantul, Yogyakarta.
Beberapa orang mengatakan tempat ini bak negeri dongeng. Hal ini lantaran kawasan hutan pinus di sini dibentuk sedemikian rupa yang anti mainstream. Pohon-pohon pinus berdiri begitu megah menciptakan pesona teduh dan menyejukkan ditengah panasnya kota yang menyengat.
Sepoi angin menyambut Ines dan Reinal dengan semilir lirih menyentuh kulit. Membuat si wanita tampak sedikit gigil karenanya.
Wanita itu terheran akan Reinal yang mengetahui tempat ini. Mengingat si peselancar itu berdomisili di Banyuwangi.
"Dapat rekomendasi dari relasi bisnis yang asli daerah sini." Kata Reinal sambil menggenggam tangan Ines. "Dan kalau kamu tau, jalan yang aku lewati tadi adalah jalan pintas sesuai saran relasiku. Kalau lewat jalan utama seperti yang dilewati orang-orang makan waktu lama."
Ines mengangguk. "Kamu udah pernah ke sini sebelumnya?"
"Belum. Baru pertama kalinya sama kamu. Ya hitung-hitung healing berdua."
Menapaki kayu yang disusun terasering, keduanya sampai di depan gapura bertuliskan rumah seribu kayu. Di sana terdapat beberapa rumah kurcaci yang disusun dari kayu dan ranting-ranting patah hingga tampak estetik. Bagi orang-orang yang gila akan spot foto, tempat ini cukup instagenic untuk dipajang di feed.
Begitupun dengan Ines. Wanita itu meminta Reinal untuk memoto dirinya dengan pose berdiri di salah satu rumah kurcaci tersebut. Tetap mahir berpose seperti biasa. Reinal yang tak cukup lihai dalam bermain kamera saja kagum dengan hasil bidikannya.
Itu semata karena objek yang ia foto begitu indah. Coba saja jika ia foto orang lain, Reinal yakin pasti hasilnya tak sebagus ini.
"Not bad untuk ukuran semula." Puji Ines tersirat makna kagum.
Ditatapnya kedua bola mata indah yang sedang menatap foto di layar ponsel itu. Di usianya yang sudah 24 tahun ini, Reinal masih ingin main-main. Tapi entah bisikan dari mana, jika melihat Ines sepertinya sangat disayangkan kalau tak ia seriusi.
Reinal menyelipkan helaian anak rambut Ines yang menjuntai bebas ke balik lipatan telinga. Merasa sedang diperhatikan, Ines mendongak menatap Reinal yang kini memandangnya dengan sorot mata teduh.
"Ada pikiran buat nikah dekat-dekat ini?"
Kalimat yang keluar dari mulut pria itu sukses membuat jantung Ines berpacu lebih cepat dari biasanya.
Apa ini sebuah kode untuknya? Reinal berniat serius dengannya? Tapi- dirinya belum siap. Sejauh ini baru nyaman, belum ke tahap pacaran, apalagi pernikahan.
Help! Ines masih mau melanglang buana.
Wanita itu menggeleng pelan. "Aku nggak ada kepikiran buat nikah muda sih, Rei."
"Well, menurutku usia 22 tak bisa disebut muda lagi untuk membina rumah tangga." Sanggahnya lagi. "Kecuali kalau dibawah 20, itu baru nikah muda."
Ines tersenyum kikuk. Ia tak bohong, keluarga besarnya menyebut usia matang seorang wanita untuk menikah minimal adalah 24. Paling tidak masih butuh 2 tahun lagi baginya untuk memikirkan tentang pendamping hidup. Kalau untuk sekarang-
"Nggak deh, Rei. Mungkin aku akan mikirin pernikahan 2 tahun lagi. Untuk sekarang masih pengin berkarir dulu."
Memang, semenjak kedua orang tuanya meninggal 6 tahun lalu, Ines bertekad untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya agar tak menyusahkan saudara mamanya yang telah menghidupi Ines semenjak kejadian itu.
"Emang kenapa?" Tanya Ines lagi.
Reinal tersenyum. "Nanya aja. Aku juga sedang berproses memperbaiki diri. Biar nanti bisa layak buat jadi pendamping kamu."
Ines terbengong ditempat. Tiba-tiba ia merasa ling-lung sepersekian detik. Mereka baru kenal seminggu yang lalu. Apa Reinal sudah memiliki rasa terhadapnya? Apa secepat itu? Ini kode atau apa? Tapi kok rasanya gamblang sekali? Bukan. Ini bukan kode. Ini bentuk pengharapan yang cukup jelas. Ines bodoh!
Wanita itu merutuki dirinya sendiri yang terlampau bodoh memahami sikap Reinal. Ines merasakan atmosfer panas di sekelilingnya. Bukan gugup, melainkan terkejut. Semilir angin rasanya tak mampu menghalau itu semua. Malah yang ada membuatnya panas dingin.
Tarikan di tangannya menyadarkan Ines dari kebingungan. Reinal mengajak Ines menuruni tangga yang terbuat dari batang pohon, keluar dari spot rumah seribu kayu.
Pria itu berhenti di sebuah gazebo yang tertutup oleh tirai. Ditatapnya Ines yang kini keheranan lantaran ada gazebo model tertutup seperti ini.
Saat berada tepat di depannya, tiba-tiba tirai itu terbuka menampilkan dua manusia dari dalam yang mengejutkan Ines.
****
Jadinya malah kayak blog tentang wisata😭
Dukung MAKE ME YOURS selalu🦭💙