Chereads / MAKE ME YOURS / Chapter 32 - About Ines

Chapter 32 - About Ines

Seorang pria tergesa-gesa menyeret kopernya ke arah bandara. Satu jam sebelumnya, pria itu menyuruh salah seorang anak buah untuk mengatur jadwal penerbangan ke Yogyakarta malam ini juga.

Arsaga Frezy. Si model sekaligus pengusaha muda itu kalang kabut kala mendapat kabar dari Disha bahwa pujaan hatinya jatuh sakit. Tak ada pikiran lain yang muncul di benaknya selain bertolak dari Bandung.

Niat hati ingin menginap di Bandung selama 3 hari untuk mengurus bisnisnya. Meeting kolaborasi dengan komunitas seniman yang masih baru di Bandung. Tapi apa daya, Ines jauh lebih penting dari apapun.

Saga selalu memprioritaskan Ines di atas segalanya. Sejak dulu.

"Halo. Saga kamu di mana? Aku udah sampai di D'fruit Cafe sejam yang lalu. Mana teleponku nggak diangkat dari tadi." Gerutu seorang wanita di seberang telepon sana.

Saga menyugar rambutnya gusar. "Ra, aku minta maaf. Tapi kayaknya aku nggak bisa meeting hari ini. Kita tunda pembahasan kerjasamanya besok aja, gimana?"

"Loh kenapa? Kok tiba-tiba?"

"Aku lagi di bandara sekarang, mau balik ke Yogyakarta. Ada urusan yang lebih penting di sana. Ak--"

"Urusan apa sih? Apa yang lebih penting dari bisnis kamu? Waktu SMA dulu aku ingat kamu pernah bilang, bahwa impianmu untuk menjadi pengusaha sukses adalah prioritas kamu melebihi apapun."

Tapi sekarang situasinya berbeda dan wanita itu tak tau. Ines hadir di hidup Saga mengalahkan segalanya. Business first yang dulu ditanamkan dalam jiwanya, tergeser perlahan tatkala Ines mulai mengisi posisi prioritas teratas dalam hidupnya. Bahkan menjadi pencapaian terbesarnya.

"Clara, dengerin aku." Saga mencoba menghalau kegelisahan lawan bicaranya. "Ada hal penting di Yogya yang harus aku urus. Tapi kamu tenang aja, kita akan tetap melanjutkan project kerjasama ini. Aku nggak akan meninggalkan tanggung jawab yang sudah kita sepakati bulan lalu."

Saga mendengar decakan dari wanita bernama Clara. "Emang sepenting apa sih yang harus kamu urus di Yogya?"

"Ya ada pokoknya, tapi nggak bisa aku ceritain ke kamu. Sorry banget aku nggak sempat ngabarin kamu karena buru-buru packing. Yaudah ya kamu pulang aja, aku janji besok akan balik lagi ke sini."

"Okay. Safe flight, Saga."

"Thanks. See you, Ra."

Setelah menutup teleponnya, Saga menghela napas berat. Terpaksa agenda pembahasan kolaborasi bersama Clara harus ditunda malam ini.

Sesuai jadwal keberangkatan, pesawat yang ditumpanginya akan take off satu jam lagi. Buru-buru pria itu keluar dari ruang tunggu, menuju area departure.

****

Di rumah si model cantik, terdengar kegaduhan dari dalam. Beberapa maid tampak sibuk bolak-balik dari lantai 1 ke lantai 2 sekedar untuk mengobati majikannya yang diserang demam tinggi. Pasalnya, dokter yang diminta kemari untuk menangani Ines belum juga datang. Katanya di rumah sakit tempatnya bekerja masih banyak pasien.

Yang paling panik adalah Disha. Si asisten yang belum pernah menangani orang sakit itu luar biasa cemas menyaksikan bosnya terbaring lemah di ranjang dengan wajah pucat tak berdaya. Bahkan untuk bicara pun kesusahan. Ponsel Disha yang terus-menerus berdering tak ia gubris, missed call dari Saga pastinya.

Alah, persetan dengan pria temperamen itu! Batin Disha.

"Mbok Sum, ganti air aja. Udah ndak panas itu." Titah Disha pada kepala maid.

"Baik, Non."

Disha mendekati tubuh Ines yang terbujur lemas di atas ranjang. Dielusnya rambut hitam legam itu, keadaan Ines tampak memprihatinkan sekarang. Padahal saat berceloteh mereview liburan tadi ia tampak baik-baik saja. Bahkan masih bisa ketawa-ketiwi lantang bercerita tanpa menunjukkan gejala apapun. Baru setelah bersin semuanya berubah. Tiba-tiba Ines terlihat lemas dan wajahnya pun memucat.

Matanya memejam, namun Disha yakin Ines masih sadar. Beberapa kali wanita itu menggigil, nyatanya kehangatan selimut beludru tak mampu membuatnya hangat. Pun kompresan dari Mbok Sum tak mampu menurunkan panasnya.

"Mbak kamu dengar aku, kan?"

Ines mengangguk lemah.

"Buka dikit mata kamu, Mbak. Biar kita ndak cemas. Biar kita bisa memastikan bahwa kamu masih dalam keadaan sadar."

Nada bicara yang lunak itu membuat kedua kelopak mata indah Ines terbuka perlahan. Menampilkan bola matanya yang mengintip dari dalam. Disha mendesah lega, setidaknya keyakinannya benar bahwa Ines belum pingsan.

"Bentar ya, Mbak. Dokter Elma sebentar lagi datang kok. Barusan ngabari kalau dia sedang dalam perjalanan ke sini."

Mata Ines menatap langit-langit kamarnya. Ia mendengar nada suara Disha, namun enggan merespon barang seanggukan. Matanya buram, sedikit berembun akibat panas yang dideritanya. Tubuhnya melemah, tak punya tenaga untuk sekedar berbicara.

Ia merasakan dahinya menghangat oleh kain. Itu Mbok Sum yang mengompresnya dengan membawa sebaskom air panas yang baru sambil menunggu Dokter Elma tiba. Disaat-saat seperti ini, kadang Ines ingin sekali merasakan hangatnya dekapan seorang ibu. Bagaimana mamanya dulu menangani dirinya yang terserang demam tinggi. Bagaimana mamanya dulu mengobatinya yang terluka saat jatuh dari sepeda. Ah, bahkan kini Ines lupa bagaimana rasanya.

Perlahan matanya memejam kembali.

Hari-harinya saat sakit hanya didampingi para maid dan Saga sebelum ada Disha. Ia memang terbiasa mandiri, tapi tak semua orang bisa mandiri dalam segala hal.

Ada kalanya di titik-titik tertentu ia akan menyerah. Mengeluh pada Tuhannya atas cobaan hidup yang ia terima. Kadang ia ingin menolak, bertindak serakah dengan meminta kebaikan dan kebahagiaan selalu menyertainya. Namun seperti janji Tuhan, hidup itu berputar. Kadang kamu di atas, kadang kamu di bawah. Kadang kamu dijunjung, kadang kamu dijatuhkan.

Jika tak diberi cobaan, lalu kapan kamu akan tau makna hidup itu seperti apa? Bukankah kedewasaan tercipta dari desakan keadaan?

Ines remaja sering mengadu ke Tuhannya. Mengapa ia yang dipilih Tuhan untuk merasakan menjadi anak yatim piatu di usianya yang masih belasan? Ia seorang diri, ia anak tunggal, ia hidup sebatang kara selepas hari itu. Meski ada saudara sang mama yang menerimanya untuk pulang, namun ia selalu merasa kurang. Saudara memang bagian dari keluarga. Namun bukan berarti rasanya akan sama. Ia tak punya lagi tempat pulang, ia tak punya alasan untuk bertahan. Di beberapa situasi ia pernah hampir menyerah. Pulang yang sebenar-benarnya pulang. Bayang-bayang bunuh diri teramat menggiurkan di kelopak matanya saat itu.

"Halo."

"Nes."

"Ines, kamu dengar saya?"

Samar-samar wanita yang terbaring lemah itu mendengar sahut-sahutan suara sedang memanggilnya. Menariknya dari kegelapan bersamaan dengan ingatan kelamnya selepas kepergian orang tuanya.

Desahan lega terdengar dari beberapa orang di sana. Objek yang pertama kali Ines tangkap adalah seorang wanita memakai jas putih, Dokter Elma.

"Syukurlah kamu masih sadar. Jangan tutup mata ya, saya akan periksa kamu dulu."

Dokter Elma memasang stetoskop, mengecek keadaan Ines. Beberapa maid diperintahkan untuk keluar dari kamar nyonya mereka, yang tersisa hanyalah Mbok Sum.

"Mbak, kamu dengar yang dibilang Dokter Elma to? Tetap buka mata kamu, ya?" Disha turut menginterupsi sesuai arahan sang dokter, sebelum suara teriakan datang dari ambang pintu.

"Ines!"

Semua orang menoleh ke arah suara itu. Bahkan Ines pun terkejut dengan suara lantang yang sarat akan kekhawatiran.

"Nes, kenapa? Mana yang sakit, hm? Bilang sama aku mana yang sakit?"