Chereads / Nikah Dadakan / Chapter 3 - BAB 2: "Awal mulanya"

Chapter 3 - BAB 2: "Awal mulanya"

Naraya yakin langit masih belum dihiasi matahari saat Bu Wati, Bu Ina, dan Bu Iin datang ke rumahnya pagi ini. Gadis itu bahkan sampai menengadahkan kepalanya ke atas langit untuk memastikan kalau matahari belum terbit. Bahkan dia juga belum mendengar adzan berkumandang.

"Pagi, mbak Nara." Sapa mereka serentak saat Naraya baru saja keluar dari kamarnya.

Dia bahkan belum sempat menutupi gaun tidur satinnya yang tipis dan tahu-tahu para wanita yang cukup berumur itu sudah sibuk mengotak-atik dapurnya.

"Ngga kepagian, Bu? Belum adzan, lho." Naraya menyuarakan isi hatinya, sebisa mungkin dengan nada yang sopan.

Dia masih ingin tidur di atas kasurnya yang empuk, tapi kalau begini gimana caranya agar dia bisa tidur dengan tenang? Kalau Naraya membiarkan mereka bertiga yang mengurus acara arisan ini, bisa-bisa Naraya menjadi bahan gunjingan selama sebulan. Dia sudah sering menjadi topik utama gosip ibu-ibu saat sedang berkumpul di warung karena jarang ikut acara-acara RT. Dan jangan sampai citranya menjadi tambah buruk karena hal sepele ini.

"Biar cepat selesainya, neng." Jawab Bu Iin yang diangguki para ibu-ibu lainnya.

Diam-diam Naraya mendengus kesal. Gadis itu berbalik ke kamar untuk mencari pakaian yang lebih sopan untuk dikenakan. Setelah selesai mengenakan pakaiannya, dia keluar sambil mencepol rambutnya.

"Masak apa dulu ya, bu?" Naraya tampak kebingungan dengan bahan-bahan yang dibawa oleh para wanita ini. Mereka akan memasak apa hingga belanja sebanyak ini? Apa dia harus mengganti uangnya?

"Eneng bantu bikin kue, ya?" Bu Iin berkata sambil memotong sayuran yang... Naraya sendiri tak tahu untuk apa. Apa mereka sekalian masak untuk di rumah masing-masing?

Saat tangan lentik Naraya menyentuh tepung, telur, serta bahan-bahan kue lainnya, pikiran gadis itu mendadak menjadi buntu. Apa yang harus dia lalukan? Memasak untuk dirinya sendiri saja jarang, lah sekarang malah disuruh memasak kue? Kue jenis apa saja tidak tahu.

Melihat kebingungan Naraya mereka bertiga serempak kaget, Bu Ina bertanya lebih dulu untuk menyuarakan rasa penasaran mereka. "Mbak Nara nggak bisa bikin kue?"

Mau tak mau Naraya menggeleng pelan. Daripada berbohong dan mengacaukan segalanya lebih baik dia mengatakan yang sebenarnya walau jujur, ini memalukan.

"Masa nggak bisa sih, mbak? Nanti kalau nikah apa nggak susah?"

Nggak ada hubungannya! Balas Naraya di dalam hati. Ya, walau dia tidak dapat mengutarakan kata-kata itu secara langsung.

Dua wanita lainnya tertawa mendengar pertanyaan atau lebih tepatnya mungkin pernyataan dari Bu Ina. Jujur, rasanya sangat memalukan.

"Mbak Nara bantu bagian kupas-kupas aja." Naraya mengangguk dan duduk di samping Bu Wati untuk mengupas kentang.

Semula semuanya serius dan sibuk mengurusi bagian masing-masing. Bu Wati bagian memasak sayur yang katanya untuk isi risoles dan pastel. Bu Iin menggantikan Naraya yang seharusnya memasak kue bolu. Dan Bu Ina yang sibuk membuat kulit risoles serta pastel. Mereka semua diam dan tenang, bahkan Poppy pun tertidur karena suasana setenang itu.

Sampai tiba-tiba Bu Ina menanyai sesuatu yang menurut Naraya sensitif. "Mbak Nara nggak ada pacar? Saya lihat-lihat kok nggak pernah bawa cowok ke sekitar sini."

Naraya mengatupkan bibirnya. Topik ini selalu gadis itu dengar dari ibu-ibu tetangga. Mereka selalu bertanya, kapan punya pacar? Kapan bawa calon? Dan lain-lain yang selalu membuatnya pusing tujuh keliling kalau ditanya soal itu.

"Iya nih, mbak. Kita-kita penasaran tahu." Tambah Bu Wati yang juga diangguki Bu Iin.

Masih dengan tangan yang sibuk memotong-motong kentang menjadi dadu kecil, Naraya menggelengkan kepalanya pelan. "Saya masih sendiri, Bu."

Bu Iin langsung meletakkan pengocok telur, membuat beberapa orang di sana menjadi kaget. "Wah, bagus! Saya punya kenalan yang cocok buat neng Nara."

"Y-ya?"

"Eh, iya. Teh Iin kan punya keponakan yang kerjanya jadi polisi itu kan? Manis lho orangnya mbak Nara!"

Lagi dan lagi Naraya hanya dapat diam dan mengutuk di dalam hatinya. Sudah dia duga topiknya pasti akan mengarah ke itu-itu saja. Kenapa sih mereka selalu menanyakan soal pasangan pada Naraya? Memangnya salah ya kalau dia ingin hidup berdua saja dengan Poppy?

"Saya masih betah sendiri, Bu." Meski banyak kata-kata kasar yang ingin Naraya keluarkan, dia memilih untuk tetap menjaga kesopanannya kepada orang yang lebih tua. Andai mereka seumuran dengannya, pasti sudah Naraya sumpal mulut nyinyir itu dengan sayuran yang ada di tangannya ini.

"Ya ampun, mbak." Bu Wati ikut-ikutan menambahi, "Nggak baik menunda-nunda buat nyari pasangan. Nanti mbak ketuaan malah nggak ada yang mau."

Kalau di film kartun, mungkin wajah Naraya sudah memerah dengan telinga dan hidung yang mengeluarkan asap panas sangking marahnya. Ketuaan katanya? Kalau begitu dia tidak akan menikah! Dia cukup hidup dengan Poppy saja. Soal kematian biarkan saja bangkainya menyatu dengan alam. Huh, menyebalkan!

"Jodoh kan ada di tangan Tuhan, Bu." Balas Naraya dengan senyuman paksa.

Topik berjudul 'pasangan untuk Naraya' ini cukup berjalan lama. Naraya sudah mencoba untuk mengganti topik berkali-kali tapi gagal sampai akhirnya ibu-ibu itu mulai heboh sendiri melihat jarum jam.

"Astaga, nggak sadar udah jam segini. Kita-kita pulang dulu ya, mbak. Ntar balik lagi. Mau bikin sarapan buat suami dulu." Kata ibu-ibu itu pada Naraya sambil keluar dari rumahnya dengan terburu-buru. Gadis itu mengangguk dan berteriak kalau pintu rumahnya tidak akan ia kunci karena akan mandi. Para wanita berumur itu menganggukinya dari jauh.

Setidaknya gadis itu bersyukur mereka pergi di waktu yang pas. Helaan nafas lega Naraya hembuskan, "Mandi dulu, deh." Ucapnya sambil menciumi aroma tubuhnya.

***

Ditengah hari yang baru disinari matahari itu seorang pria muda tampak sedang berlari kencang sambil sesekali melihat ke arah belakang. Udara dingin tidak dapat dia rasakan karena peluh yang sudah membanjiri tubuhnya. Wajah pria itu pucat dan tampak kebingungan.

Kemanakah dia harus pergi? Kemana dia harus bersembunyi?

"Kembali ke sini!"

Mendengar teriakan dari pria bertubuh besar yang berjarak sekitar 10 meter di belakangnya membuat si pria muda semakin melajukan langkah kakinya. Walau sudah tidak sanggup, tapi dia tidak ingin tertangkap.

Pria itu menoleh ke belakang saat merasa sudah tidak ada yang mengikutinya. Tapi dia tetap merasa waspada karena langkah kaki yang semakin jelas terdengar mendekat ke arahnya.

Kepala pria itu sudah berkunang-kunang karena kelelahan. Belum lagi dia tidak cukup tidur dan tak cukup makan selama beberapa hari ini. Nafasnya sudah mulai putus-putus dengan kaki yang sudah mulai tak sanggup berlari. Bisa dikatakan ini adalah rute berlarinya yang paling panjang dan jauh.

"Gila! Nggak sanggup gue lari lagi." Keluhnya diantara nafas yang tersengal-sengal.

Tapi dia tidak boleh tertangkap. Kalau sampai dia tertangkap maka... Ugh! Membayangkannya saja dia tidak sanggup. Dia harus memutar otaknya dan mencari jalan keluar paling aman.

Kemana... Kemana dia harus bersembunyi?

Pria itu memelankan langkahnya. Kepalanya melihat ke sekeliling, tapi tidak dapat menemukan tempat untuk bersembunyi karena hanya ada rumah-rumah warga yang bahkan dia tidak tahu dimana dia berada sekarang. Perasaan tadi dia berlari dari semak-semak kenapa bisa kesini ya?

"Woi!"

Suara itu jelas terdengar. Berarti pria berbadan besar dan berwajah menyeramkan itu sudah semakin dekat! Membuat si pria muda semakin panik.

"Gue harus kemana?!" Langkah kaki yang sempat melambat karena kelelahan itu kembali dipaksa untuk berlari.

Beberapa kali melongok ke belakang agar dia tahu apa orang yang mengejarnya sudah kelihatan atau belum. Tapi karena terlalu fokus pada keadaan di belakang, si pria malah menabrak seekor kucing berwarna putih. Kucing itu mendesis marah karena perutnya tak sengaja ia tendang. Sementara pria muda itu meloncat ke belakang, takut kalau akan dicakar kucing.

"M-maaf---!" Ucapnya tulus tapi diabaikan si kucing putih.

Kucing itu hanya menatapnya tajam lalu mendengus, kemudian berjalan ke sebuah rumah dan meninggalkan si pria.

"Dia... Kayaknya maki gue deh..." Jujur... Baru kali ini dia melihat kucing yang seperti mengumpat di dalam hatinya itu. Mungkin kalau bisa berbicara bahasa manusia, kucing itu sudah memakinya dengan seluruh kata makian yang ada di muka bumi.

Dia perhatikan si kucing putih memasuki sebuah rumah yang pintunya sedikit terbuka itu. Pagarnya cukup unik karena tinggi yang tidak sampai pinggang nya, mungkin hanya sepaha sehingga menarik perhatian, mirip seperti pagar kayu yang ada di film kartun yang sering ia tonton. Mungkin itu rumahnya?

"Woi! Dimana lo! Mending balik ke sini!"

Pria itu gelagapan mendengar suara garang yang semakin jelas. Pandangannya pun tertuju pada pintu yang terbuka sedikit itu. Apa kucing itu memberinya sebuah izin? Izin untuk bersembunyi di rumahnya? Digigitnya bibir, bolehkah dia bersembunyi sebentar? Lagipula pasti si pemilik rumah sedang tertidur di jam segini. Dia tidak akan lama, sungguh. Hanya sebentar sampai orang yang mengejarnya itu pergi.

Pria muda itu mengangguk untuk meyakinkan dirinya sendiri, benar, dia tidak akan lama. Dengan ragu dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah yang didominasi warna putih itu.

"Misi..." Ucapnya sepelan mungkin sambil berjalan jinjit. Dia juga tidak ingin dikira maling atau apapun itu. Setelah benar-benar masuk, dia menutup pintu dengan rapat.

Pria itu menyenderkan tubuhnya di belakang pintu sambil bernafas lega. Sungguh dia lelah. Berlari berkilo-kilo meter seperti itu, benar-benar sebuah rekor.

"S-siapa...!"

Suara bergetar yang cempreng itu... Dipastikan suara seorang wanita. Pria itu mengangkat wajahnya dan benar saja! Ada seorang wanita muda yang menatap takut ke arah dirinya. Mana dia hanya mengenakan handuk yang cuma menutupi separuh tubuhnya dan memperlihatkan belahan dada serta paha putihnya yang mulus. Sungguh membuat pria muda ini membeku di tempatnya.

Wanita muda itu terlihat ketakutan dan wajahnya menjadi pucat, "Siapa?! Kenapa masuk kesini?!"

Pria itu gelagapan dan berjalan maju beberapa langkah sambil mengangkat kedua tangannya yang mana malah membuat si wanita berjalan mundur. "E-enggak! Ini salah paham. Saya cuma--"

"Salah paham?!" Wanita itu berteriak, "Masuk ke rumah orang lain tanpa izin itu salah paham?"

"Maksud saya--"

Wanita itu mengambil sapu yang berada di dekatnya dan memukul si pria. Yang dipukul merasa kewalahan apalagi dia begitu lelah sehabis berlari dan berpikir keras.

"Hey! Sebentar, dengarkan saya dulu!"

Wanita itu tidak mendengarkan karena sudah kepalang panik dan takut. Dia terus memukul si pria dengan kuat.

Pukulan dari sapu sudah sakit, apalagi ditambah dengan tenaga yang bukan main kuat. Ternyata wanita sekurus ini bisa memukul dengan sangat kuat. Tidak bisa dibiarkan atau dia akan babak belur karena sebuah sapu. Pria itu pun menarik sapu dan melemparnya secara sembarang, ternyata cukup mudah mengambil alih sapu dari wanita ini. Tapi wanita itu limbung karena terlalu memusatkan seluruh kekuatannya pada sapu, sehingga membuat pria itu memegang tangan serta pinggang si wanita muda.

Tapi memang dasarnya dia sudah lelah, bahkan menopang tubuhnya saja sudah gemetaran. Alhasil mereka berdua terjatuh ke lantai, dengan posisi si wanita yang menimpa si pria.

Di saat si wanita ingin bangkit dari posisi itu, handuknya malah tertahan di tangan si pria dan membuat pria itu dapat melihat bagian paling privasi dari tubuhnya. Yap, seluruhnya terlihat.

"M-maaf---"

"Assalamualaikum mbak Nara---"

Ucapan si pria terpotong oleh sebuah salam. Sontak mereka berdua langsung menoleh menghadap ke arah pintu yang sudah terdapat sekitar 5 atau 6 orang wanita yang cukup berumur.

Dan... Disinilah kesalahpahaman dimulai.

"Astagfirullah!"