Sudah tiga hari mereka tinggal bersama terhitung setelah ijab qobul diucapkan. Dan selama tiga hari itu Sakha terus menempel pada Naraya. Tak peduli apa yang gadis itu lakukan, pasti akan ada Sakha yang membuntuti dirinya. Kecuali kalau Naraya tidur dan pergi ke kamar mandi. Hanya tinggal perlu berganti kostum menjadi anak ayam saja, dan voila! Sakha akan menjadi anak ayam yang baru menetas dan mengikuti kemanapun induknya pergi.
Naraya jadi ingat, ketika dia sedang mengangkat kain jemuran yang sudah kering dan Sakha berdiri di ambang pintu belakang sambil bersidekap dan menatap setiap gerak-gerik Naraya dengan seksama. Naraya merasa tidak nyaman dan risih karena ditatap sedemikian rupa oleh Sakha, lalu kemudian menyuarakan kata-kata yang sejak tadi dia simpan.
"Kenapa, sih, ngikutin terus?" Tanyanya dongkol.
Dan dengan wajah polosnya Sakha menjawab, "Saya nggak tahu mau ngapain selain ngikutin kamu."
"Kan bisa nonton TV atau ngapain gitu."
Sakha menggelengkan kepalanya pelan, "TV kamu isinya sinetron semua. Saya nggak suka."
"Ya pasti ada yang lain selain FTV. Kartun gitu misalnya?"
Kepala Sakha menggeleng lagi, "Saya udah coba nonton itu. Tapi dari saya SMA sampai sekarang, episode yang ditayangin selalu itu-itu aja."
Jawaban yang Sakha berikan hampir saja membuat Naraya hilang kendali dan melempari pria itu dengan pakaian kering yang berada di dalam pelukannya. Ada saja jawabannya. Tidak bisakah Sakha mengalah pada Naraya sekali saja dan membiarkannya menang?
"Tahan Naraya, tahan. Nggak boleh kelepasan." Bisiknya pada diri sendiri yang mana malah mengundang pertanyaan tidak berfaedah dari Sakha.
"Kok kamu ngomong sendiri?"
"Biar nggak makin gila."
"Tapi itu malah bikin kamu kayak orang gila."
Dan semenjak itu Naraya hanya diam dan pasrah saja walau diikuti oleh Sakha kemanapun dia pergi dan apapun aktivitas yang ia jalani, pasti akan selalu ada manusia bernama Sakha di sekitarnya.
Seperti sekarang contohnya, ketika Naraya memasak menu yang sudah menjadi makanan mereka selama tiga hari, yaitu nasi goreng, ada Sakha yang menatapnya dengan serius dari meja makan.
"Kamu masak nasi goreng lagi?" Tanya Sakha sambil menumpu dagunya di meja makan.
Naraya mengangguk, "Iya. Karena saya cuma bisa masak ini selain mi. Mi nggak baik buat perut. Terus kalau telur, bisa-bisa saya jerawatan. "
Sakha mengerjapkan matanya, kemudian berpikir sebentar. "Tapi di nasi goreng juga ada telurnya."
"Kan cuma sebiji,"
"Kita juga nggak pernah makan mi," lanjut Sakha lagi.
"Kan udah dibilangin, mi itu nggak sehat."
Sakha menggeleng pelan. Tidak memahami Naraya sama sekali.
"Bosan sama nasi goreng?" Naraya balik bertanya.
Sakha menggeleng cepat saat Naraya membalikkan tubuhnya untuk menatap pria itu, mungkin karena Sakha tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Enggak, kok! Kata siapa saya bosan? Saya cuma nanya aja." Bohong. Sakha sebenarnya sangat bosan dengan nasi goreng buatan Naraya walau rasanya menjadi lebih enak daripada saat pertama kali dia memakannya.
Naraya kembali menghadap kuali yang masih berada di atas kompor yang menyala. Diam-diam dia mengulum bibirnya untuk menahan tawa agar tidak meledak keluar. Sakha tidak sendirian kok kalau dia berpikir bosan pada nasi goreng ini, karena Naraya juga. Tapi faktanya memang Naraya hanya bisa memasak ini. Dan dia juga tidak mau memakan mi instan atau dia akan diare setelah memakannya.
Nasi goreng sudah selesai dimasak dan Naraya menghidangkan makanan itu di atas meja. Sakha tampak tak bersemangat makan, padahal waktu dia pertama kali memakan nasi goreng ini, dia begitu bersemangat.
Naraya jadi tidak tega melihatnya...
"Nanti kita ke warung beli es krim." Kata Naraya tiba-tiba.
Sakha mencibir, "Kamu suka banget sama es krim."
Sakha jadi ingat es krim Naraya yang dia jatuhkan saat di pasar. Dia masih ingat ekspresi nelangsa Naraya, serta tatapan-tatapan kaget orang-orang karena teriakan perempuan itu.
"Bukan buat saya, tapi buat kamu. Sekalian beli bahan-bahan masak buat masak yang simpel-simpel aja." Naraya mengambil air minumnya, "Ya, saya pasti beli juga. Apalagi es krim saya yang jatuh karena kamu semalam."
Kan, benar saja. Naraya masih mengingat itu.
"Pokoknya nanti kita makan yang lain selain nasi goreng,"
Sakha yang sedang mengunyah jadi diam dan menatap Naraya yang pura-pura sibuk dengan makanannya. Pria itu tak dapat menahan senyumannya dan melanjutkan makan dengan lahap. Akhirnya! Sakha boleh kan say bye sama nasi goreng Naraya ini? Aduh, andai Naraya tidak ada di hadapannya sekarang, pasti Sakha sudah melambai-lambai dan mengucapkan selamat tinggal dengan keras.
Naraya berdehem saat melihat senyum Sakha, "Ada yang kamu suka? Atau pengen makan sesuatu?"
Masih dengan mulut yang berisi Sakha menjawab, "Aku makan aja apa yang kamu masak."
'Aku'. Naraya menggigit bibirnya kuat-kuat. Dia mengganti dari 'saya-kamu' menjadi 'aku-kamu'. Apa Sakha tidak sadar? Naraya tidak tahu apa Sakha sadar atau tidak, yang dia tahu apapun gerak-gerik orang tampan pasti akan selalu membahayakan hati dan jantung.
Ini bukan karena Naraya sudah jatuh hati kepada pria yang sedang memakan nasi goreng buatannya ini. Tapi... Wajah Sakha selalu memperumit semuanya. Dan Naraya terlalu lemah dengan itu.
"Kok kamu ngelihatin saya?"
Perempuan itu mengerjapkan matanya kaget. Kan ketahuan kalau dia sedang memperhatikan pria ini, "Nggak, kok. Kan saya punya mata makanya bisa lihat." Dan omong-omong pria itu kembali menggunakan 'saya-kamu' yang artinya tadi itu dilakukannya tanpa sadar. Padahal lebih lucu pakai 'aku-kamu'. Eh?
Sakha tidak ingin mendebat ucapan Naraya, jadi dia memutuskan untuk lanjut makan. Yang ada kalau dia mendebat Naraya, mereka pasti akan berdebat hingga sore karena tidak ada yang mau mengalah.
Naraya bangkit dari kursinya seraya mengambil piring yang sudah kosong, tidak ada nasi gorengnya lagi. Perempuan itu menaruh piring-piring itu di wastafel, hendak mencucinya. Tapi tiba-tiba dia memiliki sebuah ide untuk menghemat tenaganya. Dia pun berbalik menatap Sakha yang terus memperhatikan dirinya.
"Kamu..." Perempuan itu sebenarnya ragu, dosa tidak sih menyuruh suami mencuci piring?
Tapi Sakha sudah terlanjur penasaran, "Saya kenapa?"
Naraya membasahi bibirnya. Dipikir-pikir Sakha ini kan tidak memiliki pekerjaan, alias pengangguran. Tentu lebih baik dia membantu Naraya bersih-bersih kan daripada membuntuti dirinya tanpa membantu sedikitpun.
"Kamu bisa cuci piring?" Ya ya, Sakha setidaknya harus membantu dia dengan pekerjaan rumahnya.
Tapi bukannya menjawab, Sakha malah menggaruk pelipis yang tidak gatal. "Memangnya kenapa?"
Naraya pun tersenyum manis, "Bantuin cuci piring."
Sakha hanya bergumam tak jelas. Tapi Naraya malah menangkap gumaman tersebut sebagai jawaban iya. Maka dari itu Naraya menarik Sakha ke depan wastafel.
"Kamu serius?" Pria itu tampak tak yakin menatap Naraya.
"Iya, serius. Daripada kamu ngintilin saya terus karena nggak ada kerjaan. Nih, saya kasih kerjaan."
Sakha menipiskan bibirnya. Baiklah, mencuci piring bukanlah perkara yang besar. Dia pasti bisa, dia juga sering melihat orang-orang mencuci piring. Ini mudah, kok.
Setelah dia yakin kalau dia bisa, Sakha pun meraih salah satu piring kotor dan membasuhnya dengan spons yang sudah diberi sabun. Naraya sendiri berada di sampingnya, memperhatikan bagaimana pria itu mencuci piring. Dia masih agak khawatir kalau Sakha tidak mencuci piring dengan bersih, jadi untuk kali ini dia akan mengawasinya.
Dan benar saja, Naraya masih bisa melihat noda di piring itu. "Itu masih kotor,"
"Mana?"
"Ituu,"
Sakha menyipitkan matanya ke arah piring yang sudah berada di depan wajah. Dia tidak melihat noda yang Naraya sebut tadi.
"Enggak ada kok--"
Sakha membeku saat piring yang licin itu terjatuh dan berubah menjadi kepingan kaca di atas lantai. Naraya juga membatu. Piringnya... Dengan garang dan menusuk, Naraya menatap Sakha yang kini mengatupkan bibirnya.
"SAKHA!!!"
Niat awal hanya ingin tenaganya tersimpan, kini malah keluar menjadi dua kali lipat.